Mohon tunggu...
YOGYANTORO
YOGYANTORO Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Penulis

Lahir di Trenggalek, 02 Mei 1985. Alumnus Universitas Negeri Malang, Malang, STKIP PGRI Tulungagung, Tulungagung dan Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keterkaitan Antara Peran Guru Sebagai Coach di Sekolah dengan Pembelajaran Berdiferensiasi dan PSE

20 Mei 2023   23:56 Diperbarui: 21 Mei 2023   08:07 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kolaborasi Bersama CGP 

Saat ini saya sedang mengikuti program pendidikan guru penggerak (PPGP) di angkatan 7  sebagai calon guru penggerak (CGP) Rekognisi bersama fasilitator pemandu yaitu Ibu Iswatun Khoiriyah, pengawas sekolah di Dinas Pendidikan Pendidikan Kabupaten Bogor. Pada Modul.2.3 saya mendapatkan pengalaman belajar yang luar biasa tentang Kompetensi Inti Coaching seperti kehadiran penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. Kita juga belajar tentang percakapan perencanaan, percakapan pemecahan masalah, percakapan berefleksi dan percakapan kalibrasi. Kemudian saya belajar mendengarkan dengan “RASA” yaitu receive, appreciate, ask dan summarize serta belajar tentang alur TIRTA (Tujuan, Identifikasi, Rencana Aksi, Tanggung Jawab) dan alur GROW (Goal, Reality, Options, Will). Last but not least, saya juga belajar tentang umpan balik berbasis coaching dengan menggunakan pertanyaan reflektif dan data yang valid dalam supervisi klinik dan supervisi akademik.

Emosi-emosi yang saya rasakan saat belajar adalah bangga dan bersyukur karena dapat belajar hal baru seperti supervisi akademik yang dilakukan untuk memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid sebagaimana tertuang dalam standar proses pada Standar Nasional Pendidikan Pasal 12 yaitu pelaksanaan pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b diselenggarakan dalam suasana belajar yang:

a. interaktif;

b. inspiratif;

c. menyenangkan;

d. menantang;

e. memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif; dan

f. memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis Peserta Didik.

Hal yang sudah baik berkaitan dengan keterlibatan diri dalam proses belajar adalah bahwa saya dapat belajar mengeksplorasi proses berpikir kreatif seperti paradigma berpikir yang memberdayakan. Hal mutlak diperlukan agar pengembangan diri saya dapat berjalan secara berkelanjutan dan terarah. Salah satu pendekatan yang memberdayakan adalah coaching sebagaimana Whitmore (2003) ungkapkan bahwa coaching adalah kunci pembuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Sedangkan Whitmore (2003) mendefinisikan coaching sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya. Sejalan dengan pendapat para ahli tersebut, International Coach Federation mendefinisikan coaching sebagai“…bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.”

Sementara itu hal yang perlu saya perbaiki terkait dengan keterlibatan diri dalam proses belajar adalah bagaimana saya dapat menguatkan keterampilan komunikasi sebagai guru dengan murid dengan menggunakan pendekatan coaching. Saya percaya Sistem Among, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani dengan menggunakan pendekatan coaching adalah cara terbaik yang dapat saya lakukan. Tut Wuri Handayani menjadi kekuatan dalam pendekatan proses coaching dengan memberdayakan (andayani/handayani) semua kekuatan diri pada murid. Sebagai seorang Guru (pendidik/pamong) dengan semangat Tut Wuri Handayani, maka perlulah kita menghayati dan memaknai cara berpikir atau paradigma berpikir Ki Hajar Dewantara sebelum melakukan pendampingan dengan pendekatan coaching sebagai salah pendekatan komunikasi dengan semangat among (menuntun).

Saya menyadari bahwa kita perlu menguasai kompetensi inti coaching seperti

-kesadaran penuh (presence)

-mendengarkan aktif

-mengajukan pertanyaan berbobot.

Ketiga-tiganya perlu kita kaitkan dengan kematangan diri kita sebagaimana kerangka kompetensi pembelajaran sosial dan emosional CASEL yang menggunakan pendekatan sistematis dan menekankan pada pentingnya menciptakan lingkungan belajar yang tepat serta terkoordinasi untuk meningkatkan pembelajaran akademik, sosial, dan emosional semua murid.

Bagi saya,upaya untuk terus meningkatkan Kesadaran Penuh (mindfulness) saya sebagai guru akan berperan sebagai dasar penguatan 5 (lima) Kompetensi Sosial dan Emosional. Pada prinsipnya praktik kesadaran penuh merupakan segala aktivitas yang kita lakukan secara sadar. Apapun bentuk aktivitasnya - yang ditekankan adalah perhatian yang diberikan saat melakukan aktivitas tersebut. Meski demikian, terdapat juga praktik-praktik terpadu yang dikemas secara khusus untuk membantu kita. Praktik paling mendasar dan sederhana adalah melatih dan menyadari napas. Salah satu teknik melatih napas adalah Teknik STOP. Teknik ini dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja, dan tanpa membutuhkan peralatan. STOP terdiri dari stop,take a breath, observe and proceed.

Kerangka Pembelajaran Sosial Emosional berbasis kesadaran penuh dalam mewujudkan kesejahteraan psikologis (well-being) yang diadaptasi dari piramida K-For-Catanese (dalam Hawkins, 2017) yang menjelaskan bahwa kesadaran penuh dapat menciptakan kesejahteraan sosial dan emosional.  Kesejahteraan sosial dan emosi akan membuahkan well-being. Implementasi pembelajaran sosial emosional di kelas dan sekolah melalui 4 indikator, yaitu: pengajaran eksplisit, integrasi dalam praktek mengajar guru dan kurikulum akademik, penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah, dan penguatan pembelajaran sosial emosional pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) di sekolah.  Penerapan pembelajaran sosial dan emosional tidak hanya mencakup ruang lingkup kelas dan sekolah, namun juga melibatkan keluarga dan komunitas. Hal ini sejalan dengan prinsip pendidikan Tri Sentra (Tiga Pusat Pendidikan) salah satu gagasan Ki Hajar Dewantara yang menerangkan bahwa pendidikan berlangsung di tiga lingkungan yaitu, keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Dengan kesadaran penuh (mindfulness) maka saya akan lebih mudah belajar tentang paradigma berpikir coaching yaitu:

fokus pada coachee

terbuka dan ingin tahu

memiliki kesadaran diri kuat

melihat peluang baru

Sebagai seorang coach salah satu peran terpentingnya adalah membantu coachee menyadari potensi yang dimiliki untuk mengembangkan kompetensi dirinya, dan menjadi mandiri melalui pendampingan yang mengedepankan semangat memberdayakan. Alur percakapan coaching TIRTA dikembangkan dengan semangat merdeka belajar yang membuat kita memiliki paradigma berpikir, prinsip dan keterampilan coaching untuk memfasilitasi rekan sejawat agar dapat belajar dari situasi yang dihadapi dan membuat keputusan-keputusan bijaksana secara mandiri. Hal ini penting mengingat tujuan coaching yaitu untuk pengembangan diri dan membangun kemandirian. Melalui alur percakapan coaching TIRTA, kita diharapkan dapat melakukan pendampingan baik kepada rekan sejawat maupun muridnya.

Ruang Kolaborasi Bersama CGP 
Ruang Kolaborasi Bersama CGP 

Pertanyaan kritis yang berhubungan dengan konsep materi bagi saya adalah bagaimana praktik coaching dapat meningkatkan  pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar murid dan memperkuat  praktik pembelajaran yang berpihak pada murid? Akhirnya saya banyak belajar tentang profil belajar, pembelajaran berdiferensiasi, teori scaffolding, perspektif equalizer dan strategi penilaian formatif. Profil belajar merupakan pendekatan yang disukai murid untuk belajar, yang dipengaruhi oleh gaya berpikir/belajar, kecerdasan, budaya, latar belakang, jenis kelamin, dan lain-lain. Sangat penting menerapkan teknik pembelajaran di mana murid diberikan sejumlah bantuan, kemudian perlahan-lahan diadakan pengurangan terhadap bantuan tersebut hingga pada akhirnya, murid dapat menunjukkan kemandirian yang lebih besar dalam proses pembelajaran (scaffolding). Pembelajaran itu perlu memenuhi kebutuhan belajar semua murid, menyesuaikan kebutuhan belajar murid seperti kesiapan belajar murid, minat murid, profil belajar murid dan berdiferensiasi.

Kesiapan belajar murid bukanlah tentang tingkat intelektualitas (IQ). Hal ini lebih kepada informasi tentang apakah pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki murid saat ini, sesuai dengan pengetahuan atau keterampilan baru yang akan diajarkan. Adapun tujuan memperhatikan kebutuhan belajar murid berdasarkan tingkat kesiapan belajar ini adalah untuk memastikan bahwa semua siswa diberikan pengalaman belajar yang menantang secara tepat (Santangelo & Tomlinson (2009) dalam Joseph et.al (2013: 29)). Berikut ini adalah perspektif equalizer (Tomlinson (2001:47).

Mendasar – Transformatif

Konkret – Abstrak

Sederhana – Kompleks

Terstruktur – Terbuka

Tergantung – Mandiri

Lambat – Cepat

Pembelajaran berdiferensiasi adalah usaha guru untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu murid (Tomlinson (1994:14). Pembelajaran berdiferensiasi bukan mengelompokkan yang pintar dengan yang pintar, yang kurang dengan yang kurang, memberikan tugas yang berbeda untuk setiap anak, atau guru yang berlari membatu kesana kemari membantu si A,si B,si C. Pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran dengan kurikulum (tujuan pembelajaran) didefinisikan secara jelas, lingkungan belajar yang mengundang murid untuk belajar dan adanya penilaian berkelanjutan (penilaian formatif).  

Selain itu perkembangan murid juga perlu dikelola secara holistik yang mencakup perkembangan intelektual, fisik, emosional, sosial dan karakter. Dalam Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE), adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah yang memungkinkan anak dan pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai 5 Kompetensi Sosial dan Emosional. Mulai dari pengajaran secara eksplisit di kelas hingga kemitraan dengan keluarga dan komunitas untuk terus mengupayakan proses kolaboratif dan berkelanjutan.

Tantangan yang muncul yang sesuai dengan konteks asal saya sebagai CGP Rekognisi diantaranya adalah sekolah tempat saya mengajar berada di desa terpencil dan saya perlu mendidik siswa yang kurang beruntung, latar belakang keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah, dan tidak mempunyai rekor akademis yang baik. Akan jauh berbeda mendidik anak-anak orang kaya dan juga cerdas di kota atau di sekolah berlabel internasional. Menjadi guru desa memerlukan pengabdian yang tinggi untuk kepentingan pendidikan. Guru desa seperti saya ini terus belajar untuk senantiasa  berkarya. Bukankah siapapun guru bisa menjadi mulia karena karya-karyanya lebih-lebih bila diukur dengan pengabdian yang tanpa pamrih dan pengabdian bagi kepentingan kemanusiaan.

Bagi saya menjadi guru artinya adalah menjadi pamong yang perlu terus rajin memperbaiki diri. Pendidikan hanya akan berhasil jika ada pembiasaan dan action atau aksi nyata di lapangan. Salah satunya adalah pembiasaan perilaku dan mental disiplin. Mental seperti inilah yang seharusnya dimiliki oleh guru-guru penggerak di Indonesia. Membangun budaya disiplin lebih diutamakan daripada sekedar tahu atau menimba ilmu dan menambah kompetensi tapi lupa bagaimana proses bekerja yang sesungguhnya.

Tahu teori tentang kedisiplinan belum tentu membuat seseorang akan berperilaku disiplin jika dia tidak paham mengapa harus berlaku disilplin. Memberhentikan kendaraan ketika melihat lampu merah, itu tindakan disiplin. Namun jika kita berhenti kalau ada polisi yang sedang berjaga saja, kita layak mempertanyakan sikap kedisiplinannya. Bagaimana pula jadinya jika polisi memberi contoh tidak terpuji dengan melabrak lampu merah atau menyalip kendaraan dari bahu jalan. Jika tidak ada proses pembiasaan dan peneladanan, sejatinya proses pendidikan akan nonsense.

Oleh karena itu sangat penting adanya Pembelajaran Sosial dan Emosional berupaya menciptakan lingkungan dan pengalaman belajar yang menumbuhkan 5 kompetensi sosial dan emosional yaitu kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Pembelajaran 5 KSE tersebut akan dapat menghasilkan murid-murid yang berkarakter, disiplin, santun, jujur, peduli, responsif, proaktif, mendorong anak untuk memiliki rasa ingin tahu tentang ilmu pengetahuan, sosial, budaya, dan humaniora. Semua ini selaras dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi dalam Standar Nasional Pendidikan.

Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE) adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional agar dapat:

1. Memahami, menghayati, dan mengelola emosi (kesadaran diri)

2. Menetapkan dan mencapai tujuan positif (pengelolaan diri)

3. Merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain (kesadaran sosial)

4. Membangun dan mempertahankan hubungan yang positif (keterampilan berelasi)

5. Membuat keputusan yang bertanggung jawab. (pengambilan keputusan yang bertanggung jawab).

Pengalaman masa lalu saya adalah bahwa saya adalah saksi hidup tentang potret pendidikan di daerah-daerah pinggiran di Kalimantan. Karakteristik, kemampuan dan semangat belajar anak-anaknya berbeda dengan mereka yang terlahir dan besar di pulau Jawa. Negara harus hadir di tempat-tempat seperti ini. Mereka anak-anak pinggiran yang acap kali termarginalkan adalah saudara sebangsa. Sejauh apapun jarak desa-desa tempatku mengajar dari ibukota, tetaplah sama yaitu Indonesia.

Kegiatan Refleksi Setelah Diskusi Kelompok 
Kegiatan Refleksi Setelah Diskusi Kelompok 

Darah saya tetap darah muda. Bara api dalam jiwa saya harus tetap menyala. Itulah tekad saya untuk tidak pernah berhenti dan tak boleh ada yang menghentikan langkah saya untuk maju dan makin menderu menginspirasi sepanjang waktu. Berjibaku untuk negeri Indonesia melalui pendidikan. Thomas Alva Edison dikenang karena karyanya menciptakan bola lampu. Demikian pula tokoh-tokoh yang lain. Guru pun juga akan punya karya yang akan senantiasa dikenang oleh anak-anak didiknya. Cerita atau dongeng dari guru akan tetap terngiang. Penjelasan tentang materi pelajaran tak lekang dimakan zaman. Inspirasi yang pernah diberikan oleh guru juga akan tetap abadi sampai dibawa mati. Itulah mahakarya seorang guru yang akan tetap bisa dikenang meskipun seiring berlalunya waktu. Kemilau sang guru yang tulus dan ikhlas berbagi ilmu akan tetap abadi.

Itupula yang menginspirasi saya untuk tidak pernah berhenti mengembangkan diri salah satunya dengan mengikuti PPGP di sela-sela kesibukan saya mengajar dan mendidik anak-anakku di kelas. Saya terus berusaha untuk berkaca dari Bu Mus, yang digambarkan secara kasat mata oleh Andrea Hirata dalam buku Laskar Pelangi. Bu Mus selalu tampak berbahagia ketika mengajar, pandai bercerita, tegas dan berwibawa. Guru seperti Bu Mus adalah guru tanpa pamrih, ikhlas, dan mejadi sumur ilmu pengetahuan di ladang gersang. Konstribusinya bagaikan manfaat yang diberikan oksigen untuk memberi nafas kehidupan makhluk di bumi. Seorang guru yang menekankan pengajaran sebagai proses memotivasi, memberi inspirasi dan menyalakan api semangat agar tidak pernah padam. Mengantarkan siswa-siswanya yang berada di pedalaman Bangka Belitung menjadi bintang di angkasa. Jika Bu Mus mempunyai bintang-bintang yang kini bertebaran diangkasa, saya pun sebagai guru juga memiliki bintang-bintang kejora yaitu siswa-siswa saya.

Hal yang akan saya terapkan di masa depan adalah menjadi guru yang berperan sebagai manajer dan bertanggung jawab mengembangkan sekolah salah satunya  melalui school branding. Saya sebagai GGP tidak boleh berpikir biasa-biasa saja (ordinary thinking) tetapi dituntut menuangkan pemikiran dan ide-ide dalam konteks kreatif. Contohnya kita dapat  beberapa sekolah di Banjarmasin atau Palangkaraya menyulap rawa-rawa menjadi kolam ikan untuk mengajarkan aspek-aspek prakarya seperti budidaya, kerajinan, rekayasa dan pengolahan dan menjadikannya sebagai program unggulan yang dikenal masyarakat. SMPN 38 Medan menciptakan school branding dengan menampilkan slogan “Character Building Everyday” dengan produk sekolah seperti 7S (Senyum,Sapa,Salam, Sopan, Santun, Semangat, dan Sepenuh Hati) dan Gerakan Pungut Sampah (GPS). Sedangkan SMPN 3 Malang mengangkat semboyan “Bina Taruna Adiloka” yang artinya menempa generasi muda untuk menjadi manusia-manusia terbaik. Semboyan tersebut lalu diterjemahkan dalam visi sekolah yaitu Unggul dalam IPTEK, Terampil dan Mandiri berdasarkan IMTAQlalu diimplementasikan melalui empat inisiatif yang menjadi program sekolah di SMPN 3 Malang diantaranya Bank Sampah Sekolah, Klinik Sampah Dokter Gamal, Orang Tua Berbagi Keahlian, dan Pemberdayaan Alumni Sekolah.

Peran sebagai pemimpin yang dapat mengembangkan diri dan orang lain, memimpin pembelajaran, memimpin manajeman sekolah dan pengembangan sekolah dapat diwujudkan melalui kepemimpinan yang dicirikan dengan kemampuan mendefinisikan visi untuk sekolah, menyusun rencana yang bersifat inklusif,membangun hubungan kerja atas dasar kepercayaan (trust) dan menjadi model yang bisa beradaptasi dan bergerak dinamis (New Leaders, 2011: Listening to North Carolina’s Educators, 2013). Sekolah tidak fokus pada hambatan melainkan fokus pada inkuiri apresiatif yaitu strategi perubahan kolaboratif yang berbasis kekuatan, pembangunan jejaring dengan berbagai pemangku kepentingan dan pengembangan keterampilan untuk mengelola hubungan dan komunikasi dengan berbagai pihak secara efektif. Pengelolaan atau manajemen sekolah perlu mengusung konsep dua dimensi utama yaitu korporasi kewirausahaan dan inovatif organisasi.

Banyak sekolah yang masih memiliki sarana prasarana yang minim dan hal ini tentu berdampak pada kualitas proses pembelajaran. Sekolah-sekolah tersebut masih belum memenuhi 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan (SNP) sebagaimana yang terungkap dalam Rapor Mutu Penjaminan Mutu Pendidikan. Kebanyakan dari kita  berpikir bahwa untuk memperbaiki ruang kelas atau kebutuhan fasilitas belajar harus menunggu alokasi BOS dan anggaran yang bersal dari Anggaran Pendapatan, dan Belanja Daerah (APBD). Namun kita sebagai CGP tidak perlu menunggu terpenuhinya 8 SNP termasuk standar sarana dan prasarana untuk mencapai mutu sekolah. Hal ini karena sebagai CGP yakin bahwa kita adalah manusia kreatif yang dapat berperan sebagai activator, browser, creator, executor, financer (fasilitator) atau disingkat ABCDEF (Hendarman, 2015).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun