Keberanian orang Indonesia untuk terjun berwirausaha (menjadi pengusaha) bisa dibilang masih sangat kecil. Kebanyakan orang Indonesia masih merasa bangga dan nyaman mengejar status sebagai karyawan swasta, terlebih pegawai negeri.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) AAGN Puspayoga, pernah mengungkapkan bahwa hingga kini pertumbuhan wirausaha Indonesia masih sangat kecil. Jumlahnya hanya 1,6 persen dari populasi penduduk Indonesia saat ini. Sedangkan, jumlah pengusaha di negara-negara ASEAN lain seperti Singapura tercatat sebanyak 7 persen dari jumlah penduduk, Malaysia 5 persen, Thailand 4,5 persen, dan Vietnam 3,3 persen. Berdasarkan data Kemenkop, Indonesia masih membutuhkan sekitar 1,7 juta pengusaha untuk mencapai angka dua persen dari jumlah populasi. (Sumber)
Uniknya, meskipun data menunjukkan seperti itu, sejauh pengamatan saya pribadi sebetulnya banyak orang Indonesia yang punya cita-cita menjadi seorang pengusaha lho. Anda tidak percaya? Coba saja buat survey kecil-kecilan kepada orang-orang di sekitar kita. Termasuk, orang-orang yang sudah menyandang status sebagai karyawan swasta atau pegawai negeri. Pasti kita akan banyak menemukan bahwa tidak sedikit orang yang ingin punya usaha sendiri, baik itu masih bersifat sampingan atau terjun total. Bahkan, tidak sedikit orang yang terang-terangan mengaku “Ah lama-lama bosen nih kerja ikut orang. pengen kerja sendiri aja. Punya usaha dagang-dagang apa gitu” (meskipun saat melontarkan kalimat tersebut, jika kita tanya lebih jauh pada mereka, belum terbesit ide atau masih bingung mau usaha apa. Dan, belum berani juga mengambil keputusan untuk resign. Akhirnya yang sering kejadian adalah mengeluh, mencela pekerjaannya sendiri sambil terus dilakoni karena mungkin terpaksa hehe..)
Pengusaha adalah sebuah status yang bergengsi. Reaksi dalam pikiran kita tatkala mengetahui pekerjaan seseorang sebagai pengusaha adalah “WOW MANTAP” dan sejenisnya. Karena, bayangan kebanyakan kita tentang seorang pengusaha adalah : seorang yang santai tapi kaya, punya pabrik atau kantor sendiri, punya karyawan/anak buah banyak, tabungan uang dan saham banyak, punya mobil mentereng, sering mondar-mandir ke luar negeri dan sebagainya. Hmmmm, bayangan tersebut tidak salah siih. Akan tetapi, menurut saya lebih tepatnya itu adalah bayangan dari seorang “pengusaha sukses”. Karena, dalam faktanya, tidak sedikit juga pengusaha yang tidak seperti di bayangan tadi, salah satunya adalah “Pengusaha Bangkrut” hehehehe.
Sepemahaman saya juga, pengusaha itu tidak harus selalu dilekatkan dengan orang-orang yang memiliki usaha/bisnis yang besar beromset miliaran. Tapi, juga merujuk pada orang-orang yang yang menjalankan usaha/bisnis kecil (lebih tepatnya belum besar). Misalnya, si Mbok yang jualan pecel atau abang tukang bakso, produsen kue rumahan, pembuka toko kelontong atau apa pun itu, selama dia menjalankan bisnis/usaha miliknya sendiri maka bisa di sebut pengusaha.
Wajar sebetulnya banyak orang yang ingin jadi pengusaha, punya bisnis/usaha sendiri. Walaupun, sebetulnya dia sendiri sudah bekerja sebagai karyawan swasta atau bahkan pegawai negeri yang terkenal “aman”. Karena, dengan usaha orang bisa menghasilkan uang sendiri atau mendapatkan tambahan uang (jika masih sampingan). Tidak tergantung pada orang lain. Bahkan jika usahanya sudah maju, dia tak perlu lagi mencari kerja pada orang lain, bebas mengatur dirinya sendiri tanpa terikat aturan orang lain, bebas juga menentukan besaran pendapatannya sendiri yang bersumber dari untung usahanya tanpa dibatasi gaji.
Bagaimana dengan saya sendiri?
Saya pun sama dengan kebanyakan orang lain. Meski bekerja sebagai karyawan swasta, tapi suatu hari nanti saya pun punya keinginan untuk memiliki usaha sendiri yang maju. Dan alhamdulillah, saat ini saya sudah mulai menjalankan usaha meskipun itu masih sebagai sampingan dan kecil-kecilan saja. Awalnya, saya pun bingung mau bisnis apa ya? Sampai kemudian, hampir 2 tahun yang lalu, saya bertemu dengan seorang teman lama, sebut saja namanya Dudu. Ia sudah lebih dulu memulai usaha dan kini total terjun menjadi seorang pengusaha.
Kepada saya ia memberikan nasihat “Kalo mau mulai usaha, lebih gampang mulai dulu dari yang ada kaitannya dengan hobi atau passion kita. Usaha yang realistis saja dulu lah. Meskipun kecil tapi yang penting bisa kita jalankan dulu. Dari situ, nanti akan berkembang ide bisnis lainnya”. Dari nasihat dia itulah akhirnya saya menemukan ide bisnis yang sampai kini masih berjalan dan diberi nama “Pecandu Camilan Nusantara”.
Saya punya hobi travelling. Sejauh ini, saya bersyukur karena Yang Maha Kuasa, telah memberikan saya kesempatan untuk mengunjungi beberapa tempat di Indonesia. Meskipun belum sebanyak orang lain, tapi cukup lah untuk membuat saya senang. Ada travelling yang saya lakukan dalam rangka liburan saja, tapi kebanyakan sih untuk suatu tugas atau project tertentu. Dulu, setiap ada kesempatan travelling, saya sering kalap. Saya sering menghabiskan waktu dan uang untuk tujuan konsumtif saja. Beli ini lah, beli itu lah dengan dalih untuk koleksi atau kenang-kenangan bahwa saya pernah ke tempat tersebut. Akhirnya, setiap ada tugas dinas seringkali uang saku untuk tugas dinas tersebut langsung habis hehe.
Tapi, sejak diberi nasihat oleh Dudu, saya sedikit berubah dan punya cara pandang yang berbeda dalam mensikapi hobi atau passion saya tersebut. Ada sebuah keinginan untuk menjadikan kegiatan travelling, sebagai sebuah kegiatan yang juga produktif atau “menghasilkan”. Tidak melulu kegiatan yang khusus untuk hiburan atau hura-hura semata. Ada keinginan untuk membuat sebuah bisnis yang ada kaitannya dengan hobi atau passion saya sendiri seperti nasihat si Dudu. Sejak itu, saya sudah mulai mengurangi sifat konsumtif untuk membeli keinginan koleksi saya, meskipun sifat narsis foto-fotonya masih tinggi selama kegiatan travelling hehe. Saya pergunakan waktu yang ada untuk juga mengamati dan survey apa yang bisa dijadikan sebuah bisnis. Uang juga lebih banyak saya sisihkan untuk sewaktu-waktu saya pergunakan sebagai modal.
Akhirnya, muncullah keinginan untuk menjual sesuatu yang menarik dari setiap daerah yang pernah atau akan saya kunjungi. Saya membeli barang di daerah dan menjualnya di Jakarta. Tapi apa yang mau dijual? Khan setiap daerah itu banyak sekali. Pernak pernik kah, baju kah atau apa?
Kembali saya meminta saran pada si Dudu. Kata dia, kalau sumber barang dagangan kita berasal dari lokasi yang berbeda, sementara kita juga baru mulai dan masih kecil-kecilan, maka pilihlah barang-barang yang tahan lama. Selain itu, barang juga harus ringan supaya delivery cost (ongkos kirim) nya tidak terlalu tinggi. Dan yang penting, harga jualnya nanti di Jakarta juga tidak terlalu tinggi. Sehingga orang mau beli. Setelah berpikir agak lama akhirnya tercetuslah ide saya untuk menjual aneka camilan dari berbagai daerah di Nusantara di Jakarta.
Kenapa harus Camilan? Ini berdasarkan sebuah latar belakang yang saya amati bahwa “ngemil” adalah kebiasaan yang tidak terpisahkan dari kehidupan keseharian warga di Ibu Kota. Kita bisa lihat sendiri di kantor, di halte busway, di jalan, di kendaraan, di ruang rapat, di bioskop, di taman kota dan di mana-mana dengan mudah kita bisa menemukan orang yang menyelingi waktunya dengan “ngemil”. Namun sayang, sudah seringkali muncul berita baik itu di televisi, media sosial, atau media cetak, bahwa banyak sekali camilan-camilan yang beredar di Ibu kota itu tidak sehat. Entah itu karena cara pembuatannya yang tidak standar dan steril, atau karena ditemukan mengandung bahan-bahan berbahaya seperti formalin, borax, plastik, dan sebagainya.
Inilah yang mendorong saya untuk berbisnis aneka camilan nusantara. Saya berkeinginan untuk menumbuhkan kembali kecintaan banyak orang (terutama di Ibu Kota) untuk mencintai kembali aneka camilan asli dalam Negeri Indonesia. Selain itu, saya juga berkeinginan untuk menyajikan aneka camilan yang sehat. Saya mulai mencari informasi tentang UKM produsen camilan di bebeberapa daerah yang pernah saya kunjungi. Dan saya memilih camilan dari UKM lokal yang telah memenuhi syarat-syarat seperti Label Halal MUI, BPOM atau no PIRT Departemen Kesehatan.
Awalnya ide saya ini mendapatkan pertanyaan dari teman kantor saya. “Bro khan di Jakarta sudah ada toko-toko besar yang khusus menjual aneka camilan nusantara?” ya, memang betul saya pun sebelum mulai menjalankan bisnis ini sempat survey dulu ke toko-toko besar yang disebut teman kantor saya tadi. Saya pikir tidak ada salahnya toh kita sama-sama ingin mengangkat kembali aneka camilan nusantara kepada masyarakat.
Tapi, karena ini juga bisnis maka saya pun harus berani tampil berbeda agar bisa bersaing meskipun belum besar. Saya mencoba menjual aneka camilan yang belum ada dijual di toko tersebut. Atau, kalaupun ada bagaimana bisa caranya saya menjual dengan hargal lebih murah. Saya pun menggunakan kata “Pecandu” agar terkesan lebih mencolok. Selama ini istilah “pecandu” terasosiasi negatif untuk orang pemakai narkoba. Nah saya ingin mengajak orang kecanduan, tapi bukan kecanduan Narkoba atau zat lainnya yang berbahaya. Melainkan kecanduan cemilan sehat dan unik hasil bangsa sendiri.
1. Sirup buah Carica, buah langka dari Dieng
2. Kripik Pisang lumur Suramadu (Surabaya Madura)
3. Abon Tuna Makasar
4. Rengginang Lorjuk Madura (Rengginang tapi ada taburan Kerang Laut gorengnya)
5. Talas Balado Minangkabau
6. Kacang Bali
7. Kripik Ceker Ayam Jawa Timur
8. Belalang Goreng Jogja
9. Manisan Terong Bengkulu
10. Kripik Kulit Cempedak (Mandai) Kalimantan Selatan
11.Kripik Buah aneka rasa Garut Jawa Barat
12. Kripik Rujak Pala Natsepa Halmahera Maluku, dll....
Juga tidak perlu macet-macetan untuk menuju ke toko penjual camilan nusantara lainnya. Tidak perlu keluar bensin, parkir dsb. Lebih praktis dan efisien. Awalnya saya lakukan dengan sistem konsinyasi (titip baru di bayar) kepada teman-teman saya. Saya memberanikan diri mengeluarkan modal sedangkan teman-teman saya di kantor lain hanya menjualnya saja. Ini juga untuk merangsang teman-teman saya di kantor lain untuk berani memulai usaha. Hasil awal juga cukup memuaskan. Di beberapa kantor sudah berhasil saya menjual aneka camilan nusantara yang saya kumpulkan sendiri dari berbagai daerah.
Saya juga mengalami prediksi yang meleset bahwa tidak semua camilan nusantara yang saya datangkan dari daerah cocok rasanya dengan lidah orang di Jakarta. Sulit sekali terjual, diobral pun orang enggan beli. Padahal, saya sudah pesan cukup banyak. Akhirnya saya makan sendiri hihihih. Atau, saya bagikan ke anak-anak kecil dekat tempat tinggal saya. Berharap ini bisa menjadi sedekah yang diganti dengan rejeki yang lebih besar. Ini membuat saya pun harus putar otak untuk memilih camilan lain dari daerah tersebut.
Meskipun tidak selamanya mulus, tapi saya puas karena saya telah berhasil menjalankan bisnis saya sendiri. Saya menganggap hal-hal tak menyenangkan selama bisnis seperti rugi adalah pengalaman berharga atau materi kuliah praktek ilmu bisnis. Tak terasa sudah setahun lebih, bisnis camilan nusantara ini saya jalankan. Sempat vacuum selama 2 bulan karena rugi tapi saya jalankan kembali meski pelan-pelan. Kali ini juga dengan perhitungan resiko yang lebih cermat.
Untuk konsinyasi, juga saya berlakukan hanya di pengambilan pertama saja dan khusus diberikan pada teman-teman terdekat saya saja serta itu pun saya batasi jumlahnya senilai besaran tertentu. Untuk pengambilan kedua dan seterusnya saya berlakukan cash. Karena saya anggap mereka yang konsinyasi pada kesempatan pertama sudah mempelajari soal gambaran pasarnya. Untuk promosi, saya juga membuat page di Facebook. Belum sempat membuat web sendiri karena waktunya belum ada untuk fokus.
Benar juga kata si Didu, mulai dari bisnis yang realistis dulu, dari situ kita akan terus tertantang dan bisa memunculkan ide – ide bisnis baru yang lebih besar. Selain “Pecandu Camilan Nusantara”, saya juga mulai menjalankan bisnis lainnya yang sesuai dengan passion saya seperti yang pernah tersirat diuraikan di artikel lainnya. Keduanya sudah berhasil saya jalankan meskipun sebagai sampingan saja dan pelan-pelan. Di bisnis kedua apakah saya pernah mengalami rugi juga? Jawabnya pernah hehe...
Meskipun begitu, jika waktunya sudah tiba, saya yakin usaha-usaha yang saya rintis ini akan berkembang dan maju satu hari nanti. Juga fokus bukan sebagai sampingan lagi. Akan tetapi, tentu saya juga saya sadar untuk ke arah sana saya harus siap dengan resiko dan tantangan yang juga makin “maju” dan “berkembang”...
Nah, karena pada setiap bisnis resiko pasti ada. Bahkan ada yang bilang itu pasti tak bisa dihindari. Yang bisa dilakukan diminimalisasi. Resiko bisnis bisa berupa kerugian dari hasil penjualan atau resiko lain yang terkait dengan aktivitas bisnis. Misalnya, kecelakaan atau sakit. Ya, selama menjalankan usaha, mobilitas saya harus tinggi seperti naik kendaraan dengan membawa barang, mengantar dari kantor satu ke kantor lainnya di sela-sela pekerjaan.
Atau, saat saya travelling ke luar Jakarta, harus survey UKM dan lain-lain memungkinkan saya terkena resiko tadi. Kita sebagai manusia memang tak bisa memprediksi kapan hal-hal tak menyenangkan seperti kecelakaan atau sakit itu bisa terjadi. Oleh karena itu, saya juga mulai mencoba memikirkan asuransi untuk proteksi diri. Supaya tidak cemas dengan hal tak terduga karena sudah ada perlindungan asuransi.
Dari sekian banyak asuransi, salah satunya saya mempelajari asuransi dari FWD Life. Saya melihat paket yang ditawarkan cukup komplit seperti perlindungan kecelakaan, klaim penyakit dan rawat inap. Selain itu di FWD Life saya juga melihat beberapa paket investasi seperti pensiun, dan pendidikkan. Ini bisa jadi pertimbangan saya untuk ke depannya bagaimana memanfaatkan hasil yang saya peroleh dari bisnis yang saya lakukan.
Tak perlu takut rugi atau gagal. Karena orang-orang yang kini telah menjadi pengusaha hebat pun, dulunya pasti mengalami kejadian-kejadian pahit seperti rugi, bangkrut atau gagal. Perusahaan tempat kita bekerja sekarang juga adalah milik seorang pengusaha. Pasti dulu pun sang owner dari perusahaan kita bekerja, pernah mengalami banyak kejadian pahit. Dan memulainya dari yang kecil lalu lambat laun menjadi besar seperti sekarang dan merekrutlah banyak karyawan salah satunya kita. Kita pun berpeluang untuk bisa menjadi seperti itu bukan?
Untuk resiko lainnya, yang berpotensi timbul karena aktivitas dan mobilitas suatu bisnis seperti sakit atau kecelakaan juga jangan khawatir khan ada FWD Life yang mebuat kita tenang menjalani passion kita Salam....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H