Mohon tunggu...
Yohana Desi Ardianto
Yohana Desi Ardianto Mohon Tunggu... Lainnya - Aparatur Sipil Negara

Yohana merupakan anak ke 3 dari 4 Bersaudara, memulai pendidikan di SDN 1 Karangsari, SMPN 1 Sriagung, STM YPT Pringsewu dan lanjut ke S1 di Institut Keislaman Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang, dan sekarang lagi melanjutkan S2 di Institut Agama Islam Negeri Jurai Siwo Metro Lampung

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bagaimana Menjaga Keotentikan dan Kesakralan Al-Qur'an?

29 April 2023   12:42 Diperbarui: 29 April 2023   12:57 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Al-Qur’an adalah wahyu yang turun kepada Nabi saw melalui malaikat Jibril . Pada periode pertama, al-Qur’an berupa suara dan ucapan-ucapan lisan yang didengar, kemudian beberapa shahabat ada yang menuliskannya di pelepah-pelepah kurma, batu dan lain sebagainya. Transformasi tahap pertama ini dikenal dengan tahapan penulisan awal al-Qur’an. Selanjutnya, tulisan-tulisan al-Qur’an tadi dikumpulkan dan dikodifikasi sepeninggal Rasulullah saw, yang diprakarsai oleh Abu Bakar As-Sidiq atas usulan dari Umar ibnu Khattab yang melihat banyaknya hafizh al-Qur’an yang meninggal di medan perang.

Setelah lembaran-lembaran tadi terkumpul berupa sebuah mushaf yang disimpan oleh Abu Bakar yang selanjutnya tugas pengkodifikasian ini diteruskan oleh Usman ibnu Affan. Pada masa Usman, Al-Qur’an memiliki beberapa Salinan mushaf yang tersebar di semua wilayah muslim. Akan tetapi, terdapat banyak perbedaan yang membuat para shahabat bertikai mengenai ini. Usman ibnu Affan pada saat itu berinisiatif untuk mengumpulkan semua mushaf Al-Qur’an yang ada, dan menentukan satu mushaf yang menjadi pegangan umat muslim. 

Setelah kejadian itu, umat Islam memiliki satu mushaf bersama yang dikenal sebagai mushaf Usmani yang terjaga sampai saat ini, walaupun pada perjalanannya terdapat berbagai perubahan dalam tulisan seperti, pemberian titik, pembatas ayat dan lain sebagainya, Mushaf Alquran yang ada sekarang tetap diyakini sebagai mushaf yang sama dengan mushaf Usmani. Perubahan-perubahan itu hanyalah memberi tanda kepada orang non-Arab agar mudah untuk mengenali huruf-huruf berbahasa Arab.

Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW, dipercaya relevan untuk segala waktu dan tempat. Pada saat pewahyuannya, orang Quraisy tidak percaya Al-Qur’an diturunkan dari Allah SWT. "Dua belas tahun Nabi Muhammad SAW berdakwah, hanya beberapa orang saja yang percaya kepada kenabiannya. 

Dakwah Nabi di Madinah juga banyak ahlul kitab yang menolak kemukjizatan Al-Qur’an. Namun, berkat kerja keras dan kesabaran Nabi SAW, akhirnya Al-Qur’an dapat dipercaya orang-orang Makkah dan Madinah sebagai pedoman hidup. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW 15 abad lalu dalam situasi dan keadaan keagamaan dan sosial yang sangat berbeda dengan keadaan sekarang. Fakta lain, Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab pada abad ke-7 M dan sampai sekarang bahasa Arab juga berkembang dari waktu ke waktu.

Umat Islam harus terus mengkaji Alquran sebagai pedoman hidup umat, dikarenakan tantangan yang dihadapi masyarakat semakin beragam dan kompleks, banyak yang mempertanyakan apakah kandungan Al-Qur'an itu relevan dengan zaman dan waktu sekarang, apakah Al-Qur'an terjaga keotentikannya, mengingat periode waktu antara meninggalnya Nabi SAW dan pengkodifikasian Al-Qur'an sangatlah lama, hal inilah yang memicu banyaknya kaum orientalis meragukan keaslian dan kesakralan Al-Qur'an.

Disinilah letak krusialnya mengapa Umat Islam harus memahami bagaimana Al-Qur'an yang saat ini kita pedomani sanadnya mutawatir sampai Rasulullah SAW, Umat Islam harus memahami latar belakang histori dan Hujjah-hujjahnya, sehingga anggapan dan asumsi kaum orientalis dapat terbantahkan dengan Data dan bukti yang nyata.

Kemudian muncul beberapa kajian tentang bagaimana kemampuan kita untuk memahami ayat Al-Qur'an yang selalu relevan dengan konteks kekinian, dan bagaimana Al-Qur'an dapat menjadi sarana untuk menyajikan khazanah baru bagi umat Islam dalam menerapkan isi kitab suci tersebut dengan konteks kekinian, bagiaman menjadikan Al-Qur'an tersebut tetap Sakral bagi Umat Muslim, ini PR buat Umat Islam, karena kandungan dalam Al-Qur'an  terdapat ayat-ayat yang jelas (muhkamat) dan ayat-ayat yang tidak jelas (mutasyabihat).

Sehingga tidak mudah memahami Alquran dan sangat mungkin salah dalam menafsirkan Alquran apabila tidak mengetahui bahasa dan konteks historisnya, sehingga melalui beberapa kajian tersebut diharapkan dapat meneguhkan kepercayaan bahwa Kitab Suci Al-Qur'an tidak hanya relevan untuk orang-orang Arab tetapi untuk semua umat manusia, serta bagaimana mengejewantahkan kesaralan Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari. 

Pernyataan di atas, dapat memunculkan 2 (dua) pertanyaan penting, Pertama, bagaimana Umat Islam dapat membuktikan bahwa Al-Qur'an itu Otentik dan relevan dalam konteks kekinian? Kedua, Bagaimana Umat Islam mampu mengejewantahkan kesakralan Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari?

Bagaimana Umat Islam dapat membuktikan bahwa Al-Qur'an itu Otentik dan relevan dalam konteks kekinian?

Kurang lebih dalam kurun waktu empat belas Al-Qur'an  telah menjadi pedoman umat Islam di seluruh dunia. Dan ajaibnya, selama itu pula Al-Qur'an  tidak mengalami perubahan dalam bentuk, susunan, dan isinya. Oleh karena itu, berbagai kritik dan tuduhan dilancarkan kepada Al-Qur'an  oleh pihak-pihak yang tidak ridho dengan agama Islam. Salah satu yang dicoba untuk diungkap masalah keotentikan Al-Qur'an  yang berada di tangan umat Islam saat ini. Bahkan hal ini sampai pada titik pembuatan Al-Qur'an edisi kritis dengan merevisi muatan dan kandungannya.

Aktor terpenting dalam pengkajian otentisitas Al-Qur'an  adalah para orientalis barat. Mereka mengkaji Al-Qur'an  secara mendalam melalui manuskript-manuskript yang ada, dan karya-karya ulumul quran dari sarjana muslim sendiri, ditambah dengan catatan sejarah umat Islam dengan kacamata filsafat sejarah, sehingga memberi kesan suatu keilmiahan hasil dari penelitian-penelitian tersebut. Metode dan hasil penelitian ini kemudian diajarkan kepada para sarjana muslim dari berbagai belahan dunia yang melakukan studi di barat. 

Yang selanjutnya ide dan gagasan yang “ilmiah” tersebut dibawa pulang ke negara masing-masing dan disebarkan di instusi-instusi pendidikan yang ada. Maka tidak heran jika kajian dan penelitian semacam ini berkembang dengan pesat di Perguruan Tinggi Islam dengan kedok pencarian tradisi kritis dan ilmiah. Dalam penelitian-penelitian ini tatanan Ulumul Quran yang sudah baku dirombak dan diganti dengan teori-teori baru yang muncul dari barat. Sehingga kesimpulan yang didapatkan tidak hanya menyanggah Al-Qur'an  sebagai kitab suci, tapi pada ujungnya dapat menimbulkan keraguan pada benak umat Islam. 

Salah satu aspek kritik Al-Qur'an  yang gencar dituduhkan adalah permasalahan mushaf utsmani. Penyusunan mushaf utsmani dianggap sarat kepentingan politik oleh penguasa (Utsman bin Affan). Disebutkan bahwa dalam mushaf utsmani telah menghapus beberapa ayat dan menambahkan beberapa ayat. Seperti penghapusan ayat yang sabun nuzulnya bani umayyah (karena Usman dari Bani Umayyah). Juga dengan ditunjukkannya perbedaan antara mushaf utsmani dengan beberapa mushaf shohabah, seperti mushaf Ubay bin Ka’ab, mushaf Ibnu Mas’ud, mushaf Ali bin Abi Tholib dan lain sebagainya. 

Seperti diisebutkan bahwa dalam mushaf Ibnu Mas’ud tidak terdapat surat Al Fatihah, Al Falaq, dan surat An Nass. Juga di sana terdapat beberapa bacaan yang berbeda. Dikatakan bahwa Usman dengan semena-mena membakar semua mushaf yang tidak sesuai dengan apa yang telah dia susun. Dari berbagai data ini disimpulkan mushaf utsmani tidak otentik dengan apa yang telah diajarkan Nabi Muhammad SAW. 

Tuduhan-tuduhan tersebut sebenarnya pengulangan beberapa shubuhat seputar pengumpulan Al-Qur'an, dan itu semua telah dijawab oleh ulama-ulama terdahulu dengan argumen yang jelas dan meyakinkan. Para pengusung kritik sejarah pengumpulan Al-Qur'an tampaknya lupa terhadap satu hal. Yaitu pengumpulan Al-Qur'an  dalam pengertiannya yang utama adalah pengumpulannya di dalam hati setiap muslim, atau bisa disebut dengan menghafalkan Al-Qur'an secara utuh, baru kemudian pengumpulannya dalam bentuk buku atau mushaf. 

Alat yang paling mudah untuk menjelasakan masalah pengumpulan Al-Qur'an  adalah kekayaan bahasa Arab dengan adanya satu kata yang dikhususkan penggunakan untuk pembacaan Al-Qur'an. Yaitu kata tala –  yatlu – tilawatan yang artinya membaca/ membacakan. Maksudnya adalah membaca di sini bukan membaca dari tulisan atau buku, tapi membaca dari apa yang dibacakan kepadanya. Seperti Rasulullah SAW membacakan (tala) ayat-ayat Al-Qur'an  kepada para sahabat dari apa yang Ia dengar dari Allah SWT melalui Jibril AS. 

Begitu pula para sahabat membacakan (tala) Al-Qur'an  kepada para tabi’in dari apa yang mereka dengarkan dari rasul, bukan dari mushaf atau tulisan. Tradisi seperti ini berjalan sedemikian rupa sehingga membentuk tradisi periwayatan yang mutawatir, yang artinya tidak perlu dipertanyakan keotentikannya. Karena yang melakukan tradisi seperti ini adalah ribuan orang bahkan bisa dikatakan sampai jutaan orang membacakan hal yang sama. 

Maka masalah penambahan dan pengurangan ayat-ayat Al-Qur'an  yang dilakukan oleh Usman bin Affan tidak mungkin terjadi. Karena para sahabat sudah tentu menjaganya dengan hafalan yang kuat.  Adapun untuk masalah pembakaran mushaf-mushaf lain yang berbeda dengan mushaf utsmani adalah ijma’ sahabat dengan melihat maslahah yang dibutuhkan umat saat itu. 

Itupun para pemilik mushaf merelakannya. Jikalaupun apa yang mereka (para pemilik mushaf lain) pegang dari rasul dengan segala kebenarannya dibandingkan dengan perbedaan yang ada, pastinya mereka tidak akan rela begitu saja apa yang diajarkan oleh Rasul dihapus begitu saja. Maka di sini menunjukkan permasalahan mushaf bukan menjadi masalah keotentikan Al-Qur'an. 

Bagaimana Umat Islam mampu mengejewantahkan kesakralan Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari?

Transformasi Al-Qur’an merupakan keniscayaan, berkembangnya teknologi menjadikan transformasi Al-Qur’an kepada tahap yang baru, yakni tahap penyebarluasan. Mushaf Al-Qur’an dicetak sedemikian rupa yang kemudian diperjualbelikan sehingga setiap orang bisa memilikinya. Seiring berjalannya waktu, teknologi terus berkembang pesat, mushaf Al-Qur’an yang tadinya berupa hard file ditulis di mushaf-mushaf dan kertas-kertas, ditransformasikan ke dalam bentuk digital. Ada yang berbentuk perangkat lunak komputer, bahkan ada pula yang menjadi perangkat lunak ponsel pintar (Android).

Perubahan yang signifikan ini tentu memberi pengaruh yang sangat besar dalam menjaga sakralitas dari Al-Qur’an itu sendiri. Mushaf Al-Qur’an yang apabila menyentuhnya saja dalam etikanya memerlukan wudhu, setelah menjadi perangkat lunak pertanyaannya adalah apakah Al-Qur'an hilang kesakralannya. Telepon seluler yang memiliki aplikasi atau perangkat lunak mushaf Al-Qur’an dianggap sama saja seperti telepon seluler biasa. Ia bisa dibawa kemanapun, bahkan ke toilet sekalipun yang dalam etikanya mushaf Al-Qur’an tidak boleh dibawa ke toilet.

Bagaimana etika pengguna aplikasi Al-Qur'an dalam telepon seluler, karena kesakralan mushaf Al-Qur’an akan selalu terjaga ketika ia masih berupa mushaf tertulis, sebab Al-Qur’an yang berupa mushaf tertulis akan senantiasa diliputi oleh berbagai ritus dan etika yang menunjukkan adanya sikap penghormatan terhadap Al-Qur’an. Namun, setelah Al-Qur’an direproduksi menjadi sebuah aplikasi digital, hambatan-hambatan dan tradisi-tradisi yang biasa dilakukan hilang sehingga dikhawatirkan menghilangkan nilai sakral
Al-Qur’an itu sendiri.

Terlepas dari hal itu, aplikasi Al-Qur’an sangat memudahkan umat muslim untuk mengakses al-Qur’an, terlebih beragam fitur yang ditawarkan oleh aplikasi-aplikasi itu. Aplikasi tersebut bahkan dilengkapi dengan fitur terjemah, murottal, dan tafsir. Para pengkaji Al-Qur’an mesti bergembira dengan banyaknya kemudahan untuk mengakses sumber pokok penelitian mereka. 

Tafsir yang sangat mahal karena berjilid-jilid sekarang bisa dinikmati secara gratis lewat satu aplikasi saja. Mempelajari qiraat dan memahami Al-Qur’an bisa langsung membacanya lewat terjemahan dan tafsir yang ada di dalam aplikasi tersebut, tentu ini sebuah dilema bagi Umat Islam, dan bagaimana kita bijak dalam menyikapi permasalahan tersebut.

Pertama,  dengan adanya kemajuan tekhnologi atau disebut new media, kini pembelajaran dalam segala bidang khususnya alQur’an mendapatkan kemudahan. Masyarakat perkotaan yang sibuk dengan hiruk pikuk perkotaan dan disibukkan dengan dunia pekerjaan, dapat dengan mudah mengakses pembelajaran Al-Qur’an baik itu Al-Qur’an digital, Al-Qur’an cetak dengan berbagai kegunaan dan keunggulannya, maupun pembelajaran Al-Qur’an secara online, karena hal tersebut dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun tentunya menurut hemat penulis tetap harus dilakukan di depan seorang Guru atau Ustadz, sehingga kemurnian dan keotentikan kandungan Al-Qur'an akan tetap mutawatir sampai Rasulullah SAW.

Kedua, terkait dengan Kesakralan Al-Qur'an, permasalahan terjadi ketika adanya ketidaksesuaian antara teks asli dan teks digital. Maka dari itu, perlu adanya verifikasi terhadap teks dengan mencantumkan sumber rujukan oleh tim khusus untuk memverifikasi orisinalitas teks, baik itu Al-Qur’an atau tafsir yang ada dalam aplikasi itu.serta adanya sistem keamanan yang mumpuni agar tidak mudah dimasuki oleh virus yang mungkin bisa menyebabkan perubahan yang tidak disadari dalam aplikasi itu.

Ini menjadi logis sebab untuk membuat sebuah aplikasi perlu tahapan-tahapan yang panjang, dari mulai input data yang kemungkinan terdapat typo, proses coding, dan outputnya menjadi sebuah aplikasi yang bisa dipakai. menurut hemat Penulis, disamping beberapa hal yang telah disebutkan tersebut, tentunyadalam hal kita menjaga kesakralan Al-qur'an baik itu teks tertulis atau teks dalam aplikasi, hendaknya setiap Muslim harus berwudhu terlebih dahulu ketika akan membaca dan mengkaji Al-Qur'an baik itu Al-Qur'an versi Teks asli maupun aplikasi, selanjutnya setiap Muslim juga harus menjaga kesucian Al-Qur'an dengan tidak membawanya ke tempat-tempat yang tidak sepatutnya, contoh : Toilet dan sebagainya. Wallahu A'lam Bisshowabb...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun