Rancangan Undang-Undang KUHP (Kitab Undang Hukum Pidana) saat ini masih dalam tahap pengkajian oleh para ahli hukum terkait subtansi hukum materil (isi UU) maupun formil (UU tata cala pemidanaan).
Pengkajian serta penyusunan kembali KUHP ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh  ketidaklengkapan KUHP lama terhadap kompleksitas permasalahaan pidana yang saat ini terjadi di masyarakat. Ketidaklengkapan ini dapat dikaji melalui penambahan atau pengurangan pasal-pasal pidana yang ada di dalam KUHP lama berdasarkan evaluasi akademik dan yuridis para ahli hukum terhadap norma-norma hukum di dalam lingkungan hukum masyarakat.Â
Namun, RUU KUHP yang merupakan produk legslatif beserta eksekutif ini, menimbulkan perdebatan di masyarakat, salah satunya terkait pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang ternyata dimasukan kembali ke dalam RUU KUHP yang baru, padahal, sebelumnya Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini dikarenakan MA menilai bahwa pasal penghinaan tersebut mengandung multitafsir dan rentan terhadap manipulasi di kalangan penegak dan praktisi hukum.Â
Di dalam RUU KUHP yang baru pasal penghinaan presiden diatur di dalam pasal 218, pasal 219 dan 220:
Pasal 218
(1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pasal 219
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Selanjutnya  pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden telah dimasukan ke dalam delik aduan dan bukan merupakan delik umum. Hal ini berarti bahwa perbuatan menghina presiden atau wakil presiden dapat dihukum jika ada aduan lansung dari presiden ataupun wakil presiden. Hal itu diatur dalam pasal 220 ayat 1 dan 2:
(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Pasal-pasal ini menimbulkan perdebatan di kalangan ahli/praktisi hukum maupun masyarakat umum. Hal ini dikarenakan bahwa sebagian menganggap bahwa pasal-pasal penghinaan yang termuat di dalam RUU KUHP dimaksudkan hanya untuk membela kepentingan politik pemerintah dan DPR serta menganggap kedua lembaga ini antikritik. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh asfinawati ketua YLBHI yang menanggap bahwa pasal penghinaan tersebut merepresentasikan pemerintah sebagai lembaga yang antikritik.Â
Di sisi yang lain, prof Edi Sharif yang merupakan wakil menteri hukum dan HAM menganggap bahwa pasal-pasal penghinaan presiden/wakil presiden itu bukan merupakan suatu bentuk antikritik, melainkan wujud implementasi terhadap tiga landasan dasar di dalam pembentukan norma hukum pidana, yaitu, melindungi kepentingan umum/negara melindungi harkat martabat individu dan melindungi barang milik/harta benda. Terkait dengan itu, maka pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dimasudkan untuk melindungi harkat martabat presiden sebagai pribadi manusia.Â
Namun, banyak pula yang menyoalkan kapasitas presiden dan wakil presiden sebagai pejabat pemerintah, di mana presiden atau wakil presiden seharusnya tidak boleh alergi dengan kritik meskipun itu dengan kritikan keras dan 'kotor'.Â
Perdebatan ini sesungguhnya lahir pemakaian dan pemaknaan  kata mengina dan mengkritik. Sejauh mana sebuah perilaku  digolongkan penghinaan atau kritikan.  Jika perkataan atau perbuatan itu adalah sebuah penghinaan di mana yang diserang adalah harkat dan martabat presiden sebagai pribadi manusia, maka dalam logika hukum, perkataan dan perbuatan itu digolongkan ke dalam pelanggaran pidana.
Sedangkan tidak dianggap melanggar harkat dan martabat presiden atau wakil presiden jika perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan umum atau membela diri. Hal ini dimaksudkan bahwa sesorang tidak dipidana karena perbuatan penghinaan kepada presiden atau wakil presiden, jika dalam proses hukumnya terbukti perbuatan itu dilakukan atas dasar kepentingan umum atau dalam rangka membela diri.Â
Upaya pemerintah dan DPR memasukan pasal penghinaan presiden/wakil presiden ke dalam RUU KUHP merupakan pilihan kebijakan politik hukum yang tepat, sebab menjadi sebuah kewajiban dan keharusan bagi negara untuk melindungi harkat dan martababt presiden dan wakil presiden sebagai pejabat sekaligus pribadi manusia. Kerentanan presiden dan wakil presiden terhadap hinaan  dan cacian di dalam sebuah negara demokratis tentu perlu diaktualisasikan melalui peraturan yang berlaku. Sebab realitas praktik demokrasi yang kebablasan ini, membuat sebagian orang sudah tidak bisa membedakan hinaan dan kritikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H