Tulisan ini terinspirasi dari argumentasi dua pemikir filsafat Indonesia. Pertama, Prof. C.B. Mulyatno, seorang dosen Filsafat di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta yang menamatkan s3 filsafatnya di Universitas Urbaniana, Roma. Dalam sebuah Sarasehan Perayaan Syukur 60 Tahun Berkah Pembaharuan Konsili Vatikan II di Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan, Yogyakarta, 15 Oktober 2022, Prof. Mulyatno mengungkapkan keresahannya terkait karya edukatif Gereja Katolik. Â Sekolah-sekolah Katolik di Indonesia jatuh pada arus rivalitas yang sangat kuat. Mereka dengan semangat mengikuti berbagai lomba untuk saling mengalahkan. Bagi Prof. Mulyatno, di situlah pendidikan menjadi lembaga yang menanamkan benih 'peperangan', bukan kasih sebagaimana yang merupakan inti pokok karya Gereja Katolik.
Kedua, Dr. Reza Wattimena, seorang lulusan s3 Filsafat dari Universitas Mnchen, Jerman. Dalam sebuah artikel di Blog Rumah Filsafat yang didirikannya, Reza menulis sebuah judul yang sangat menarik: "Kompetisi dan Komparasi: Dua Racun Mematikan Pendidikan". Penulis buku Revolusi Pendidikan ini melihat bahwa di dunia global sekarang ada dua prinsip pendidikan yang diterapkan, yaitu kompetisi dan komparasi. Dalam prinsip kompetisi, anak didorong untuk berkompetisi menjadi yang terbaik dari antara teman-temannya meskipun mengorbankan kebahagiaan dan kecerdasan alami yang dimilikinya. Kompetisi menjadi ukuran yang berlaku di berbagai tingkat pendidikan. Sang juara dipuja seperti dewa, sementara yang nomor dua dan seterusnya adalah pecundang. Akibatnya, sekolah hanya menjadi tempat melenyapkan kebahagiaan alami anak.
Argumentasi dari dua pemikir hebat di atas sama-sama mengingatkan kita terkait bahaya rivalitas atau lomba yang sudah menjadi bagian dari budaya sekolah. Selama ini mungkin kita tidak sedikitpun meragukan pentingnya lomba sebagai bagian dari proses pendidikan di sekolah. Kita terus-menerus mengagungkan lomba sebagai jalan meningkatkan kualitas siswa. Tdak heran jika hampir semua sekolah selalu mendorong para siswanya untuk terlibat dalam setiap perlombaan. Namun, sadarkah kita bahwa lomba atau rivalitas di sekolah dapat memicu tumbuhnya benih 'peperangan'?
Pada konteks internasional, peperangan antar negara masih juga berlangsung. Israel dan Palestina, Israel dan Lebanon, Ukraina dan Rusia. Barangkali kita adalah beberapa dari jutaan warga dunia yang vokal melontarkan kecaman atas peperangan. Dengan segala cara kita bersuara agar peperangan segera dihentikan. Ada yang bersuara di media sosial. Ada yang berdemonstrasi di jalanan. Ada juga yang menghasilkan karya-karya seni bertemakan stop peperangan. Itu semua kita lakukan karena sadar bahwa peperangan bukan jalan yang paling tepat menyelesaikan konflik antar negara. Sebaliknya, peperangan hanya menciptakan persoalan dan kesengsaraan yang besar bagi manusia. Sejarah dunia telah membuktikan betapa besar kerusakan dan penderitaan yang terjadi akibat peperangan.
Di Indonesia perang sudah berakhir setelah penjajahan Jepang. Walau demikian, 'peperangan' dalam bentuk konflik dan pertikaian masih saja sering terjadi. Misalnya konflik bersenjata antara militer Indonesia dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang sudah dimulai sejak tahun 1961. Di media sosial juga sering diberitakan peristiwa tawuran antar pelajar. Saya sendiri bahkan beberapa minggu lalu melihat langsung tawuran antar beberapa pelajar SMA di salah satu pinggiran jalan kota Bogor. Mirisnya, mereka melakukan itu di saat masih mengenakan pakaian seragam sekolah. Mereka seakan-akan sedang mengotori putihnya tujuan sekolah oleh tawuran yang mereka lakukan. Untung saja saat itu ada sejumlah warga yang langsung membubarkan mereka.
Potret tawuran antar pelajar sebetulnya mengindikasikan ketidakberesan pada proses pendidikan di sekolah. Sejatinya sekolah menjadi tempat utama membentuk manusia untuk menajamkan akal budi dan mengasah hati nuraninya agar dapat menyelesaikan persoalan bukan dengan peperangan atau tawuran. Kenyataannya, sekolah menampilkan sisi lain yang membuat masyarakat menggeleng-gelengkan kepala. Apa yang diajar atau dikondisikan sekolah sehingga tawuran antar pelajar masih sering terjadi?
Keresahan Prof. Mulyatno dan Dr. Rezza tentang budaya rivalitas atau kompetisi di sekolah harusnya segera disadari oleh seluruh insan pendidikan. Itu adalah benih buruk yang tidak sepenuhnya disadari sebagai cikal bakal hasrat 'berperang' untuk menjadi pemenang. Ini tentu saja bahaya halus yang mendistorsi keluhuran sekolah. Jika tetap dibiarkan, pada saatnya sekolah tidak lagi bisa diandalkan untuk mendidik manusia menjadi lebih beradab dan menciptakan perdamaian. Sebaliknya sekolah hanya menjadi lahan subur persemaian benih 'peperangan'.
Sepintas diamati, berbagai kompetisi atau lomba yang diselenggarakan sekolah biasanya dimaksudkan untuk menggali kualitas atau potensi para siswa. Dengan kata lain lomba merupakan jalan untuk menemukan potensi terbaik siswa. Lebih dari itu, secara lengkap Rini Wulandari dalam tulisan artikelnya 'Mengajak Siswa Ikut Lomba, Apa Untungnya' mengemukakan beberapa manfaat lomba, yakni: menguatkan jam terbang, menambah motivasi, menambah keunggulan atau gengsi sekolah, memotivasi para guru, memotivasi siswa lainnya, dan meningkatkan program maupun kreativitas sekolah. Tujuan-tujuan itu tampaknya sangat positif. Namun, apakah semuanya itu hanya bisa dicapai dengan lomba?
Sebetulnya ada cara lain juga tanpa harus melalui lomba. Misalnya dengan menyuruh para siswa membuat karya sesuai minat dan bakatnya lalu sekolah atau dinas pendidikan memberi apresiasi yang positif. Karya-karya itu bisa dimuat di media sosial untuk mendapat apresiasi sekaligus masukan dari masyarakat luas. Cara lain juga yakni sekolah menyelenggarakan pertunjukan atau pementasan para siswa di hadapan banyak orang. Cara-cara seperti itu sangat mungkin bisa mencapai berbagai dampak yang positif entah bagi siswa maupun bagi sekolah.
Saya juga membuktikan sendiri  melalui pengalaman pribadi bahwa saya mampu dalam beberapa keterampilan bukan dengan jalan mengikuti lomba. Saya bisa bermain gitar dan organ hanya dengan keseringan tampil. Artinya ada kesempatan yang disediakan kepada saya untuk tampil meskipun saya tidak langsung mahir. Melalui keseringan tampil tanpa lomba, saya sedikit demi sedikit memperoleh manfaatnya. Mental makin berani, kemampuan bermusik makin meningkat, dll. Saya juga bisa menulis di sini bukan karena saya telah berkali-kali mengikuti lomba. Saya hanya rajin menulis buku harian untuk konsumsi pribadi. Lalu saya memuat tulisan di sini dengan maksud agar blog ini menjadi tempat penyimpanan lain tulisan saya dan mudah-mudahan saya semakin mampu menulis seiring banyaknya menulis. Pada saat yang sama, semoga saja ada pembaca yang mendapatkan manfaat atas tulisan-tulisan saya di sini sambil juga memberi masukan yang berarti untuk meningkatkan kualitas tulisan-tulisan saya.
Itulah aneka bukti bahwa masih ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk menggali mutu pribadi dan meningkatkan mutu sekolah tanpa harus melalui lomba. Ada bahaya yang perlu kita waspadai mengapa lomba harus segera dikurangi atau bila perlu ditiadakan di sekolah. Bahaya itu seringkali tertutup oleh manfaat lomba yang terlanjur dipegang teguh sekian lama. Sekolah dan masyarakat lebih terpukau oleh manfaat-manfaat itu tanpa menyadari dampak buruk yang ditimbulkannya. Banyak orang tidak sanggup menyadari pengeroposan hakikat pendidikan oleh budaya lomba akibat terbius oleh manfaat yang dihasilkannya. Padahal kalau kita menggali lebih dalam, kita akan menemukan berbagai sikap dan suasana yang memperburuk kepribadian maupun kebersamaan dan menjadi pemicu benih 'peperangan' akibat budaya rivalitas atau lomba itu.
Pertama, iklim perlombaan melahirkan anggapan bahwa orang lain adalah lawan, bukan rekan untuk mengasah kepandaian. Dalam suasana rivalitas, seorang siswa melihat kehadiran siswa lain bukan lagi sebagai teman belajar untuk menemani dan mendukung pencapaian cita-citanya melainkan sebagai musuh yang harus dikalahkan. Mengutip pandangan Titus Maccius Plautus yang dipopulerkan oleh Thomas Hobbes, orang lain dianggap sebagai homo homini lupus (serigala bagi sesamanya). Siswa lain ibarat serigala yang menjadi ancaman. Akibatnya suasana sekolah terasa menakutkan seperti di gelanggang pertarungan.
Kedua, rivalitas atau perlombaan melahirkan dua perasaan ekstrim yang berbahaya. Jika menang merasa senang, jika kalah merasa marah. Kesenangan saat menang bisa jatuh pula pada sikap sombong. Ini tentu sikap yang merusak suasana kebersamaan di sekolah. Orang lain dinilai lebih rendah darinya. Siswa yang lebih rendah adalah siswa yang kalah. Reaksi dari siswa yang kalah biasanya marah. Kemarahan selalu mendorong tindakan buruk, misalnya berupa permusuhan, dendam, pertengkaran fisik, dll. Rivalitas pada akhirnya hanya melahirkan konflik yang mengancam perdamaian.
Ketiga, rivalitas melenyapkan kebahagiaan selama sekolah. Dalam suasana rivalitas, para siswa merasa tegang dan terancam. Masing-masing mendambakan kemenangan tapi diliputi kekhawatiran bahwa siswa yang lain akan mengalahkannya. Perasaan itu makin memburuk jika membayangkan olokan dan penghakiman yang akan diterima jika kalah. Akibatnya, seseorang harus menanggung beban dini di masa sekolah sebelum menerima tanggung jawab besar di masa dewasa.
Ketiga hal itu sedikitnya mengungkapkan beberapa sisi buruk budaya lomba atau rivalitas di sekolah sebagai benih 'peperangan'. Kita sepakat menolak 'peperangan', tapi jangan sampai kita tidak menyadari akar penyebab peperangan yang ternyata tumbuh di masa-masa sekolah. Kita harus jujur mengakui bahwa sekolah bukanlah lembaga suci tanpa kekurangan. Kita sebagai pecinta sekolah harus cermat melihat tanda-tanda bahaya yang perlahan-lahan hanya akan merusak kebaikan sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H