Mohon tunggu...
YOGI RAMADHANI
YOGI RAMADHANI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Airlangga

Seorang mahasiswa baru program studi Ilmu Politik, Universitas Airlangga. Memiliki minat dalam dunia sosial dan politik, organisasi, dan kepemimpinan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Skeptisisme Terhadap Kebijakan Ekspor Pasir Laut di Indonesia: Antara Keuntungan Ekonomi dan Ancaman Lingkungan

20 Desember 2024   00:05 Diperbarui: 20 Desember 2024   00:05 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah Indonesia baru-baru ini memutuskan untuk membuka kembali izin ekspor pasir laut, sebuah kebijakan yang mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak. Kebijakan ini disebut-sebut sebagai upaya meningkatkan devisa negara dan mengoptimalkan pemanfaatan sedimen dari pengerukan alur pelayaran. Namun, di balik tujuan tersebut, banyak pihak yang meragukan kebijakan ini. Skeptisisme muncul dari kekhawatiran akan dampak lingkungan, kerusakan ekosistem laut, hingga potensi konflik diplomatik dengan negara tetangga.

Keputusan pemerintah untuk mencabut larangan ekspor pasir laut yang telah berlaku sejak 2003 memunculkan banyak tanda tanya. Salah satu alasan utama adalah rekam jejak buruk pengelolaan ekspor pasir laut di masa lalu. Dulu, eksploitasi pasir laut secara besar-besaran menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir dan hilangnya habitat biota laut, serta memicu konflik diplomatik, terutama dengan Singapura.

Aktivitas pengerukan pasir laut dapat menyebabkan erosi pantai, hilangnya habitat biota laut, dan rusaknya terumbu karang. Pasir laut bukan sekadar material biasa, tetapi juga rumah bagi organisme kecil yang menjadi rantai awal ekosistem laut. Hilangnya pasir laut dari dasar laut dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan mempengaruhi mata pencaharian nelayan tradisional. Pengambilan pasir yang berlebihan juga dikhawatirkan dapat menyebabkan abrasi pantai, sehingga mengancam pemukiman pesisir.

Salah satu kritik tajam terhadap kebijakan ini adalah lemahnya pengawasan di lapangan. Sejarah telah membuktikan bahwa pengelolaan ekspor pasir laut kerap dibarengi dengan kasus penyelundupan. Banyak kapal asing yang secara ilegal mengambil pasir laut dari wilayah perairan Indonesia tanpa pengawasan memadai. Meskipun pemerintah berjanji akan mengatur ekspor sedimen secara ketat dan hanya memperbolehkan pasir dari hasil pengerukan pelabuhan, skeptisisme tetap ada. Banyak pihak khawatir regulasi ini hanya akan membuka celah baru bagi penyelundupan pasir laut secara besar-besaran.

Pemerintah mengklaim bahwa kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan devisa negara. Namun, beberapa pihak skeptis terhadap besarnya manfaat ekonomi tersebut. Jika dibandingkan dengan potensi kerusakan lingkungan dan biaya pemulihannya, keuntungan dari ekspor pasir laut dinilai tidak sepadan. Apalagi, keuntungan dari aktivitas ekspor ini kemungkinan besar akan dinikmati oleh segelintir pihak swasta, sementara masyarakat pesisir yang paling terdampak justru tidak mendapatkan manfaat langsung.

Secara garis besar, pasir laut adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Begitu pasir dikeruk dari dasar laut, proses alami pembentukannya membutuhkan waktu ratusan hingga ribuan tahun. Pengambilan pasir dalam jumlah besar dapat menyebabkan kerusakan ekosistem yang permanen. Jika terjadi kerusakan terumbu karang, maka produktivitas laut akan menurun, yang pada akhirnya berdampak pada hasil tangkapan nelayan. Ironisnya, nelayan yang mata pencahariannya bergantung pada laut adalah kelompok yang paling rentan terdampak kebijakan ini.

Selanjutnya, wilayah laut Indonesia yang sangat luas menyulitkan pengawasan terhadap aktivitas pengambilan pasir. Pemerintah memang mengklaim akan menggunakan teknologi pengawasan jarak jauh (remote sensing) dan pengawasan ketat di pelabuhan. Namun, pengawasan di lapangan kerap lemah karena minimnya sumber daya manusia dan teknologi yang memadai. Tak jarang, kapal-kapal asing memasuki wilayah perairan Indonesia tanpa terdeteksi. Jika kebijakan ini benar-benar diberlakukan, risiko penyelundupan pasir bisa meningkat, sementara pengawasan tetap lemah.

Kemudian jika kita perhatikan di sini, ada salah satu pertanyaan besar dari kebijakan ini yakni: Siapa yang akan paling diuntungkan? Banyak pihak meyakini bahwa kebijakan ini hanya menguntungkan segelintir pengusaha yang memiliki akses terhadap izin ekspor pasir laut. Sementara itu, masyarakat pesisir dan nelayan justru akan menjadi pihak yang paling dirugikan. Abrasi pantai akibat pengambilan pasir dapat mengancam pemukiman warga pesisir. Dalam jangka panjang, kerusakan pantai membutuhkan biaya pemulihan yang sangat besar, dan beban biaya tersebut biasanya ditanggung oleh negara dan masyarakat.

Jika pemerintah tetap ingin membuka izin ekspor pasir laut, ada beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan agar kebijakan ini tidak berujung pada bencana lingkungan dan sosial. Yang pertama, pemerintah perlu memastikan pengawasan berbasis teknologi, seperti pemantauan menggunakan drone dan sistem pelacakan satelit terhadap aktivitas kapal pengambil pasir. Selain itu, keterlibatan masyarakat pesisir dalam pengawasan sangat penting. Dengan melibatkan nelayan dan masyarakat lokal sebagai "mata dan telinga" di lapangan, pengawasan dapat dilakukan secara lebih efektif.

Selain itu, alih-alih menargetkan keuntungan jangka pendek dari ekspor pasir laut, kebijakan seharusnya berorientasi pada keberlanjutan ekosistem laut. Pemerintah perlu memastikan bahwa aktivitas pengerukan pasir tidak merusak ekosistem dan habitat biota laut. Penerapan standar pengelolaan lingkungan berbasis prinsip "ekonomi biru" (blue economy) perlu diperkuat.

Selanjutnya, setiap izin ekspor pasir laut sebaiknya diaudit secara berkala. Tujuannya adalah memastikan bahwa proses pengambilan pasir sesuai dengan regulasi, dan tidak berdampak buruk pada lingkungan. Audit ini harus melibatkan lembaga independen agar hasilnya lebih objektif.  Sebelum mengizinkan ekspor pasir laut, pemerintah seharusnya memastikan bahwa hak-hak masyarakat pesisir dilindungi. Pemberian kompensasi kepada masyarakat yang terdampak abrasi dan hilangnya produktivitas laut adalah langkah yang perlu dipertimbangkan. Selain itu, kebijakan ini harus disusun secara transparan dan melibatkan masyarakat pesisir dalam proses pengambilan keputusan.

Kebijakan ekspor pasir laut memang menjanjikan manfaat ekonomi, terutama dari sisi penerimaan devisa negara. Namun, manfaat tersebut tidak sebanding dengan risiko lingkungan, kerusakan ekosistem, dan potensi konflik diplomatik. Pengalaman masa lalu telah menunjukkan bahwa kebijakan ekspor pasir sering kali berujung pada eksploitasi berlebihan dan pengawasan yang lemah.

Banyak pihak yang skeptis terhadap kebijakan ini, mengingat sulitnya pengelolaan dan pengawasan aktivitas ekspor di wilayah laut Indonesia yang luas. Lebih dari itu, kebijakan ini berisiko memperparah kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Sebelum kebijakan ini diterapkan, pemerintah seharusnya mempertimbangkan solusi yang lebih ramah lingkungan dan berorientasi pada keberlanjutan ekosistem laut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun