Secara historis, Indonesia cukup panjang mengalami defisit fiskal dan neraca transaksi berjalan. Twin defisit masih menjadi momok menakutkan bagi pemerintah baru terlebih kebijakan makan bergizi gratis diduga dapat menjadi penyebab meningkatnya defisit fiskal atau bahkan defisit neraca transaksi berjalan. Kondisi lebih buruk apabila bahan pangan yang digunakan justru perlu diimpor dari luar negeri dapat memperparah neraca transaksi berjalan. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi pemerintah baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto.
       Lebih lanjut, dengan peningkatan jumlah kementerian menjadi 48 kementerian sangat berimplikasi pada peningkatan belanja pegawai yang tentu membebani anggaran pemerintah. Pemerintah perlu menyusun langkah dengan menyesuaikan anggaran agar lebih efisien agar defisit anggaran tidak meningkat tajam. Terdapat porsi pengeluaran yang perlu dikurangi. Dari sisi transaksi migas, dapat dimungkinkan bahwa impor migas masih dominan dalam beberapa tahun kedepan seiring dengan peningkatan kebutuhan domestik akan migas. Data menunjukkan bahwa defisit transaksi migas mulai melebar sejak tahun 2021. Transisi energi bersih atau transportasi umum perlu didorong untuk mengurangi ketergantungan terhadap migas.
       Pemerintah juga perlu mengurangi beban defisit fiskal dengan mengurangi porsi pengeluaran untuk pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur mestinya terarah dan direncanakan dengan jelas agar tidak menimbulkan permasalahan baru seperti Bandara Kertajati. Keseimbangan primer perlu dijaga tetap positif agar bunga utang mampu dibayar oleh APBN tanpa harus mengeluarkan utang baru. Anggaran pemerintah harus dapat memberikan multiplier effect terutama bagi industri yang berorientasi ekspor sehingga dapat memberikan manfaat dan menjadikan neraca transaksi berjalan surplus. Pada akhirnya, kondisi neraca anggaran dan neraca transaksi berjalan bergantung di tangan pemerintah baru dalam mengatur APBN.
Dilema Kebijakan Bank Indonesia
       Bank Indonesia sebagai otoritas moneter sangat sentral dalam menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi agar dapat mendukung daya saing ekspor industri dalam negeri misalnya melalui kebijakan suku bunga. Stabilitas nilai tukar perlu ditekankan untuk mengatasi problem twin defisit. Namun sebenarnya, untuk mencapai stabilitas nilai tukar, Bank Indonesia tak luput dari dilema.
Peningkatan suku bunga mendorong nilai tukar terapresiasi sehingga membuat harga barang impor cenderung murah. Namun disisi lain, ketika nilai tukar terdepresiasi dapat membebani anggaran pemerintah karena biaya impor migas semakin mahal. Kebijakan suku bunga tinggi (ketat) menyebabkan pertumbuhan ekonomi tertahan karena dapat memberikan stimulus rumah tangga untuk menabung sementara sektor industri menahan investasi karena biaya modal yang tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H