Mohon tunggu...
Yogi Pradana
Yogi Pradana Mohon Tunggu... -

besar di Mojokerto, penggemar sastra, wayang dan tinggalan masalalu, rajin melaksanakan nilai2 luhur termasuk cuci kaki sebelum berangkat ke warung kopi. lulusan arkeologi UGM

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Inilah Potensi Baru Situs Trowulan, Jejak Sejarah Majapahit

13 Oktober 2016   21:51 Diperbarui: 14 Oktober 2016   04:15 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang hari itu, Rabu 28 September 2016, pekerjaan membuat lubang untuk fondasi Posyandu dan Balai Dusun di Dusun Gapuro Desa Mojojajar masih berlangsung. 

Ditengah pekerjaan,  salah seorang pekerja pembuat lubang fondasi melihat hal yang tidak biasa setelah alat pengeruk tanahnya diayunkan tepat di bawah tanah tempat ia berpijak. Beberapa bata merah terlihat ikut menyeruak diantara tanah gembur persawahan dimana rencana posyandu dan Balai Dusun itu dibangun.

Setelahnya, para pekerja lain yang juga ditugasi membuat fondasi untuk posyandu dan Balai Dusun itu menemukan banyak bata merah lainnya di bagian lain dari area tanah yang di bagian timurnya berdiri 2 Pohon Soka besar itu. 

Terhitung ada 3 bagian di areal lahan yang rencananya akan dibangun Posyandu dan Balai Dusun Gapuro pada bagian bawah permukaan tanahnya menyimpan bongkahan bata merah. 

Kedalamannya dari permukaan tanah beragam, paling gampang untuk menemukannya hanya membutuhkan sekali cangkulan, kurang lebih dari permukaan tanah sekitar 25-30 cm. 

(Dok.Yogi Pradana)
(Dok.Yogi Pradana)

Pekerjaan untuk sementara dihentikan, balok-balok batu putih yang sedianya digunakan sebagai isian fondasi bangunan yang telah dipasang pada sisi yang lain dibiarkan apa adanya.

Masyarakat dusun Gapuro yang mengetahui fenomena ini banyak yang mengabadikan temuan bata merah di dusun mereka untuk memeriahkan halaman media sosial masing-masing. 

Akibatnya, kabar tentang adanya penemuan bata merah pada bekas areal persawahan di Dusun Gapuro Desa Mojojajar tersebar luas, sebaran kabar tersebut sampai terdengar oleh para pemangku kebijakan terkait. 

Setelah melakukan peninjauan ke lokasi, para pemangku (Dinas & BPCB) terkait menitipkan pesan kepada warga agar mengamankan dan membiarkannya dahulu areal sebaran bata merah itu. Pihak kepolisian pun tak ketinggalan untuk ikut mengamankan dengan police line kuningnya.

POTENSIAL

Berbagai pertanyaan dan dugaan muncul terkait temuan struktur bata merah di Dusun Gapuro Desa Mojojajar ini. Jika melihat bentuknya, bata merah dan susunannya mengingatkan pada tinggalan arkeologi di kawasan situs Trowulan yang diyakini sebagai pusat kerajaan Majapahit. 

Sebaran dari tinggalan kerajaan yang kurang lebih eksis selama 3 abad ini memang paling banyak ditemukan di wilayah kecamatan Trowulan. Tidak dipungkiri banyak yang menduga-duga bahwa temuan bata merah di Dusun Gapuro ini merupakan tinggalan dari kerajaan Majapahit atau bangunan yang dibangun dan digunakan semasa dengan keberadaan kerajaan Majapahit, meskipun lokasinya agak jauh dari Trowulan.

Situasi Areal Penemuan Struktur Bata Merah di Dusun Gapuro pada 4 Oktober 2016 Siang (Dok.Yogi Pradana)
Situasi Areal Penemuan Struktur Bata Merah di Dusun Gapuro pada 4 Oktober 2016 Siang (Dok.Yogi Pradana)
Arah dugaan seperti itu sah-sah saja dan mungkin sekali secara otomatis terarahkan, terlebih jika kita melihat bahan baku atau material penyusun struktur yang menunjukkan ciri bata besar dengan beberapa motif lengkung yang sama dengan bata situs Trowulan. Lokasi penemuannya-pun masih berada di wilayah Kabupaten Mojokerto yang kental dengan tradisi Majapahitan. 

Mengulik sedikit ke ranah ilmiah, dalam penelitian arkeologi segala kemungkinan tentang peristiwa dibalik sebuah tinggalan arkeologi yang dijadikan sebagai obyek penelitian sangatlah luas. Peneliti tidak dapat menduga apa yang akan ia temukan selama melakukan proses penelitian. 

Hal tersebut sangat lumrah terjadi karena karakter dari data arkeologi yang terbatas (limited), unik (khas) dan telah mengalami perubahan (transformasi) semenjak bukti hasil budaya materi (benda) itu ditinggalkan oleh pendukung budayanya.

Struktur Bata Merah di Bawah Calon Fondasi Posyandu & Balai Dusun Gapuro (Dok.Yogi Pradana)
Struktur Bata Merah di Bawah Calon Fondasi Posyandu & Balai Dusun Gapuro (Dok.Yogi Pradana)
Untuk kasus struktur bata merah yang ditemukan di wilayah Dusun Gapuro ini sebenarnya sangat potensial jika ditinjau secara lebih luas. Letak geografi daerah Gapuro, Mojojajar secara “spasio-temporal” memiliki keterkaitan dengan tinggalan arkeologi lain yang berada di sekitarnya. 

Keterkaitan antara sebuah tinggalan arkeologi pada sebuah wilayah luas, apabila juga didukung dengan kesamaan karakter tinggalan secara temporal (semasa), menunjukkan bahwa tinggalan ini merupakan hasil budaya yang timbul dan berkembang dalam waktu yang sama. 

Asumsi seperti itu setidaknya akan memberikan sumbangan pada kajian awal untuk melakukan tahap penelitian lanjutan, termasuk jika akan melakukan penelitian ekskavasi arkeologi. 

Hal ini sangat penting agar penelitian yang akan dilakukan tidak sempit, karena dikhawatirkan akan mengurangi dan menumpulkan analisis maupun sintesa dari temuan-temuan yang didapat selama melakukan penelitian.  

(Dok.Yogi Pradana)
(Dok.Yogi Pradana)
Berdasarkan paragraf sebelumnya, disamping mengarahkannya pada dugaan sementara bahwa temuan struktur bata merah di Dusun Gapuro merupakan tinggalan dari masa kerajaan Majapahit, kita perlu juga melihat secara mendalam. Yaitu dengan mencermati tinggalan sekitar yang nantinya mungkin dapat dihubungkan secara “spasio-temporal” dengan keberadaan tinggalan struktur bata merah Dusun Gapuro. 

Dusun Gapuro terletak di 3,5 Km sebelah utara sungai Brantas, yang masuk dalam wilayah kecamatan Kemlagi. Beberapa tinggalan arkeologi di wilayah utara sungai Brantas  telah dikenal memiliki pertanggalan dari masa pemerintahan Raja Airlangga. 

Bahkan prasasti awal setelah Airlangga naik takhta ditemukan di Mojokerto Utara, yaitu prasasti Silet yang berangka tahun 1017 M. Prasasti ini ditemukan di Simongagrok kecamatan Dawarblandong.

Beberapa penemuan arkeologi yang dapat dijadikan untuk memperkuat pernyataan di atas antara lain adalah prasasti Paṇḍān (1042 M), prasasti ini menyebutkan sebuah desa yang bernama Paṇḍān yang mendapatkan anugerah sīma dari Raja Airlangga. Prasasti ini ditemukan di Desa Pandankrajan, Kemlagi yang lokasinya tidak jauh dari Dusun Gapuro, Desa Mojojajar, kurang lebih hanya 1,5 Km. 

Prasasti Turunhyang yang juga dibuat pada masa pemerintahan Raja Airlangga menyebutkan bahwa desa Turun Hyang dianugerahi bebas pajak (ditetapkan sebagai sīma) oleh Raja, Prasasti ini ditemukan di Desa Truneng, Kemlagi. 

Sekarang kedua prasasti ini disimpan di Museum Majapahit, Trowulan. Kemudian, jika melihat temuan lain yang berada di wilayah utara sungai Brantas banyak ditemukan beberapa tinggalan di kecamatan Kudu, Jombang yang semasa dengan pemerintahan  Raja Airlangga. 

Beberapa temuan tersebut  berupa prasasti yang kemungkinan besar masih berada di lokasinya (in situ), yakni di Desa Katemas, Kudu, Jombang. Prasasti-prasasti itu telah banyak diteliti oleh para ahli, ada 3 buah yaitu prasasti Katemas dan prasasti Kusambyan yang angka tahunnya tidak terbaca dan prasasti Munggut yang berangka tahun1022 M.

Tidak jauh dari Dusun Gapuro Desa Mojojajar, terdapat tinggalan lain yang secara temporal layak untuk dikaitkan dengan temuan baru ini. Yaitu candi Sumur Gantung di Desa Berat Wetan yang masih masuk dalam wilayah kecamatan Kemlagi, lokasinya kurang lebih 1,5 Km sebelah tenggara Dusun Gapuro. Candi ini juga tersusun dari bata merah yang sekarang telah runtuh sehingga terlihat seperti tumpukan bata dalam jumlah banyak namun sumuran candinya masih terlihat. 

Di sekitar Candi ini juga ditemukan beberapa tinggalan yaitu struktur berukuran 1 m yang memanjang arah timur-barat, beberapa umpak batu bekas landasan tiang bangunan yang tersebar di pemakaman umum desa, fragmen arca Pramodhawardhanni (Buddha) dan beberapa fragmen keramik cina. Temuan keramik cina itu  menurut Watty Yusmaini (Arkeolog Arkenas) saat melakukan survei pada tahun 2014 menujukkan ciri keramik dinasti Sung Utara (10 M), Sung Selatan (11-13 M) Yuan (14 M) Vietnam-Thailand (14-15 M). 

Pertanggalan dalam prasasti dan pertanggalan relatif dari beberapa data arkeologi pada wilayah spasial wilayah utara sungai Brantas paling awal adalah sekitar abad 10 M. Kemudian sepertinya wilayah ini tetap dihuni sampai masa selanjutnya. Kesinambungan inilah yang menjadi hal yang menarik. Tentunya hal ini masih harus dibuktikan.

Jadi, berdasarkan pertimbangan spasial pada wilayah utara sungai brantas, masa awal memang seharusnya ditempatkan pada pertanggalan sekitar abad 11 M, pada masa Raja Airlangga. 

Raja Airlangga menurut beberapa bukti prasasti terkenal telah melakukan beberapa usaha dalam memperluas wilayah dan melakukan pengaturan terhadap wilayahnya. Raja ini banyak melakukan pengaturan wilayah yang berhubungan dengan daerah sungai. 

Mulai dari membangun sebuah bendungan di Waringin Pitu yang selesai pada 1037 M (Prasasti Kamalagyan), sampai mengupayakan desa-desa sepanjang aliran sungai menjadi desa-desa penyeberangan yang dimaksudkan untuk meperlancar jalur perdagangan. 

Tidak diragukan lagi bahwa sungai Brantas sebagai jalur perdagangan dan pelayaran-penyeberangan antar desa pada masa abad 11-15 M menempati posisi penting dalam bidang ekonomi, politik, dan legitimasi pada masa itu.

Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang ada, dapat dikatakan bahwa riwayat penghunian wilayah utara sungai Brantas memiliki rentang yang cukup panjang. Agaknya peluang keterkaitan penemuan di Dusun Gapuro ini dengan masa sebelum abad 13 M atau sebelum Majapahit berdiri sangat terbuka. 

Ditambah lagi, konteks letak Dusun Gapuro Desa Mojojajar Kecamatan Kemlagi yang berada dekat dengan sungai Brantas, mengingatkan pada isi prasasti Canggu yang menyebutkan keberadaan puluhan desa-desa penyeberangan sepanjang sungai Brantas pada masa Majapahit.

Diharapkan nanti dengan terkuaknya jati diri temuan struktur bata merah di Dusun Gapuro dapat menambah data  yang menyimpan fakta baru berkaitan dengan riwayat penghunian wilayah utara sungai Brantas pada masa kerajaan Jawa Kuno.

 Sepertinya layak, jika status temuan di Gapuro bisa dikatakan berpotensi mampu mewadahi penelitian-penelitian jangka panjang yang kontinyu. Akhirnya, beberapa dugaan yang muncul lantaran temuan di Dusun Gapuro ini semoga secepatnya akan tercerahkan dengan dilakukannya ekskavasi awal yang akan dilakukan oleh BPCB Jatim bulan November mendatang.

(Dok.Yogi Pradana)
(Dok.Yogi Pradana)
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun