Mohon tunggu...
Yogo Risnandri
Yogo Risnandri Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa, Penulis

Magister Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penemuan Hukum Oleh Hakim: Teori dan Praktik

31 Oktober 2023   15:39 Diperbarui: 31 Oktober 2023   15:50 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada hakikatnya pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas, namun wajib memeriksa dan mengadilinya. Pernyataan ini dapat dimaknai bahwa Hakim sebagai organ utama (core bussines) di pengadilan mempunyai kewajiban menemukan hukum sutu perkara meskipun ketentuannya tidak ada atau kurang jelas. Sering terjadi suatu perkara atau masalah yang ada ternyata belum diatur oleh suatu perundang-undangan atau telah diatur tapi tidak lengkap sehingga dalam hal ini Hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum dituntu mampu memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum yang berkembang sehingga putusannya selalu dirasakan adil oleh masyarakat Hal ini seiring dengan ketentuan pada Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat 1 yang mendalilkan bahwa "Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat.

Klausula "menggali" biasanya bukan berarti hukumnya sama sekali tidak ada, melaikan sudah ada dalam peraturan perundang-undangan namun masih samar atau sudah ada dan jelas dalam peraturan namun tidak relavan diterapkan dalam peristiwa konkrit. Sehingga menggali diartikan sebagai upaya lebih dalam untuk menemukan hukumnya dengan mencari dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Dalam proses penggalian itu jika sudah menemukan hukumnya, maka Hakim harus menjadikannya sebagai dasar dalam putusanya agar sesuai dengan rasa keadilan. Hakim sebagai aparat penegak hukum , memiliki peran dalam penemuan hukum. Hakim sebagai sebagai aparat yang berperan dalam pembentukan hukum, ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkret. Sedangkan,penerapan hukum sendiri adalah konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das Sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit tertentu (das Sein).

Dalam praktiknya, ikhtiar menemukan hukum yang sedang diperiksa oleh Majelis Hakim merupakan suatu hal yang paling sulit dilakukan. Meskipun secara teori para Hakim dianggap tahu hukum (ius curia novit), kenyataanya para Hakim itu tidak mengetahui semua hukum, karena hukum mempunyai banyak ragamnya, ada yang tertulis dan ada juga yang tidak tertulis. Tetapi wajib hukumnya bagi seorang Hakim untuk menggali dengan benar terhadap perkara yang diajukan kepadanya, yaitu dengan menemukan hukumnya dari sumber hukum utama yakni peraturan perundang-undaangan dan sumber hukum lainnya seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, hukum tidak tertulis atau kebiasaan. Indonesia sendiri mengenal penemuan hukum heteronom dan otonom sehingga karenanya apabila dihadapkan suatu kasus sesulit apapun Hakim wajib menemukan hukumnya, baik melalui terobosan hukum (contra legem), atau melalui konstruksi hukum (rechtsconstruction), baik dengan cara menafsirkan hukum yang sudah ada maupun dengan cara menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Sehubungan dengan pengamatan selama ini bahwa putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding di 4 (empat) lingkungan peradilan di bawah Mahmakah Agung RI masih sangat lemah dalam pertimbangan hukumnya. Maka, pada tanggal 9 hingga tanggal 11 oktober 2023 diadakan acara bimbingan teknis (bimtek) yang di selenggarakan di Labuan Bajo dan diikuti oleh seluruh Hakim dan Hakim tinggi seluruh Indonesia baik secara langsung maupun melalui aplikasi teleconference (zoom). Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dalam metode dan teknik pengambilan putusan oleh Hakim dalam memutus suatu perkara khususnya perkara perdata.

Menurut H. Taufiq, S.H. (1995:19) berpendapat bahwa kelemahan putusan pengadilan di samping berpijak pada kekurangan fakta, juga kurangnya kemampuan penganalisaan dan penilaian terhadap fakta. Penganalisaan Hakim terhadap fakta sebelum disimpulkan kepada yang benar (proses konstatir) sering sekali kurang tajam. Hal ini disebabkan oleh minimnya kemampuan penggunaan metode induksi. Selain itu, kekurangan terlihat juga dalam menggunakan metode analogi induktif, generalisasi dan kausal di mana data yang dapat diproses oleh Hakim sangat minim karena kurangnya memahami tentang konsep fakta dan konsep hukum yang harus digunakan. Di samping itu, analisis fakta yang telah dinyatakan terbukti jamak dijumpai tidak tajam, bahkan sering tidak dianalisis sebagaimana mestinya. Selanjutnya, menurut penulis metode yang digunakan untuk menarik kesimpulan dan menemukan fakta umumnya tidak jelas, status pencantuman pendapat ahli juga tidak terang, apakas sebagai sumber hukum ataukah sebagai sarana penafsiran belaka.

Dampak dari kekurangan dan kelemahan sebagaimana dipaparkan di atas berujung pada sebagian besar putusan pengadilan, dimana pertimbangan hukumnya dianggap tidak lengkap, tidak sistematis dan kurang meyakinkan.  Selain itu, bunyi amar putusan belum miliki format baku dan masih beragam padahal kasus yang diperiksa memiliki kesamaan antar satu dengan yang lainnya. Sehingga putusan tersebut belum dapat dipertanggung jawabkan secara formal dan materiil. Dalam praktiknya, pertanggungjawaban putusan pengadilan secara formil mempunyai konsekuensi hukum yang tegas di mana Badan Pengawasan (BAWAS) Mahkamah Agung (MA), sebagai pengawas internal institusi MA, rutin mengumumkan penjatuhan sanksi disiplin kepada pegawai MA yang kedapatan melanggar kode etik dan pedoman perilaku.

Secara fungsional, adanya kekeliruan dalam penerapan hukum acara secara formil oleh Hakim dapat dikategorikan sebagai bekerja tidak profesional (unprofessional conduct) selaku aparat penegak hukum. Alih-alih melakukan penemukan hukum dengan menyelami nilai-nilai keadilan di masyarakat, pelanggaran berupa unprofessional conduct jamak dilakukan oleh aparatur peradilan termasuk Hakim, seperti kesalahan dalam pengetikan putusan yang tidak sesuai dengan berita acara sidang atau mengabaikan fakta-fakta hukum dalam persidangan yang tidak dipertimbangkan di dalam putusannya. Pelanggaran berupa unprofessional conduct sebenarnya menyampaikan pesan penting kepada Hakim dan aparatur peradilan lainnya agar lebih teliti dan bersungguh-sungguh dalam mengadili sebuah perkara.

Di samping itu, upaya dalam mengeksplorasi independensi yang dimiliki seorang Hakim untuk melakukan penemuan hukum seringkali tersandung dengan masalah senioritas dan etika birokrasi. Dalam beberapa kesempatan bimbingan teknis yudisial, ditanamkan prinsip bahwa seorang ketua pengadilan adalah senior secara struktrual dan fungsional sebagai pimpinan maupun rekan seprofesi. Rapat musyawarah majelis yang dilakukan Hakim untuk menggali nilai-nilai keadilan dengan melakukan penemuan hukum terhadap suatu perkara seringkali tersandera dengan adanya perbedaan pendapat (dissenting opinion). Sementara dalam kasus-kasus rumit yang penuh intervensi memiliki kecendrungan putusan akhir sesuai dengan apa kata ketua majelis yang biasanya ditempati oleh ketua pengadilan sebagai Hakim paling senior.

Kita sering melihat bagaimana "atasan" memberikan pembinaan kepada "bawahan" supaya menanamkan integritas dan meningkatkan kompetensi, namun terkadang oknum "atasan" yang justru terjatuh kepada praktik imoral dan unprofessional conduct ataupun sebaliknya oknum "bawahan" yang masih saja asik dengan zona nyaman dengan memberikan putusan-putusan "apa adanya" tanpa memperhatikan prinsip  formil, moral, dan keadilan. Perbaikan secara segmentatif perlu dilakukan agar tidak surplus pembinaan namun defisit keteladanan.

Beberapa uraian diatas dapat disimpulkan beberapa hal tentang penemuan hukum oleh Hakim dari sisi teoritis dan praktis. Dari segi metodelogi, sederhananya para Hakim dalam mengambil keputusan pada perkara yang diperiksa dan diadili seyogyanya melalui beberapa tahapan. Perumusan masalah dapat disimpulkan dari informasi yang didapat dari Penggugat dan Tergugat. Setelah merumuskan pokok permasalahnya, Hakim selanjutnya menentukan siapa yang dibebani pembuktian pertama kali. Selanjutnya, data yang telah diolah akan menghasilkan fakta yang akan diproses lebih lanjut sehingga menelurkan keputusan yang benar dan akurat. Setelah fakta yang dianggap benar ditemukan, selanjutnya Hakim menemukan dan menerapkan hukumnya. Jika penemuan hukum dan penerapan hukum telah dilaksanakan oleh Hakim, maka ia harus menuangkannya dalam bentuk tertulis yang disebut dengan putusan.

Penemuan hukum sejatinya berdiri sendiri tanpa ditunggangi dengan intrik dan politik kepentingan. Mahkota dari seorang Hakim dalam menjalankan fungsi mengadili yaitu independensinya. Dengan demikian, Hakim bebas melakukan penemuan hukum (rechtvinding) walaupun harus keluar dari aturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem) demi mewujudkan nilai keadilan dalam masyarakat sepanjang dapat menjelaskan alasan logis dari putusanya (rasio desidendi). Dalam struktur organisasi di pengadilan antara ketua dengan para Hakim dihubungkan dengan garis putus-putus (garis kordinasi) yang bermakna bahwa hubungan antara Hakim dan ketua majelis tidak ada yang lebih mendominasi melainkan saling berkerjasama dan muswarah agar terciptnya penemuan hukum yang dapat mengakomodir nilai keadilan dan kepuasan masyarakat pencari keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun