Mohon tunggu...
Yoga Permana Sukma
Yoga Permana Sukma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Jember

Mahasiswa yang ingin kritis terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perlukah Fintech Dijangkau oleh Kebijakan Makroprudensial?

21 November 2024   20:19 Diperbarui: 21 November 2024   21:13 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumlah ini berkurang dibandingkan dengan bulan Februari sebanyak 101 perusahaan. Tahun ini, OJK telah mencabut izin tiga perusahaan pinjol, yakni Tanifund, PT Akur Dana Abadi (Jembatan Emas) dan PT Semangat Gotong Royong (Dhanapala), hingga Investree.

Kebangkrutan ini, selain diakibatkan oleh tingginya gagal bayar juga diduga adanya moral hazard yang dilakukan oleh pengembang P2P lending itu sendiri seperti kompromi dengan borrower. Selain itu pihak lender tidak mendapatkan informasi utuh tentang pengalokasian dan penggunaan dana oleh pihak borrower. Hal ini menimbulkan ketidakpastian yang tinggi dalam sistem fintech. 

Kondisi yang seperti ini berpotensi dapat menimbulkan gejolak pada stabilitas sistem keuangan. Namun disisi lain fintech P2P lending tidak memiliki interkonektivitas seperti halnya perbankan sehingga deteksi terhadap stabilitas sistem keuangan tidak menangkap kerapuhan pada sistem fintech. Oleh karena itu, muncul pertanyaan mendasar: perlukah fintech dijangkau oleh kebijakan makroprudensial?

Jawaban pertanyaan ini sebenarnya cukup menyulitkan karena hingga saat ini pengawasan fintech tidak dibawah Bank Sentral namun dibawah OJK sehingga kendali kebijakan makroprudensial tidak secara langsung berefek pada fintech. 

Namun jika ditelaah, kebijakan makroprudensial sangat diperlukan untuk mencegah potensi gagal bayar yang tinggi pada P2P lending. Pengawasan OJK pada fintech nyatanya tidak membuahkan hasil yang baik, terbukti dengan tingkat kebangkrutan fintech yang tinggi. 

Oleh karena itu diperlukan adanya rekonstruksi pengawasan fintech ditingkat makro berada pada Bank Sentral dan tingkat mikro pada OJK. Permasalahan kedua, finetch P2P lending bukan merupakan bank yang memiliki sistem seperti halnya perbankan sehingga Bank Sentral tidak memiliki kendali terhadap arus likuiditas. Kendali atas arus likuiditas menjadi penting karena menjadi salah satu alat dalam implementasi kebijakan makroprudensial.

Salah satu skema yang mungkin dapat dilakukan adalah pemberian insentif makroprudensial ketika P2P lending mampu menjaga tingkat gagal bayarnya tetap rendah atau mampu menyalurkan keuangan inklusif. 

Konsep ini serupa dengan kebijakan  makroprudensial RPIM (Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial) dan KLM (Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial). Dengan begitu P2P lending akan berupaya menyeleksi kredit pinjaman sebelum ditawarkan pada lender sehingga probabilitas gagal bayar menjadi minim. 

Skema kedua adalah mengembangkan kebijakan pembatasan jumlah kredit yang ditawarkan apabila NPL fintech melebihi batasan NPL yang ditentukan. Di sisi lainnya OJK juga perlu berperan dalam meningkatkan tingkat literasi keuangan fintech kepada lender sehingga mereka dapat memilah dan memilih penempatan dana yang tepat dengan risiko yang terukur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun