Tak kenal maka tak sayang.
Sebelumnya, sama sekali tak kenal.
Lalu diperkenalkan istilah itu, sebagai wanti-wanti dari dokter mata.
Saat itu, sepertiga tahun 2013, mataku satu tiba-tiba gelap.
Dokter pun penasaran. Tak cuma satu dokter.
Hasil city-scan juga tidak menunjukkan ada yang salah dengan mataku.
Dan cek demi cek, dokter hanya berpesan kalau ada gejala lain menyusul, cepat ke dokter.
Dan bisa kubaca di surat keterangannya, selain optic neuristic, tertulis juga multiple sclerosis jika keluhan terus berlanjut.
Satu dua pekan, mataku kembali normal.
Tidak ada keluhan lain.
Aku menikah, aku melahirkan, aku susun rencana-rencana sederhana yang indah, dan yah kembali ke tanah air seusai tugas di sini.
Hingga menjelang akhir tahun 2015, ada perasaan mengganjal.
Letih yang tidak biasa.
Lalu, lutut yang berbelok tiba-tiba.
Kupikir ini karena sejak abege, kejadian seperti itu pernah dan beberapa kali terjadi.
Sedih, waktu itu bermain cilukba dengan anakku, aku di atas kasur dan dia merangkak sembunyi di dekat pintu, dan tiba-tiba, aaarrrhgghhh ...
Ambulan dipanggil. Lutut kembali ke tempatnya setelah suamiku perlahan memindahkan. Diiringi bacaan doa, eranganku sekaligus usapanku ke anakku.
Tapi rasa letih semakin mendera.
Tangan terasa kebas kesemutan tidak ada hilangnya.
Dan dokter-dokter umum pun bingung mau bilang apa kecuali rujukan ke spesialis.
Hingga akhirnya tiba waktunya bertemu dengan ahli syaraf.
Cek demi cek, dan MRI.
Aku ingat dulu saat city-scan, aku masih sendiri.
Doa dan tetes air mata di batin mengenang mendiang Ibuku.
Saat MRI, bak berada di keranda.
Aku masih terkenang Ibuku, dan pasti anakku, yang menunggu bermain di luar.
Dua pekan kemudian, baru aku tahu hasilnya.
Ya, positif diagnosa, multiple sclerosis.
Ada yang rusak di bagian otakku dan syaraf tulang belakang.
Aku menjadi cepat letih, kebas kesemutan tidak hilang, tidak seimbang, dan jalan tertatih-tatih.
Hidupku seperti, harus hidup.
Dengan kebas kesemutan di tangan, emosi labil, letih lelah yang setia hadir, jalan tak seimbang.Â
Tongkat menjadi teman setiaku, meski dokter menasihati, kalau bisa kurangi jalan dengan tongkat.
Makan, kurangi daging merah, jadikan sayur menjadi kawan.
Tidur, tidur saja kalau memang terasa lelah.Â
Kawan? Biarkan saja, batasi yang memang berniat berkawan tanpa harus mengganggu waktu.
Ah ya, mendengarkan orang bisa jadi sangat meletihkan (he he he maaf tapi memang begitulah).Â
Kawan terbaikku, anakku.
Senyumnya, sinar matanya, ulahnya, dan hampir tiap orang yang berjumpa selalu berbisik padaku, "Anak cantik, cerdas, sehat."
Alhamdulillah
Doaku, suamiku setia dan selalu setia menjalankan perintahNya.
Anakku melangkah bahagia dan pasti menyongsong masa depannya.
Rencana-rencana Tuhan pasti lebih indah, amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H