Maka, Secara filosofis kemanusiaan, ungkapan "lino cenggo" memberi penekanan bahwa keberadaan manusia di dunia ini hanya sekecil saja dan kehidupannya bersifat sementara.
Jika dikaitkan dengan pandemi corona yang menorbankan ribuan jiwa saat ini, maka dalam filosofi lino cenggo keberadaan manusia itu diibaratkan sebagai sebutir pasir di padang gurun Sahara. Bila badai datang, seketika hanyut entah ke mana. Kecil dan keberadaannya hanya sementara.
Realitas "lino Cenggo" saat ini nampak jelas terlihat pada pemandangan kota yang sunyi dan sepi tanpa ada aktifitas padat seperti biasanya. Orang yang tadinya berjabat tangan dan bertegur sapa, kini hanya sebatas lambaian tangan dan tak banyak bicara.Â
"Lino Cenggo" menghantar manusia pada realitas kefanan akan dirinya dan betapa rapuhnya manusia seketika dihadapkan dengan gejala-gejala alam seperti wabah penyakit yang sempat menyinggahi muka bumi ini.Â
Perkembangan teknologi mutahir yang masif dikembangkan manusia saat ini, tak sedikitpun melunturkan nilai-nilai kefanaan, kerapuhan, kekecilan manusia di muka bumi ini. Manusia sejenak berkreasi hanya sementara dan setelah itu kembali ke pangkuan Sang Pencipta.
Lolongan anjing di malam hari dan suara-suara tiupan angin di siang hari seolah-olah mengisaratkan manusia telah lenyap dari bumi untuk sementara waktu.
Tamparan keras makluk semikro Virus Corona nyatanya telah memporakporandakan kehidupan manusia global, mengisyaraktkan beta kecil dan sementaranya kehidupan manusia.
"Lino Cenggo" kini memenuhi bilik-bilik nurani dan budi manusia, sejenak menghantarnya pada diam dan sunyi supaya memulihkan setiap jengkal hubungannya dengan Sang Pencipta dan alam lingkungan. Sekaligus mengerti bahwa di bumi ini, manusia hanyalah sekecil pasir dan kesementaraanya bagaikan uapan bensin di ruang berudara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H