Saat sidang tesis pun, penulis sempat kena kritik dari dosen penguji karena penulis membangun teori tanpa bukti.Â
Saat itu dosen penguji penulis mengatakan, "Sejarah itu sifatnya pasti, apalagi anda sudah berada di sidang tesis, sekarang dari pernyataan Anda, mana buktinya? Saya tidak mau teori saja," kata dosen penguji tesis penulis saat itu.
Dari sini kita memahami bahwa yang menyebabkan mahasiswa sejarah lulus lama adalah "bukti" atau "sumber sejarah".Â
Di dalam hal ini, bukti sejarah yang utama diperoleh dari sumber primer berbentuk arsip, dokumen, koran lama, rekaman dokumenter, wawancara pelaku atau saksi sejarah, dan lain sebagainya yang se-zaman dengan peristiwa yang kita teliti.Â
Masalahnya untuk mencari sumber yang se-zaman itu tidak mudah, karena peristiwa masa lalu belum tentu meninggalkan bukti atau sumber yang mencukupi, misalkan sejarah desa di Jawa yang mana penduduk biasanya hanya mengetahui sejarah desa melalui cerita secara turun temurun tanpa memiliki bukti tertulis. Selain itu, pelaku dan saksi yang se-zaman dengan peristiwa sejarah seringkali sudah meninggal. Â
Arsip dan koran lama pun sebenarnya bukan perkara mudah dicari. Ditambah lagi, belum tentu sumber-sumber berupa arsip dan koran lama dapat kita temukan di lembaga-lembaga pemerintah seperti Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), maupun Jogja Library Center (JLC).Â
Karena peristiwa sejarah sudah lama terjadi, sumber-sumber sejarah tersebut mungkin sudah hilang, tertumpuk di gudang milik orang bersama dengan barang-barang lain, hingga menyebar di berbagai kota, bahkan kalau sumber-sumber sejarah primer Indonesia bisa menyebar sampai ke negeri Belanda. Problematika mahasiswa sejarah memang cenderung lebih kepada menemukan sumber daripada metodologi.
Seorang peneliti sejarah memiliki keunikan dari sisi pengumpulan sumber, karena umumnya peneliti sejarah tidak bisa menjadi sumber primer dari peristiwa sejarah yang mereka teliti.Â
Berbeda dengan disiplin ilmu lain, misalkan sosiologi dan politik yang mana peneliti kedua disiplin ilmu tersebut bisa mengamati obyek penelitian secara langsung. Sedangkan peneliti sejarah tidak memiliki mesin waktu untuk pergi ke masa lalu dan mengamati secara langsung. Lho, bukankah ada video dokumentasi? Atau pelaku sejarah kan bisa meneliti peristiwa sejarah yang mereka alami juga?
Memang kita bisa menyaksikan video dokumentasi, akan tetapi kita tidak bisa menjangkau semua peristiwa sejarah yang terekam dalam video tersebut, misalkan rekaman mengenai Konferensi Meja Bundar (KMB), kita mungkin hanya bisa melihat apa yang terjadi saat perundingan berlangsung, namun kita tidak pernah bisa melihat bagaimana lobi-lobi di balik meja perundingan dilakukan.Â
Sebagai contoh lagi, kalau kita melihat video dokumenter mengenai jalan-jalan di Batavia tahun 1930 lalu menemukan cuplikan seorang individu yang sedang mencuci di Sungai Ciliwung, tentu kita tidak bisa melihat kehidupan lengkap individu tersebut, misalkan kehidupan dia di rumah atau hubungan dia dengan keluarganya.