Itulah aneka bukti bahwa masih ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk menggali mutu pribadi dan meningkatkan mutu sekolah tanpa harus melalui lomba. Ada bahaya yang perlu kita waspadai mengapa lomba harus segera dikurangi atau bila perlu ditiadakan di sekolah. Bahaya itu seringkali tertutup oleh manfaat lomba yang terlanjur dipegang teguh sekian lama. Sekolah dan masyarakat lebih terpukau oleh manfaat-manfaat itu tanpa menyadari dampak buruk yang ditimbulkannya. Banyak orang tidak sanggup menyadari pengeroposan hakikat pendidikan oleh budaya lomba akibat terbius oleh manfaat yang dihasilkannya. Padahal kalau kita menggali lebih dalam, kita akan menemukan berbagai sikap dan suasana yang memperburuk kepribadian maupun kebersamaan dan menjadi pemicu benih 'peperangan' akibat budaya rivalitas atau lomba itu.
Pertama, iklim perlombaan melahirkan anggapan bahwa orang lain adalah lawan, bukan rekan untuk mengasah kepandaian. Dalam suasana rivalitas, seorang siswa melihat kehadiran siswa lain bukan lagi sebagai teman belajar untuk menemani dan mendukung pencapaian cita-citanya melainkan sebagai musuh yang harus dikalahkan. Mengutip pandangan Titus Maccius Plautus yang dipopulerkan oleh Thomas Hobbes, orang lain dianggap sebagai homo homini lupus (serigala bagi sesamanya). Siswa lain ibarat serigala yang menjadi ancaman. Akibatnya suasana sekolah terasa menakutkan seperti di gelanggang pertarungan.
Kedua, rivalitas atau perlombaan melahirkan dua perasaan ekstrim yang berbahaya. Jika menang merasa senang, jika kalah merasa marah. Kesenangan saat menang bisa jatuh pula pada sikap sombong. Ini tentu sikap yang merusak suasana kebersamaan di sekolah. Orang lain dinilai lebih rendah darinya. Siswa yang lebih rendah adalah siswa yang kalah. Reaksi dari siswa yang kalah biasanya marah. Kemarahan selalu mendorong tindakan buruk, misalnya berupa permusuhan, dendam, pertengkaran fisik, dll. Rivalitas pada akhirnya hanya melahirkan konflik yang mengancam perdamaian.
Ketiga, rivalitas melenyapkan kebahagiaan selama sekolah. Dalam suasana rivalitas, para siswa merasa tegang dan terancam. Masing-masing mendambakan kemenangan tapi diliputi kekhawatiran bahwa siswa yang lain akan mengalahkannya. Perasaan itu makin memburuk jika membayangkan olokan dan penghakiman yang akan diterima jika kalah. Akibatnya, seseorang harus menanggung beban dini di masa sekolah sebelum menerima tanggung jawab besar di masa dewasa.
Ketiga hal itu sedikitnya mengungkapkan beberapa sisi buruk budaya lomba atau rivalitas di sekolah sebagai benih 'peperangan'. Kita sepakat menolak 'peperangan', tapi jangan sampai kita tidak menyadari akar penyebab peperangan yang ternyata tumbuh di masa-masa sekolah. Kita harus jujur mengakui bahwa sekolah bukanlah lembaga suci tanpa kekurangan. Kita sebagai pecinta sekolah harus cermat melihat tanda-tanda bahaya yang perlahan-lahan hanya akan merusak kebaikan sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H