Mohon tunggu...
YOGYANTORO
YOGYANTORO Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Penulis

Lahir di Trenggalek, 02 Mei 1985. Alumnus Universitas Negeri Malang, Malang, STKIP PGRI Tulungagung, Tulungagung dan Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keterkaitan Antara Peran Guru Sebagai Coach di Sekolah dengan Pembelajaran Berdiferensiasi dan PSE

20 Mei 2023   23:56 Diperbarui: 21 Mei 2023   08:07 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kolaborasi Bersama CGP 

Pembelajaran berdiferensiasi adalah usaha guru untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu murid (Tomlinson (1994:14). Pembelajaran berdiferensiasi bukan mengelompokkan yang pintar dengan yang pintar, yang kurang dengan yang kurang, memberikan tugas yang berbeda untuk setiap anak, atau guru yang berlari membatu kesana kemari membantu si A,si B,si C. Pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran dengan kurikulum (tujuan pembelajaran) didefinisikan secara jelas, lingkungan belajar yang mengundang murid untuk belajar dan adanya penilaian berkelanjutan (penilaian formatif).  

Selain itu perkembangan murid juga perlu dikelola secara holistik yang mencakup perkembangan intelektual, fisik, emosional, sosial dan karakter. Dalam Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE), adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah yang memungkinkan anak dan pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai 5 Kompetensi Sosial dan Emosional. Mulai dari pengajaran secara eksplisit di kelas hingga kemitraan dengan keluarga dan komunitas untuk terus mengupayakan proses kolaboratif dan berkelanjutan.

Tantangan yang muncul yang sesuai dengan konteks asal saya sebagai CGP Rekognisi diantaranya adalah sekolah tempat saya mengajar berada di desa terpencil dan saya perlu mendidik siswa yang kurang beruntung, latar belakang keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah, dan tidak mempunyai rekor akademis yang baik. Akan jauh berbeda mendidik anak-anak orang kaya dan juga cerdas di kota atau di sekolah berlabel internasional. Menjadi guru desa memerlukan pengabdian yang tinggi untuk kepentingan pendidikan. Guru desa seperti saya ini terus belajar untuk senantiasa  berkarya. Bukankah siapapun guru bisa menjadi mulia karena karya-karyanya lebih-lebih bila diukur dengan pengabdian yang tanpa pamrih dan pengabdian bagi kepentingan kemanusiaan.

Bagi saya menjadi guru artinya adalah menjadi pamong yang perlu terus rajin memperbaiki diri. Pendidikan hanya akan berhasil jika ada pembiasaan dan action atau aksi nyata di lapangan. Salah satunya adalah pembiasaan perilaku dan mental disiplin. Mental seperti inilah yang seharusnya dimiliki oleh guru-guru penggerak di Indonesia. Membangun budaya disiplin lebih diutamakan daripada sekedar tahu atau menimba ilmu dan menambah kompetensi tapi lupa bagaimana proses bekerja yang sesungguhnya.

Tahu teori tentang kedisiplinan belum tentu membuat seseorang akan berperilaku disiplin jika dia tidak paham mengapa harus berlaku disilplin. Memberhentikan kendaraan ketika melihat lampu merah, itu tindakan disiplin. Namun jika kita berhenti kalau ada polisi yang sedang berjaga saja, kita layak mempertanyakan sikap kedisiplinannya. Bagaimana pula jadinya jika polisi memberi contoh tidak terpuji dengan melabrak lampu merah atau menyalip kendaraan dari bahu jalan. Jika tidak ada proses pembiasaan dan peneladanan, sejatinya proses pendidikan akan nonsense.

Oleh karena itu sangat penting adanya Pembelajaran Sosial dan Emosional berupaya menciptakan lingkungan dan pengalaman belajar yang menumbuhkan 5 kompetensi sosial dan emosional yaitu kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Pembelajaran 5 KSE tersebut akan dapat menghasilkan murid-murid yang berkarakter, disiplin, santun, jujur, peduli, responsif, proaktif, mendorong anak untuk memiliki rasa ingin tahu tentang ilmu pengetahuan, sosial, budaya, dan humaniora. Semua ini selaras dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi dalam Standar Nasional Pendidikan.

Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE) adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional agar dapat:

1. Memahami, menghayati, dan mengelola emosi (kesadaran diri)

2. Menetapkan dan mencapai tujuan positif (pengelolaan diri)

3. Merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain (kesadaran sosial)

4. Membangun dan mempertahankan hubungan yang positif (keterampilan berelasi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun