Secara etimologis, emosi berasal dari bahasa Latin, yang kurang lebih artinya adalah adanya suatu gerakan yang bergerak secara lebih atau dapat dikatakan berlebihan.Â
Freud seorang ahli psikoanalisis pernah mencontohkan, ketika seorang perempuan mengalami fobia pada saat ia melihat rerimbunan pohon. Perempuan itu bukan takut pada rerimbunan pohon tetapi karena rerimbunan pohon tersebut mengingatkan memorinya pada suatu insiden seksual yang pernah dialaminya.Â
Dalam kasus itu, perempuan tersebut hanya melakukan penolakan atas rerimbunan pohon tersebut. Kondisi emosional seperti ini tidak mengetahui apa-apa mengenai ciri atau simbol tindakannya. Di dalam diri perempuan tersebut tidaklah terdapat sesuatu selain rangsangan emosi. Oleh karena itu, bagi psikoanalisa, kemarahan seorang perempuan merupakan simbol bermakna sesuatu yang bersembunyi di baliknya.
Premis tersebut terkesan membela emosi sebagai sesuatu yang bisa dilumrahkan begitu saja. Namun jika kita melihat dari kacamata lain, kita akan melihat bahwa terlalu naf mempostulatkan ada kebermaknaan lain dari emosi yang membabi buta. Emosi tetaplah emosi dan harus dikontrol. Jika kita jatuh ke dalam emosi, dan emosi tersebut membelenggu diri kita, niscaya ada hal yang tak beres dalam diri kita dan harus dibenahi perlahan.
Simpul
Kehendak untuk menjadi Tuhan dengan jalan menyerahkan sepenuhnya hidup kita ke dalam emosi yang membabi buta adalah suatu jalan yang kelam. Di satu sisi, kita akan menjadi besar kepala lantaran orang lain harus tunduk pada kita. Kekuatan (power) yang kita miliki saat ini, mungkin cukup besar sehingga orang takluk kepada kita. Namun jika suatu saat kekuatan kita melemah, dan posisi orang itu lebih tinggi dari kita, maka yang akan terjadi adalah: pembalasan.
Mau sampai kapan kamu dibelenggu emosi ilutif itu, sayang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H