Mohon tunggu...
Yoga Permana Sukma
Yoga Permana Sukma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Jember

Mahasiswa yang ingin kritis terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money

Bayang-Bayang Twin Defisit pada Perekonomian Indonesia: Tantangan Berat bagi Pemerintah Baru

4 November 2024   06:16 Diperbarui: 4 November 2024   07:40 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Twin Defisit atau defisit kembar, terdengar asing di telinga namun bukan 'barang baru' dalam konteks ekonomi negara-negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi pada negara berkembang sering kali terganggu oleh si twin defisit ini. Twin defisit terjadi akibat defisitnya anggaran pemerintah dan neraca transaksi berjalan secara bersamaan. Keduanya saling mempengaruhi secara dua arah atau hanya satu arah. Fenomena ini menjadi tantangan berat bagi pembangunan ekonomi suatu negara.

              Pemerintah acap kali dihadapkan pada problema pembangunan. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pengeluaran pemerintah perlu di dorong untuk meningkatkan permintaan agregat sebagaimana yang dikatakan oleh Keynes, namun sebagai imbasnya neraca anggaran pemerintah akan mengalami defisit dan memerlukan pembiayaan utang atau meningkatkan pajak untuk menutupi defisit tersebut. Kondisi defisit anggaran telah menjadi tren di era reformasi dan mulai melebar di era pemerintahan Presiden Joko Widodo seiring dengan kebijakan pembangunan infrastuktur yang masif dan mencapai puncak defisit di tahun 2020 ketika pandemi covid-19 terjadi.

Sumber: Bank Indonesia, SEKI, diolah
Sumber: Bank Indonesia, SEKI, diolah

Memang batasan defisit tetap terjaga sesuai amanah undang-undang dikisaran 3 persen (kecuali masa pandemi covid-19) namun ketika kebijakan fiskal tidak berkelanjutan dimana keseimbangan primer negatif menandakan bahwa pemerintah berutang untuk menutupi utang tentu sangat berbahaya bagi perekonomian negara dan akan menyulitkan pemerintah periode selanjutnya karena fleksibilitas fiskal semakin menyempit.

Sumber: Kementerian Keuangan, Alinea.Id (Awalil Rizky)
Sumber: Kementerian Keuangan, Alinea.Id (Awalil Rizky)

              Sementara itu, melihat neraca transaksi berjalan saat ini dapat dikatakan bahwa ketahanan eksternal Indonesia masih tergolong rendah. Meskipun neraca perdagangan Indonesia surplus yang didorong oleh ekspor-impor barang terutama komoditas CPO dan batu bara) tetapi neraca transaksi berjalan tetap tidak baik-baik saja. Selama era reformasi, defisit pada neraca transaksi berjalan terjadi di akhir pemerintah Presiden SBY (2011-2013) dan terus berlanjut di era Presiden Joko Widodo sepanjang tahun 2014-2020 dan 2023.

Sumber : Bank Indonesia, SEKI, diolah
Sumber : Bank Indonesia, SEKI, diolah

Defisit terjadi terutama disebabkan oleh defisit transaksi ekspor-impor jasa, migas, dan pendapatan primer. Defisitnya neraca transaksi jasa menandakan bahwa permintaan domestik akan layanan jasa luar negeri begitu tinggi misalnya layanan kesehatan, pariwisata, dan kebutuhan tenaga kerja asing. Defisit transaksi migas seiring dengan meningkatnya permintaan domestik akan migas mengingat. Indonesia sudah tidak lagi dapat memproduksi migas sesuai dengan permintaan domestik mengingat cadangan migas mulai menipis. Sementara itu defisitnya pendapatan primer menandakan bahwa adanya dana yang mengalir dari Indonesia menuju ke negara lain yang didorong oleh pembayaran dividen atau kupon obligasi atau remintansi seiring dengan peningkatan kebutuhan tenaga kerja asing.

Dengan mengkombinasikan defisit anggaran dan defisit neraca transaksi berjalan, maka Indonesia mengalami twin defisit sepanjang tahun 2011-2013, 2014-2020, dan 2023. Sebuah catatan buruk bagi perekonomian Indonesia. Terjadi linkage antara defisit fiskal, utang, dengan necara transaksi berjalan. Ketika utang meningkat pemerintah perlu membayar imbal hasil obligasi ke investor asing. Kenaikan nilai impor migas mendorong pembayaran subsidi BBM yang lebih tinggi.  Tak heran dunia memberikan julukan Indonesia sebagai salah satu dari 'The Fragile Five' atau negara dengan fundamental ekonomi yang rentan dan rapuh dari guncangan eksternal. Tentu hal ini mengikis kepercayaan investor terhadap iklim investasi di Indonesia.

Bagaimana Nasib Pemerintah Baru? 

              Secara historis, Indonesia cukup panjang mengalami defisit fiskal dan neraca transaksi berjalan. Twin defisit masih menjadi momok menakutkan bagi pemerintah baru terlebih kebijakan makan bergizi gratis diduga dapat menjadi penyebab meningkatnya defisit fiskal atau bahkan defisit neraca transaksi berjalan. Kondisi lebih buruk apabila bahan pangan yang digunakan justru perlu diimpor dari luar negeri dapat memperparah neraca transaksi berjalan. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi pemerintah baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto.

              Lebih lanjut, dengan peningkatan jumlah kementerian menjadi 48 kementerian sangat berimplikasi pada peningkatan belanja pegawai yang tentu membebani anggaran pemerintah. Pemerintah perlu menyusun langkah dengan menyesuaikan anggaran agar lebih efisien agar defisit anggaran tidak meningkat tajam. Terdapat porsi pengeluaran yang perlu dikurangi. Dari sisi transaksi migas, dapat dimungkinkan bahwa impor migas masih dominan dalam beberapa tahun kedepan seiring dengan peningkatan kebutuhan domestik akan migas. Data menunjukkan bahwa defisit transaksi migas mulai melebar sejak tahun 2021. Transisi energi bersih atau transportasi umum perlu didorong untuk mengurangi ketergantungan terhadap migas.

Sumber: Bank Indonesia, SEKI, diolah
Sumber: Bank Indonesia, SEKI, diolah

              Pemerintah juga perlu mengurangi beban defisit fiskal dengan mengurangi porsi pengeluaran untuk pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur mestinya terarah dan direncanakan dengan jelas agar tidak menimbulkan permasalahan baru seperti Bandara Kertajati. Keseimbangan primer perlu dijaga tetap positif agar bunga utang mampu dibayar oleh APBN tanpa harus mengeluarkan utang baru. Anggaran pemerintah harus dapat memberikan multiplier effect terutama bagi industri yang berorientasi ekspor sehingga dapat memberikan manfaat dan menjadikan neraca transaksi berjalan surplus. Pada akhirnya, kondisi neraca anggaran dan neraca transaksi berjalan bergantung di tangan pemerintah baru dalam mengatur APBN.

Dilema Kebijakan Bank Indonesia

              Bank Indonesia sebagai otoritas moneter sangat sentral dalam menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi agar dapat mendukung daya saing ekspor industri dalam negeri misalnya melalui kebijakan suku bunga. Stabilitas nilai tukar perlu ditekankan untuk mengatasi problem twin defisit. Namun sebenarnya, untuk mencapai stabilitas nilai tukar, Bank Indonesia tak luput dari dilema.

Peningkatan suku bunga mendorong nilai tukar terapresiasi sehingga membuat harga barang impor cenderung murah. Namun disisi lain, ketika nilai tukar terdepresiasi dapat membebani anggaran pemerintah karena biaya impor migas semakin mahal. Kebijakan suku bunga tinggi (ketat) menyebabkan pertumbuhan ekonomi tertahan karena dapat memberikan stimulus rumah tangga untuk menabung sementara sektor industri menahan investasi karena biaya modal yang tinggi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun