Benny menambahkan saat ini terdapat 536 pos tarif produk pertekstilan dalam skema NT 1 yang sangat sensitif (lemah daya saingnya) jika bea masuknya dihapus menjadi 0%, seperti kain tenun dan serat nilon.
Bandung– Sekitar 40.000 buruh pabrik di Jawa Barat terancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai dampak pemberlakuan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang akan menghempaskan daya saing produk dalam negeri.
“Indonesia belum siap masuk ACFTA, industri tekstil, alas kaki dan elektronik yang ada di Jawa Barat terancam gulung tikar. Sedikitnya 30 ribu hingga 40 ribu buruh terancam PHK,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat, Deddy Widjaya di Bandung, Rabu.
Ia menyebutkan, serbuan produk Cina yang berharga murah ke Indonesia jelas akan “menyerang” produk industri dalam negeri dan berpotensi menurunnya daya saing produk lokal.
Akibatnya, banyak industri yang akan merugi dan akhirnya gulung tikar. Imbasnya, karyawan yang selama ini mendukung produksi di pabrik itu akan terkena pemutusan hubungan kerja.
“Pada triwulan pertama mungkin tak akan begitu terasa karena baru diberlakukan 1 Januari 2010, namun dampak signifikan akan terasa pada semester pertama 2009. Itu pasti,” kata Deddy Widjaya.
Serbuan produk Cina yang memanfaatkan kemudahan ekspor ke kawasan ASEAN, terutama Indonesia yang menjadi target pasar utama mereka, kata Deddy tinggal menghitung hari.
Menurut Deddy, industri Cina didukung iklum usaha yang lebih kondusif dari pemerintah dalam bentuk bantuan stimulan yang mendorong iklim produksi di sana.
Selain itu industri Cina bisa mendapatkan mesin produksi dari dalam negeri, sedangkan Indonesia harus mengimpor dari luar negeri dengan harga yang lebih mahal.
“Yang akan sangat terasa imbasnya produk tekstil dan produk tekstil. Salah satu cara menyelamatkan TPT saat ini pemerintah harus menunda pemberlakukan ACFTA,” kata Deddy Widjaya.
Sementara itu, mayoritas industri tekstil di Indonesia berada di Jawa Barat. Demikian pula volume ekspor TPT nasional sebagian besar berasal dari Jawa Barat.
“Melihat kondisi saat ini dihadapkan dengan AFTA, sekitar 20-30 persen dari 8000 anggota Apindo Jabar terancam gulung tikar, dan itu berimbag pada PHK massal,” kata Deddy.
Ia menyebutkan, ekspor Cina saat ini sudah menguasai sekitar 24 persen pasaran di ASEAN. “Bila ACFTA tetap digulirkan, akan dilematis bagi industri nasional. Menembus ekspor akan sulit karena rendahnya daya saing,” kata Deddy.
Selain itu, produksi biaya tinggi masih akan menjadi kendala pagi produk dalam negeri sehingga mengendurkan daya saing produk.
“Bila tidak diikuti adanya perbaikan dalam menekan produksi biaya tinggi, jelas kondisi saat ini cukup berat. Indonesia perlu waktu untuk memberlakukan ACFTA. Minimal dua tahun lagi,” katanya.
Sementara itu Gubernur Jawa Barat H Ahmad Heryawan menyatakan akan mendorong agar aspirasi para pengusaha dan buruh untuk menunda pemberlakukan ACFTA direspon oleh pemerintah.
“Kondisinya jelas kurang menguntungkan bagi industri, khususnya yang ada di Jabar. Kita belum siap masuk pasar bebas, di lain pihak hal itu sudah menjadi sebuah keniscayaan di masa mendatang,” kata Heryawan.
Ia menyebutkan, upaya penundaan pemberlakuan ACFTA perlu dilakukan oleh pemerintah untuk menyelamatkan beberapa sektor industri yang dipastikan terpukul oleh perjanjian perdagangan bebas ASEAN dengan Cina itu.
Sementara itu DPRD Jawa Barat akan berkirim surat kepada pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Perdagangan untuk mengupayaan penundaan pelaksanaan ACFTA.
“Kami tidak ingin Jabar dilanda PHK massal akibat banyaknya industri yang gulung tikar,” kata Ketua Komisi E DPRD Jabar, Syarif Bastaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H