Menabung bagi banyak anak muda sering kali terasa seperti tugas yang mustahil. Walaupun memiliki penghasilan, mereka kerap mendapati tabungan yang cepat menipis atau bahkan tidak ada sama sekali.
Salah satu penyebab utama dari sulitnya menabung ini adalah fenomena yang dikenal dengan istilah *doom spending*. Ini adalah kebiasaan mengeluarkan uang secara impulsif sebagai respons terhadap stres, kecemasan, atau tekanan hidup yang kian meningkat.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di balik fenomena ini? Mengapa anak muda begitu rentan mengalaminya, dan bagaimana cara mengatasinya?
Apa Itu Doom Spending ?
Doom spending adalah istilah yang menggambarkan perilaku belanja berlebihan sebagai bentuk pelarian dari emosi negatif. Ketika seseorang merasa tertekan, lelah, atau frustrasi, mereka cenderung mengeluarkan uang untuk barang-barang atau pengalaman yang sebenarnya tidak dibutuhkan, seperti membeli gadget terbaru, pakaian yang sedang tren, atau makan di restoran mahal. Aktivitas ini memberi mereka perasaan puas sementara, namun pada akhirnya justru membuat tabungan semakin sulit untuk terkumpul.
Kemudahan berbelanja online dan adanya diskon besar-besaran di platform e-commerce juga menjadi pemicu utama fenomena ini. Dalam hitungan detik, anak muda bisa membeli berbagai produk tanpa harus berpikir panjang, hanya dengan satu klik. Kemudahan akses ini, sayangnya, membuat pengendalian diri terhadap keuangan menjadi semakin sulit.
Mengapa Anak Muda Rentan terhadap *Doom Spending?
1. Tekanan dari Media Sosial
Media sosial memiliki peran besar dalam membentuk kebiasaan konsumtif anak muda. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube dipenuhi konten yang memperlihatkan gaya hidup mewah atau barang-barang terbaru yang ‘wajib dimiliki’. Rasa ingin mengikuti tren ini sering kali memicu perilaku impulsif untuk membeli sesuatu agar tidak merasa ‘ketinggalan zaman’. Tekanan untuk tampil keren di mata teman-teman online membuat mereka rela mengorbankan tabungan demi gaya hidup yang sesuai dengan standar sosial tersebut.
2. Budaya Self-reward
“Aku pantas mendapatkan ini!” adalah kalimat yang sering terlintas di benak anak muda saat mereka memutuskan untuk membeli sesuatu sebagai bentuk penghargaan terhadap diri sendiri. Setelah bekerja keras sepanjang minggu, godaan untuk membelanjakan gaji pertama atau bonus terasa sangat besar. Meskipun sesekali memberikan hadiah untuk diri sendiri bukanlah hal yang salah, jika tidak terkendali, kebiasaan ini dapat merugikan kondisi keuangan dalam jangka panjang.
3. Kemudahan Buy Now, Pay Later (BNPL)
Fitur Buy Now, Pay Later yang semakin populer di berbagai platform belanja online memudahkan siapa saja, termasuk anak muda, untuk membeli barang sekarang dan membayarnya nanti. Ini memang memberikan kemudahan, tetapi juga memicu perasaan semu bahwa mereka punya kemampuan finansial yang lebih besar dari yang sebenarnya. Ketika tagihan mulai datang, banyak yang baru sadar bahwa mereka telah mengeluarkan lebih dari yang seharusnya.
4. Kurangnya Edukasi Keuangan
Tidak semua anak muda mendapatkan pendidikan yang cukup mengenai manajemen keuangan pribadi. Banyak yang tidak terbiasa membuat anggaran bulanan atau memahami pentingnya menabung dan berinvestasi. Akibatnya, mereka lebih sering mengikuti dorongan hati saat berbelanja daripada mempertimbangkan dampaknya pada kondisi finansial di masa depan.
Bagaimana Cara Mengatasi Doom Spending?
1. Menyusun Anggaran Bulanan
Langkah pertama untuk mengatasi *doom spending* adalah dengan menyusun anggaran keuangan bulanan. Tentukan berapa persen dari pendapatan yang ingin disisihkan untuk tabungan dan berapa persen yang bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari. Dengan anggaran yang jelas, anak muda bisa lebih sadar dan bertanggung jawab terhadap pengeluaran mereka.
2. Batasi Penggunaan Kartu Kredit dan Fitur BNPL
Jika sering terjebak dalam utang atau sulit menahan godaan berbelanja, ada baiknya mengurangi penggunaan kartu kredit atau fitur BNPL. Dengan menggunakan uang tunai atau debit, pengeluaran akan terasa lebih nyata dan menimbulkan efek psikologis yang membantu mengendalikan dorongan untuk belanja.
3. Tetapkan Tujuan Keuangan Jangka Panjang
Menentukan tujuan keuangan seperti menabung untuk liburan, pendidikan lanjutan, atau investasi rumah bisa menjadi motivasi untuk lebih disiplin dalam menabung. Saat memiliki target yang jelas, mereka akan lebih termotivasi untuk menahan diri dari pengeluaran yang tidak perlu.
4. Sadari Pola Emosi dan Pengeluaran
Refleksi diri adalah kunci untuk mengatasi doom spending. Cobalah untuk menyadari kapan dan mengapa kita lebih sering berbelanja impulsif. Apakah itu saat sedang stres, bosan, atau merasa kesepian? Dengan memahami pemicu emosional tersebut, anak muda bisa mencari cara lain yang lebih sehat untuk mengatasinya, seperti berolahraga, membaca, atau berbincang dengan teman.
5. Manfaatkan Aplikasi Pengelola Keuangan
Saat ini, banyak aplikasi pengelola keuangan yang dapat membantu memantau pengeluaran dan memberikan gambaran jelas mengenai arus keuangan pribadi. Aplikasi ini dapat menjadi teman setia dalam menjaga keseimbangan antara keinginan dan kebutuhan.
Mengubah Perilaku, Menabung untuk Masa Depan
Fenomena doom spending memang menjadi tantangan tersendiri bagi anak muda di era digital ini. Namun, dengan kesadaran dan strategi yang tepat, mereka dapat mengubah kebiasaan konsumtif menjadi kebiasaan yang lebih produktif. Menabung bukanlah hal yang tidak mungkin, bahkan bisa dimulai dari langkah-langkah kecil seperti mengurangi frekuensi belanja impulsif atau menyisihkan sebagian kecil dari penghasilan setiap bulannya.
Ingatlah, menabung bukan hanya tentang mengumpulkan uang, tetapi juga tentang belajar menghargai diri sendiri secara sehat tanpa harus selalu mengandalkan kepuasan instan dari belanja. Dengan pengelolaan keuangan yang baik, masa depan cerah dan stabil secara finansial akan menjadi lebih mudah untuk diraih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H