Mohon tunggu...
Yohanes Djanur
Yohanes Djanur Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Penulis Lepas. Menyukai sastra dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Keputusan MK Terkait Presidential Threshold: Antara Doktrin Politik dan Doktrin Konstitusi

29 Desember 2021   16:58 Diperbarui: 3 Januari 2022   18:24 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menguaknya diskursus politik terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold akhir-akhir ini tentu mengundang perhatian berbagai pihak, baik para politisi, akademisi, aktivis politik, maupun masyarakat awam.

Menguatnya diskursus ini secara politik tentu akan menciptakan polariasi menjelang pilpres 2024. Banyak kalangan menilai bahwa isu ini diangkat sebagai bentuk perwujudan ambisi politik beberapa kalangan menuju pilpres 2024 nanti. Entah dari kalangan partai politik, akademisi, simpatisan calon presiden, LSM, ormas keagamaan, maupun atas nama personal. 

Diskursus ini secara politik tentu akan menjadi bola liar sekaligus kuda tunggangan kepentingan politik sebagian kalangan. Namun, di sisi yang lain, dari kaca mata hukum, diskursus terkait presidential threshold ini merupakan suatu catatan sekaligus evaluasi terkait pemenuhan dan pemaknaan aspek konstitusionalitas dari sebuah perwujudan UU, dalam hal ini adalah UU Pemilu No 7 Tahun 2017. 

Secara yuridis, gugatan PT ini sebelumnya sudah dilayangkan sebanyak 13 kali ke MK dengan dalil permohonan yang berbeda-beda. Namun, kesemuanya ditolak MK.

MK memutuskan dengan salah satu dalil keputusan bahwa kebijakan terkait presidential threshold yang termuat dalam pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 tersebut merupakan termasuk dalam open legal policy, di mana kebijakan terkait aturan ambang batas pencalonan presiden 20% sebagaimana yang termuat dalam pasal 222 UU pemilu No 7 tahun 2017 adalah wewenang pembuat Undang-undang (DPR). 

Berdasarkan doktin konstitusi, dalil keputusan ini sebenarnya memberi ruang pemahaman baru bahwa gugatan terkait PT ini sudah tidak relevan lagi dijaukan lagi di MK (judicial review). Melainkan gugatan itu dilayangkan ke ranah legislatif (legislatif review) di DPR dengan melalui tahapan revisi UU pemilu. 

Keputusan MK: Antara Doktrin Politik dan Doktrin Konstitusi

Mahkamah Konstitusi sebagai institusi penegak hukum dalam hal ini memiliki peran untuk menjaga dan memperkuat dasar-dasar konstitusionalisme sebuah perundang-undangan, haruslah independen dan berintegritas, tanpa ada intervensi atau tekanan dari pihak manapun. 

Sebagai lembaga yang menjunjung tinggi profesionalitas dan independen, penulis meyakini bahwa MK dalam keputusannya di dalam menolak gugatan presidential threshold 20% menjadi 0% adalah murni sebuah hasil konstruksi dan pertimbangan hukum yang matang. Kenapa demikian?

Di dalam teori hukum, hubungan keterikatan antara politik dan hukum bagaikan dua sisi mata uang, yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, yaitu faktor sebab-akibat. Ada hukum karena ada politik. Ada politik karena ada hukum. Ada politik harus ada hukum. 

Terkait keputusan MK yang menolak gugatan terhadap presidential threshold 20%, tentu ada pertimbangan politik yang dilakukan MK di dalam konstruksi dan pertimbangan hukum, salah satunya terkait dalil pertimbangan MK yang mengatakan bahwa PT 20% adalah kebijakan yang dapat memperkuat sistem presidensial serta memperkuat kedudukan dan fungsi partai politik. 

Melalui keputusan ini tentu akan melahirkan budaya politik baru, di mana dengan sistem multi partai yang saat ini berlaku di Indonesia, tentu akan mencipatakan dan melimpahkan tanggung jawab politik yang besar kepada partai politik di dalam menjalankan visi dan misi politiknya terutama berkaitan dengan sosialisasi dan pendidikan politik di masyarakat.

Hal ini diupayakan supaya partai politik lebih dekat dengan rakyat, dengan kepentingan menjaga dan mendulang dukungan konstituennya. 

Selain itu, di dalam perspektif politik ketatanegaraan, jabatan presiden itu bukanlah sekelas jabatan kepala desa tau lurah yang barang kali hanya perlu diadiminstrasi dan didaftar tanpa adanya adanya ambang batas pencalonan. 

Melainkan jabatan presiden adalah sebuah organisasi kelembagaan dan mempunyai kekuasaan yang penuh terhadap seluruh tatakelola negara, maka untuk itu diperlukan adanya sistem dan daya dukung politik, terutama dukungan parlemen sebagai perwakilan rakyat. Sehingga, presidential threshold 20% itu merupakan sebuah kebijakan politik hukum dari MK yang sah.

Di dalam perspektif supremasi hukum konstitusi, keputusan MK bersifat final dan mengikat. Dengan demikian, segala upaya untuk mengajukan kembali gugatan terhadap presidential threshold 20% terkait isi pasal 222 UU pemilu No 7 Tahun 2017 bisa dilakukan dengan syarat harus memiliki dalil permohonan yang berbeda dari sebelumnya. 

Namun, perlu digaris bawahi pula bahwa selama tidak ada konstruksi hukum yang baru dan lebih komprehensif untuk menguji keputusan hakim terdahulu, maka gugatan itu tetap saja ditolak. Sebab, menurut doktrin konstitusi, MK tetap berpatokan pada keputusan hakim terdahulu untuk mempertimbangkan dan memutuskan terkait gugatan permohonan yang sama, dalam hal ini gugatan terhadap presidential threshold 20%.

Dinamika politik seperti ini menjelang momentum pemilu 2024 merupakan suatu gambaran bagiamana demokrasi berjalan senyap di dalam ruang sidang pengadilan MK. Politik tanpa adanya kelengkapan dan sistem hukum yang baik tentu akan memperlambat ruang gerak demokrasi Indonesia saat ini. 

Keputusan MK terkait judicial review presidential threshold 20% merupakan amanat konstitusi. Di mana, keputusan itu bersifat final dan mengikat terhadap proses politik pencalonan prsedien di pemilu 2024 mendatang.

Dengan demikian, polarisasi dukungan sekaligus arah gerak perpolitikan Indonesia sebenarnya bukan bermuara dari presidential threshold 20% itu, melainkan dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan dan ambisi politik para penguasa, elite partai/para politisi dengan segala macam cara mencoba mendulang simpatisan dan dukungan politik, terutama melalui instrumen politik identitas, berselimut di balik jubah agama, ras, dan golongan. 

Dokumen pribadi penulis
Dokumen pribadi penulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun