Mohon tunggu...
Yohanes Djanur
Yohanes Djanur Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Penulis Lepas. Menyukai sastra dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kontoversi Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU KUHP

9 Juni 2021   12:06 Diperbarui: 11 Juni 2021   17:49 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.

Pasal-pasal ini menimbulkan perdebatan di kalangan ahli/praktisi hukum maupun masyarakat umum. Hal ini dikarenakan bahwa sebagian menganggap bahwa pasal-pasal penghinaan yang termuat di dalam RUU KUHP dimaksudkan hanya untuk membela kepentingan politik pemerintah dan DPR serta menganggap kedua lembaga ini  antikritik. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh asfinawati ketua YLBHI yang menanggap bahwa pasal penghinaan tersebut merepresentasikan pemerintah sebagai lembaga yang antikritik. 

Di sisi yang lain, prof Edi Sharif yang merupakan wakil menteri hukum dan HAM menganggap bahwa pasal-pasal penghinaan presiden/wakil presiden itu bukan merupakan suatu bentuk antikritik, melainkan wujud implementasi terhadap tiga landasan dasar di dalam pembentukan norma hukum pidana, yaitu, melindungi kepentingan umum/negara melindungi harkat martabat individu dan melindungi barang milik/harta benda. Terkait dengan itu, maka pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dimasudkan untuk melindungi harkat martabat presiden sebagai pribadi manusia. 

Namun, banyak pula yang menyoalkan kapasitas presiden dan wakil presiden sebagai pejabat pemerintah, di mana presiden atau wakil presiden seharusnya tidak boleh alergi dengan kritik meskipun itu dengan kritikan keras dan 'kotor'. 

Perdebatan ini sesungguhnya lahir pemakaian dan pemaknaan  kata mengina dan mengkritik. Sejauh mana sebuah perilaku  digolongkan penghinaan atau kritikan.  Jika perkataan atau perbuatan itu adalah sebuah penghinaan di mana yang diserang adalah harkat dan martabat presiden sebagai pribadi manusia, maka dalam logika hukum, perkataan dan perbuatan itu digolongkan ke dalam pelanggaran pidana.

Sedangkan tidak dianggap melanggar harkat dan martabat presiden atau wakil presiden jika perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan umum atau membela diri. Hal ini dimaksudkan bahwa sesorang tidak dipidana karena perbuatan penghinaan kepada presiden atau wakil presiden, jika dalam proses hukumnya terbukti perbuatan itu dilakukan atas dasar kepentingan umum atau dalam rangka membela diri. 

Upaya pemerintah dan DPR memasukan pasal penghinaan presiden/wakil presiden ke dalam RUU KUHP merupakan pilihan kebijakan politik hukum yang tepat, sebab menjadi sebuah kewajiban dan keharusan bagi negara untuk melindungi harkat dan martababt presiden dan wakil presiden sebagai pejabat sekaligus pribadi manusia. Kerentanan presiden dan wakil presiden terhadap hinaan  dan cacian di dalam sebuah negara demokratis tentu perlu diaktualisasikan melalui peraturan yang berlaku. Sebab realitas praktik demokrasi yang kebablasan ini, membuat sebagian orang sudah tidak bisa membedakan hinaan dan kritikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun