Demokrasi semakin tersisi. Riak-riak kepentingan politik di ruang publik menghasilkan api yang membakar substani demokrasi, kedamaian dan keadilan, hingga yang tersisa hanyalah kehancuran dan kelumpuhan berpikir sebagai sebuah bangsa.
Demokrasi terpenjara di dalam ruang ambisi dan praktik kekuasaan oligarki. Sebagian menentukan untuk semua, adalah prakitik politik kekuasaan yang mementingkan perut sendiri, tanpa mempedulikaan kesejahteraan rakyat banyak.
Menengok sejarah masa lalu Indonesia, oligarki kekuasaan yang dilakukan Suharto dan kloni-kloninya merupakan sebuah bentuk penindasan terhadap bangsa sendiri, melalui praktik kekuasaan yang koruptif, kolusi, dan nepotisme. Tak heran, kemiskinan berlimpa, menangis untuk sesuap nasi.
Kepalan tangan mahasiswa tahun 1998 adalah kekuatan besar yang berujung pada mundurnya Suharto dari kekuasaannya, setelah kurang lebih 32 tahun memerintah dengan tendensius oligarki. Mahasiswa berdemontrasi menuntut suapaya kebebasan bernegara diakui dan tidak bisa dibatasi oleh kekuasaan yang oligarkis dan diktator. Sebab kebebasan bernegara adalah hal fundamental dari sebuah proses kemerdekaan, setelah hampir ratusan tahun indonesia berada di bawah telapak kaki bangsa penjajah.
Berangkat dari situasi demikian, berlahan keran demokrasi Indonesia mulai dibuka di era reformasi, Â hingga pada hari ini setiap warga negara berhak menikmati kebebasannya dalam berbangsa dan bernegara di bawah naungan pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945 dan NKRI.
Namun, ternyata bayang-bayang kekuasaan oligarki terus membuntuti demokrasi hingga sampai detik ini. Oligarki bermetafosa melalui kekuatan-kekutan dan kepentingan-kepentingan  para elite politik, mencoba bersarang di jubah agama, meja hijau, gedung parlemen hingga di kursi kekuasaan pemerintah.
Ketidakstabilan iklim politik di Indonesia selama kurang lebih dua dekade terahir, tentu memberi isyarat bahwa oligarki sudah menjadi kanker di dalam tubuh demokrasi indonesia. Tak heran, gelombang demontrasi bertubrukan di pelataran gedung pemerintah dan DPR, mencoba membaluti luka demokrasi meskipun di balik pagar dan pengeras suara yang kecil.
Demokrasi telah menjadi milik para penguasa dan dijadikan kuda tunggangan oligarki mereka. KKN merajalela, dinasti politik masih kuat, Penegakan hukum penuh noda, Politik transaksional sangat terasa, ekonomi merangkak dan tak tentu, adalah sederetan masalah di mana demokrasi telah terperangkap dan diakuisisi oleh kepentingan kaum oligarki.
Pantas publik bertanya, "di manakah demokrasi kita berada? Sudah bertahun-tahun kehadirannya samar-samar di tengah kita. Dapatkah kita melihat dengan jelas dia kembali?"
Percaturan kepentingan politik akhir-akhir ini adalah sebuah upayah untuk melemahkan demokrasi. Benturan kepentingan di level penguasa, para elite politik, birkokrat, menandakan bahwa demokrasi telah menjadi hamba untuk tuan-tuannya. Damokrasi digilas habis oleh berbagai kepentingan-kepentingan politik oligarki tak heran suara dan kepentingan rakyat semakin dilupakan.
Sebagimana yang dikemukakan oleh analis politik Northwestern University, Jeffrey Winters menilai bahwa demokrasi Indonesia telah dikuasai oleh kaum oligarki sehingga cita-cita untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat diabaikan. Hal ini terjadi sebab Indonesia mengalami banyak kendala salah satunya proses penegakan hukum yang lemah, sehingga oligarki semakin tumbuh subur di Indonesia.
Lebih jauh, analisis Geopolitik, Hendrajit berpendapat, oligarki politik dalam sistem pemerintahan berdampak kepada sektor ekonomi. Menurutnya, indikator itu dapat dilihat dari kebijakan ekonomi yang diterapkan (gatra.com)
Badai kapitalisme dalam sektor ekonomi Indonesia merupakan roket pendorong, bagimana oligarki meretas sistem keamanan nilai-nilai demokrasi di dalam ruang politik, ekonomi  hukum,  maupun ruang sosial kemasyarakatan.Â
Dalam hal ini oligarki berhasil mengumpulkan dua kekuatan ganda dari arah yang berlawanan, di satu sisi muncul dari dalam sistem pemerintahan itu sendiri, menggarap kebijakan politik di yang profitable di sektor ekonomi untuk kepentingan golongan tertentu, di lain sisi, dari luar, pasar ekonomi (kaum pebisnis) mempreteli arah kebijakan politik dan ekonomi sektoral pemerintah. Ada suatu bentuk simbosis mutualisme di dalam mengakomodir gerak dan arah oligarkis di dalam krangka yang sistemik.
Berangkat dari gerakan yang sistemik inilah yang menjadikan demokrasi Indonesia lumpuh dan tak bisa apa-apa. Demokrasi bisu di dalam kecacatannya sehingga rakyat Indonesia semakin terpuruk dan jauh dari rangkulan kesejahteraan dan keadilan.
Membiarkan demokrasi lumpuh dan dibiarkan tergeletak di pelataran ibu pertiwi adalah sebuah kedunguan bahkan penghianatan terhadap nilai-nilai perjuangan kemerdekaan maupun semangat reformasi. Membiarkan demokrasi tergerus berarti menciptakan misi bunuh diri bagi segenap rakyat Indonesia. Demokrasi meskipun sudah dibabak-belur, paling tidak komiten berbangsa dan bernegara masih terjaga baik di hati dan pikiran rakyat Indonesia.
Maka dari itu, perlu adanya perjuangan melalui pemikiran kiritis berusaha meneropong dan menilai setiap gerak gerik arah kebijakan pemerintah di setiap sektor kehidupan, merawat kedamaian dan persatuan antara sesama bangsa, serta memperkuat solidaritas kebangsaan melalui pengamalan pancasila dan UUD 1945 sebagai fondasi dan atap demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H