Musthafa juga dikenal sebagai siswa yang rendah hati dan sederhana. Bahkan, dikatakan jika selama ia belajar di MDQWH Nahdhatul Wathan, ia hanya dibekali sepotong pakaian yang ia selalu kenakan. Alhasil, ketika pakaian satu-satunya yang ia miliki itu perlu dicuci, Musthafa pun mau tak mau harus bertelanjang dan kedinginan sembari menunggu pakaiannya kering dan siap dikenakan kembali.Â
Selain itu, Musthafa juga dikenal sebagai santri yang taat beribadah. Hal ini membuatnya menjadi murid kesayangan TGKH Zainuddin Abdul Majid.Â
Karena ketekunan dan kecerdasannya, TGKH Zainuddin Abdul Majid kemudian merekomendasikannya untuk melanjutkan studi ke Mekkah agar bisa belajar dengan para ulama besar di sana. Singkat cerita, dengan berbekal Bismillahirrahmanirrahim, ia pun berangkat ke Mekkah untuk menempuh jalan yang diisyaratkan gurunya sekaligus untuk melanjutkan studinya.
Sesampainya di Mekkah pada tahun 1976, ia teringat pesan gurunya untuk menuntut ilmu kepada ulama dari Asy-Syangkithy yang pada waktu itu terkenal dengan keilmuannya. Pada hari pertama dia duduk di majelis ilmu di Masjid al-Haram Mekah, terlintas angan yang kuat di dalam hatinya.Â
Ia sangat ingin suatu saat bisa duduk mengajar sebagaimana guru-guru besar di Masjid al-Haram mengajar saat itu.
 Niat ini kemudian menjadi cambuk ketekunan baginya. Setelah menempuh pendidikan selama kurang lebih 9 tahun, akhirnya pada tahun 1985, mimpinya menjadi seorang pengajar di Masjid al-Haram pun terwujud. Ia mendapat amanah untuk mengajarkan ilmu keislaman di Babul Fattah, Masjid al-Haram Mekkah.Â
Ini adalah pencapaian besar yang tidak sembarang orang bisa dapatkan. Hal ini karena hanya orang-orang yang berilmu tinggi dan telah melewati berbagai macam seleksi ketat yang dapat menjadi guru di Masjid al-Haram Mekkah.Â
Lalu, setelah mengajar selama 15 tahun di Masjidil Haram Mekah, pemerintah Mekkah mengeluarkan kebijakan di mana seluruh pengajar dari luar kota Mekkah dipersilakan kembali ke negaranya masing-masing untuk menyebarkan ilmu agama. Kepulangan Musthafa Umar ke tanah air inilah yang kemudian menjadi cikal bakal tersebarnya pundi-pundi ajaran Islam dan prinsip-prinsip Al-Qur'an di bumi Lombok.
Ketika Musthafa Umar tiba di Gunungsari Lombok, tanah kelahirannya, ia bertekad untuk melanjutkan semangat mengajarnya dengan mendirikan sebuah pesantren.Â
Niat mulianya ini pun didukung penuh oleh masyarakat sekitar. Sehingga dengan bekal kerjasama dan gotong royong, masyarakat menyumbangkan tenaga mereka secara sukarela untuk pembangunan pondok pesantren yang kemudian diberi nama Pondok Pesantren Al-Aziziyah.Â
Pesantren ini masih eksis hingga saat tulisan ini dibuat dan masih terus mewariskan generasi ulama penghafal Al-Qur'an dari berbagai daerah di Indonesia. Tercatat hingga saat ini pondok pesantren al-Aziziyah telah mencetak lebih dari 3000 penghapal al-Qur'an. Bahkan, beberapa dari mereka telah dipercaya menjadi imam di masjid-masjid besar di berbagai negara di dunia seperti Qatar, Abu Dhabi, dan lainnya.Â