Mohon tunggu...
Yohanes Djanur
Yohanes Djanur Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Penulis Lepas. Menyukai sastra dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Corona dan Filosofi "Lino Cenggo"

22 Maret 2020   17:59 Diperbarui: 22 Maret 2020   18:02 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doc. pribadi Penulis

Isu hangat terkait penyebaran virus Corona atau COVID 19 marak menghiasi jagat berita Media Masa internasional maupun lokal.
Hampir seluruh penduduk bumi setiap harinya membahas  isu dan topik yang sama, yaitu Corona Virus, yang saat ini merong-rong kedamaian hidup masyarakat global.

Melihat penyebaran virus Corona yang sangat cepat dan menjangkau hampir seluruh wilayah bumi, tentu mengingatkan kita pada kisah-kisah sejarah lainnya yang tak kalah tragisnya, seperti wabah pes (black death) tahun 1920 dengan korban  mencapai 50 juta jiwa di daratan Eropa, pandemi colera di tahun 1820 dengan memusnakan kurang lebih 100 ribu jiwa di daratan Asia. Dan di tahun 2020 ini, pandemi corona telah melenyapkan hampir 15 ribu jiwa di seluruh dunia.

Dampak wabah besar yang muncul seabad sekali ini tentu menggerus sekaligus menimbulkan berbagai pertanyaan dan spekulasi terhadap eksistensi manusia di muka bumi ini.

Pandemi corona yang muncul di akhir desember 2019 lalu, secara personal tentu mengantarkan saya akan realitas dan makna terpendam dan terdalam dari perang masyarakat global melawan virus sekecil ini.

Saya menyebut pandemi corona ini sebagai The Third World War, dengan Corona Virus sebagai musuh terbesar umat manusia di tahun 2020.

Lantas bagaimana kita merefleksikan keberadaan manusia di dalam The third world war ? Yang hampir ribuan keluarga kehilangan sanak saudara mereka karena "bom biologis ini"

Di suatu kesempatan saya teringat dengan beberapa ungkapan folosofis orang Manggarai, salah satunya filosofi Lino Cenggo.

Corona Dalam Filosofi " Lino Cenggo"

Sebagaimana pandemi corona saya sebut sebagai the third world war tentu kehadirannya selalu saja menyita ruang refleksi kita akan keberadaan manusia sebagai korban dari "bom biologis" ini.

Mengingat kisah-kisah pada sejarah masa lalu seperti the second world war, hampir ratusan juta orang kehilangan nyawa karena kebrutalan taktik dan alat perang kala itu.

Berkitan dengan itu, sebagimana mengacu pada filosofi " lino cenggo" dalam geliat filsafat dan kehidupan budaya orang manggarai-Flores NTT, keberadaan manusia itu hanyalah sementara.

Secara etimologis ungkapan  lino Cenggo sesungguhnya memiliki arti Dunia Singgah, yaitu dari kata bahasa Manggarai; Lino: Dunia dan Cenggo: Singgah.

Maka, Secara filosofis kemanusiaan, ungkapan "lino cenggo" memberi penekanan bahwa keberadaan manusia di dunia ini hanya sekecil saja dan kehidupannya bersifat sementara.

Jika dikaitkan dengan pandemi corona yang menorbankan ribuan jiwa saat ini, maka dalam filosofi lino cenggo keberadaan manusia itu diibaratkan sebagai sebutir pasir di padang gurun Sahara. Bila badai datang, seketika hanyut entah ke mana. Kecil dan keberadaannya hanya sementara.

Realitas "lino Cenggo" saat ini nampak jelas terlihat pada pemandangan kota yang sunyi dan sepi tanpa ada aktifitas padat seperti biasanya. Orang yang tadinya berjabat tangan dan bertegur sapa, kini hanya sebatas lambaian tangan dan tak banyak bicara. 

"Lino Cenggo" menghantar manusia pada realitas kefanan akan dirinya dan betapa rapuhnya manusia seketika dihadapkan dengan gejala-gejala alam seperti wabah penyakit yang sempat menyinggahi muka bumi ini. 

Perkembangan teknologi mutahir yang masif dikembangkan manusia saat ini, tak sedikitpun melunturkan nilai-nilai kefanaan, kerapuhan, kekecilan manusia di muka bumi ini. Manusia sejenak berkreasi hanya sementara dan setelah itu kembali ke pangkuan Sang Pencipta.

Lolongan anjing di malam hari dan suara-suara tiupan angin di siang hari seolah-olah mengisaratkan manusia telah lenyap dari bumi untuk sementara waktu.

Tamparan keras makluk semikro Virus Corona nyatanya telah memporakporandakan kehidupan manusia global, mengisyaraktkan beta kecil dan sementaranya kehidupan manusia.

"Lino Cenggo" kini memenuhi bilik-bilik nurani dan budi manusia, sejenak menghantarnya pada diam dan sunyi supaya memulihkan setiap jengkal hubungannya dengan Sang Pencipta dan alam lingkungan. Sekaligus mengerti bahwa di bumi ini, manusia hanyalah sekecil pasir dan kesementaraanya bagaikan uapan bensin di ruang berudara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun