Mohon tunggu...
Yogie Pranowo
Yogie Pranowo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Jakarta

Lahir di Jakarta pada tanggal 8 Juli 1989. Kemudian lulus dari magister Filsafat di Stf Driyarkara tahun 2017. Buku yang sudah terbit antara lain: Perempuan, Moralitas, dan Seni (Ellunar Publisher, 2018), dan Peran Imajinasi dalam Karya Seni (Rua Aksara, 2018). Saat ini aktif menjadi sutradara teater, dan mengajar di beberapa kampus swasta, serta menjadi peneliti di Yayasan Pendidikan Santo Yakobus, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tuhan yang Emosional

27 Maret 2020   19:04 Diperbarui: 27 Maret 2020   19:19 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
flickr.com/photos/myohmytuesday

Menjadi manusia yang sempurna tidaklah mungkin. Katanya, kesempurnaan hanya milik Tuhan. Maka, tak jarang, jika ada orang yang tidak pernah merasa salah tetapi selalu menyalahkan orang lain, dialah Tuhan. Anselmus, tokoh dari abad awal masa kekristenan pernah berkata, bahwa Tuhan adalah segala sesuatu yang lebih besar daripadanya, tak dapat dipikirkan lagi. 

Dengan asumsi dasar tersebut, maka dapat pula secara simplistik kita menarik kesimpulan bahwa hanya Tuhan lah yang paling benar, dan hanya Tuhanlah yang mampu memberikan label benar atau salah. 

Tuhan yang saya maksud adalah Tuhan yang sebenarnya, Tuhan yang imanen sekaligus transenden ada dan kita imani. Namun di sekitar kita, kita dapat melihat fenomena yang lain: banyak manusia ingin menjadi Tuhan. Menjadi Tuhan atas manusia lain.

Tuhan masa kini

Sadar ataupun tidak, banyak di antara kita yang berniat menjadi Tuhan. Tuhan masa kini. Sejalan dengan prinsip dasar atheism yang mengatakan bahwa manusia adalah Tuhan bagi sesamanya. 

Prinsip tersebut, pada dasarnya ingin mengatakan kepada kita bahwa hanya manusialah, makluk yang mampu memberi makna pada apapun yang ada di hadapannya, termasuk pada figure manusia lain yang ada di hadapannya: suami, orang tua, kerabat, ataupun musuh sekalipun. 

Kita semua memiliki kecenderungan ke arah itu. Kita mengidentifikasi orang lain berdasarkan subjektifitas ilutif. Ketika sesuatu berjalan tidak sesuai dengan kehendak kita, kita menjadi buta arah. Emosi mengontrol segalanya dalam diri kita. Cap yang dilabelkan pada orang lain seakan-akan adalah sesuatu yang mutlak, namun sebenarnya hanyalah implikasi dari emosi yang membabi buta. 

Dengan emosi yang demikian meluap-luap, kita menuhankan diri kita sendiri. Manakala oranglain tidak sepakat dengan kita, segala cara kita halalkan, bahkan cara yang tidak logis sekalipun. 

Tuhan masa kini yang saya maksud di sini tak lain adalah, para manusia bermental dekaden yang seringkali hadir di waktu yang tidak tepat dengan konteks yang, katakanlah "remeh". Hanya karena hal kecil, sifat Tuhan masa kini muncul. Tak ada rasionalitas dalam diri Tuhan masa kini, yang ada hanyalah nafsu duniawi ingin membuktikan bahwa dirinya lebih hebat dari yang lain.

Emosi menjadi titik tolak

Tuhan masa kini, telah menjamur di seluruh pelosok negri. Sangat mudah untuk menjadi Tuhan masa kini, yakni dengan menyerahkan seluruh hidupmu ke dalam genggaman emosi. 

Secara etimologis, emosi berasal dari bahasa Latin, yang kurang lebih artinya adalah adanya suatu gerakan yang bergerak secara lebih atau dapat dikatakan berlebihan. 

Freud seorang ahli psikoanalisis pernah mencontohkan, ketika seorang perempuan mengalami fobia pada saat ia melihat rerimbunan pohon. Perempuan itu bukan takut pada rerimbunan pohon tetapi karena rerimbunan pohon tersebut mengingatkan memorinya pada suatu insiden seksual yang pernah dialaminya. 

Dalam kasus itu, perempuan tersebut hanya melakukan penolakan atas rerimbunan pohon tersebut. Kondisi emosional seperti ini tidak mengetahui apa-apa mengenai ciri atau simbol tindakannya. Di dalam diri perempuan tersebut tidaklah terdapat sesuatu selain rangsangan emosi. Oleh karena itu, bagi psikoanalisa, kemarahan seorang perempuan merupakan simbol bermakna sesuatu yang bersembunyi di baliknya.

Premis tersebut terkesan membela emosi sebagai sesuatu yang bisa dilumrahkan begitu saja. Namun jika kita melihat dari kacamata lain, kita akan melihat bahwa terlalu naf mempostulatkan ada kebermaknaan lain dari emosi yang membabi buta. Emosi tetaplah emosi dan harus dikontrol. Jika kita jatuh ke dalam emosi, dan emosi tersebut membelenggu diri kita, niscaya ada hal yang tak beres dalam diri kita dan harus dibenahi perlahan.

Simpul

Kehendak untuk menjadi Tuhan dengan jalan menyerahkan sepenuhnya hidup kita ke dalam emosi yang membabi buta adalah suatu jalan yang kelam. Di satu sisi, kita akan menjadi besar kepala lantaran orang lain harus tunduk pada kita. Kekuatan (power) yang kita miliki saat ini, mungkin cukup besar sehingga orang takluk kepada kita. Namun jika suatu saat kekuatan kita melemah, dan posisi orang itu lebih tinggi dari kita, maka yang akan terjadi adalah: pembalasan.

Mau sampai kapan kamu dibelenggu emosi ilutif itu, sayang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun