Mohon tunggu...
Yohanes Djanur
Yohanes Djanur Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Penulis Lepas. Menyukai sastra dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Presidential Threshold 0 Persen; Apa Sebab?

21 Desember 2021   16:27 Diperbarui: 21 Desember 2021   16:49 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diskursus seputar Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden pada pemilu 2024 kian kencang. Hal ini timbul dari pemikiran kritis sebagian para politisi dan aktifis politik maupun masyarakat, di mana PT 20 % yang berlaku saat ini merupakan sebuah kebijakan politik yang dapat melunturkan ruang gerak berdemokrasi.

Peraturan terkait Kebijakan Politik PT ini sebenarnya muncul pertama kali dalam pemilihan umum tahun 2004 silam, di mana dalam Pasal 101 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 mengatur presiden dan wakil presiden dicalonkan partai politik atau gabungan partai politik, dengan Minimal dukungan pencapresan adalah 3 persen kursi DPR atau 5 persen suara sah nasional Pemilu 2004.

Namun, dalam dinamika politik nasional, peraturan ini kembali diubah sejalan dengan terbentuknya  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Di mana, Pasal 222 undang-undang itu mengatur presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pencalonan minimal didukung 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.

Kebijakan terkait PT 20 persen inipun sampai sekarang masih menuai polemik. Banyak kalangan menilai bahwa akumulasi 20 % kursi DPR sebagai syarat pengajuan calon presiden adalah kebijakan politik yang dapat mematikan jalan demokratiasi di Indonesia. 

Sebagai misal, Mardani Ali Sera dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPP partai Keadilan Sosial (PKS) menyatakan Sikap politiknya menolak dan menganggap PT 20 persen adalah sebuah peraturan yang dapat  membatasi arena kontestasi dan melimitasi peluang wujudnya kontestasi karya dan gagasan di dalam perhelatan demokrasi (pilpres). 

Lebih jauh, dalam pandangan hukumnya, Refly Harun menilai bahwa PT 20 persen itu  bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 Ayat (2), 6A Ayat (5), dan 6A Ayat (2) UUD 1945. Di mana, dalam pasal-pasal tersebut dimaksudkan bahwa setiap warga negara bebas dan menentukan sebanyak-banyaknya calon pemimpin bangsa. Ini berarti bahwa jika PT 20 % itu masih berlaku, hal ini tentu dapat mempersempit ruang gerak politik untuk menghasilkan figur-figur pemimpin yang berkualitas di masa depan. 

Mengapa Presidential Threshold harus 0 Persen? 

 Polemik PT 20 persen ini pada ujungnya melahirkan sebuah usulan dengan mengajukan gugatan atau Judicial review ke MK terkait pasal 222 UU No 7 Tahun 2017, yaitu menurunkan PT dari 20 persen menjadi 0 persen. Gugatan ini sementara dilayangkan salah satunya oleh mantan panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, bersama kuasa hukumnya Refly Harun dan kawan-kawan. 

Substansi gugatan ini sebenarnya mengacuh pada asas keadilan hukum sekaligus kedaulatan berpolitik di dalam bernegara sehingga angka 0 persen dalam kebijakan aturan Ambang batas Pencalonan presiden adalah sebuah solusi sekaligus sesuatu yang ideal di dalam proses demokrasi. Mengapa demikian?

Paling tidak ada tiga sebab yang melandasi pandangan dan sikap penulis dalam penerimaan PT 0 persen dalam momentum pilpres 2024 yang akan datang: Pertama, dengan diberlakukannya PT 0 persen di pilpres 2024 nanti, setiap partai politik diberi ruang gerak dan peluang yang sama untuk mengajukan kader-kader terbaiknya di dalam ajang konstelasi pemilihan presiden dan wakil presiden. Ada sebuah keadilan politik yang perlu ditegakan,mengingat partai politik merupakan agen dari kaderisasi dan persemaian benih-benih pemimpin di masa depan. Sehingga dengan PT 0 Persen ini setidaknya dapat memberi lampu hijau bagi setiap dan semua partai untuk berunjuk visi dan misi melalui figur calon pemimpin dari kader-kader terbaik partai.

 Kedua, PT 20 persen yang masih berlaku saat ini justru membawa gerbong politik Indonesia menuju stasiun oligarki kekuasaan.  Di mana, dengan sistem multi partai saat ini, PT 20 persen dapat menciptakan peluang yang terbuka bagi jalannya politik transaksional, di mana para penguasa lebih leluasa memainkan instrumen politik berdasarkan sistem dan mekanisme oligaki yang mereka bangun, di mana calon pemimpin tidak lagi dipilih berdasarkan kualitas melainkan berdasarkan kuantitas. Yang terjadi adalah tawar menawar kepentingan politik, baik berupa dana maupun jabatan politik. 

Sekedar perbandingan bahwa jika berkaca pada sejarah perpolitikan Prancis dengan menganut sistem multi partai sama seperti Indonesia, rasa-rasanya sistem politik Prancis jauh lebih baik. Hal ini disebabkan Prancis di dalam sistem politiknya tidak memberlakukan kebijakan presidential Threshold.

Dalam sejarahnya semenjak tahun 1978, sistem partai di Perancis diubah dari sistem struktural menjadi konjungtural.   Hal ini berarti pemilihan presiden di Perancis didasarkan pada profil kandidat yang mewakili
partai, bukan berdasarkan profil partai. Hal ini dibuktikan dengan lolosnya Marine Le Pen dan
Emmanuel Macron ke putaran kedua pemilu Presiden Prancis tahun 2017. 

Ketiga, Presidential Threshold 20 persen merupakan kebijakan aturan yang perlu dipertanyakan asas konstitusionalnya dan bisa diartikan sebagai aturan yang inkonstitusonal. Di mana letak inkonstitusonal ya? Coba dilihat dan pahami pemaknaan bunyi pasal 6 (ayat 2) dan pasal 6 A (ayat 5) dan pasal 6 A (ayat 2). Di sini bisa dimaknai bahwa calon presiden dan wakil presiden adalah siapa saja, agama apa saja, dari suku mana saja, asalkan warga negara Indonesia dan berdasarkan ketentuan UU telah memenuhi seluruh aspek prosedur dan memiliki kemampuan dan kriteria yang mumpuni dapat maju sebagai presiden dan wakil presiden. Terlepas dari partai kecil atau besar, memiliki kursi di DPR atau tidak, yang jelas dengan kebijakan aturan presidential Threshold 20 persen, justru akan semakin mempersempit ruang gerak politik bagi banyak calon pemimpin di setip kader partai politik maupun calon pemimpin yang melalui jalur independen.

 Presidential Threshold 20 persen pada kenyataanya adalah sebuah batu sandungan bagi terlaksananya demokratisasi di Indonesia. Titik hitam ini akan semakin menggerus nafas perpolitikan Indonesia, jika kebijakan aturan politis semacam ini tidak segera diamputasi. Sebab, momentum pilpres 2024 semakin di depan mata, dan kasak-kusut politik transaksional mulai terlihat jelas oleh mata, telinga dan kepala, baik yang terlihat di berbagai platform media sosial, media masa maupun di spanduk dan stiker-stiker kampanye. 

Untuk menjunjung keadilan politik serta tegaknya supermasi konstitusi, paling tidak MK memberi lampu hijau bagi terkabul nya setiap permohonan Judicial review terkait Presidential Threshold 20 persen menjadi 0 persen. Sebab, PT 20 persen itu adalah warning sekaligus pratanda rapuhnya asas keadilan dan kebebasan warga negara untuk memilih lebih banyak dari banyaknya figur-figur calon pemimpin bangsa di masa depan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun