Selintas Pandang Bentuk Pertunjukan Reog Ponorogo
Reog Ponorogo, atau ejaan lamanya: Reyog Ponorogo, merupakan sebuah kesenian rakyat yang berbentuk seni drama tari. Jadi, pada perkembangannya memang bukan sekedar seni tari saja lho... Tetapi memang aspek tari pada kesenian ini lebih tampak menonjol. Ada beberapa karakter tarian di yang terdapat dalam Reog Ponorogo, antara lain: dhadhak merak (barongan), bujang ganong (ganongan), jathilan (jaranan), klana, dan tari warok.Â
Nah, sampai di sini, pembaca yang budiman jangan rancu dengan jenis-jenis kesenian rakyat yang memiliki nama dan ciri-ciri performa yang identik atau mirip dengan seni reog, seperti: jathilan (tetapi bukan jathilan pada Reog Ponorogo), kuda kepang, kuda lumping, ebeg (eblek), dan jager.
Jadi, dalam kesenian Reog Ponorogo juga ada unsur tarian dan karakter tari jathilan, namun jathilan di sini bukan jenis kesenian tersendiri melainkan bagian dari karakter kesenian Reog Ponorogo. Kesenian rakyat Reog Ponorogo sendiri memiliki ciri-ciri dan karakteristik tertentu, tampak dari bentuk pertunjukan dan elemen-elemen lainnya.
Pementasan Reog Ponorogo tidak selalu menampilkan semua unsur-unsur tarian yang telah disebut di atas. Dalam hal ini, terdapat ragam 'kemasan' atau format pementasan/pertunjukan Reog Ponorogo.Â
Ada format pertunjukan Reog Ponorogo yang lengkap, yakni menampilkan seluruh karakter reyog, mulai dari warok dan/atau warokan, jathil atau jathilan, ganong/bujang ganong atau ganongan, klana (Klana Sewandana), dan barongan/singa barong atau dhadhak merak.Â
Namun ada juga format yang tidak lengkap, misalnya hanya menampilkan karakter jathilan, ganongan dan barongan/singa barong atau dhadhak merak. Itu semua tergantung kebutuhan, situasi dan kondisi serta permintaan penanggap. Â Apapun format pertunjukan reog, baik secara 'lengkap' atau 'tidak lengkap', tetap disebut sebagai: reog; Reog Ponorogo.Â
Nama 'Ponorogo' menyertainya, karena Ponorogo-lah yang dianggap sebagai tempat lahir dan besar kesenian ini. Atau nama 'Reog Ponorogo' menunjukkan identitas bahwa reog yang dimaksud adalah 'reog yang mengacu pada Reog Ponorogo', meskipun penyebarannya telah ada di berbagai tempat.Â
Pembaca yang budiman bisa bereksplorasi sendiri, bahwa kesenian Reog Ponorogo telah menyebar tidak hanya ke luar wilayah Kabupaten Ponorogo, namun juga ke luar daerah, ke luar pulau, bahkan tidak sedikit komunitas-komunitas atau grup-grup kesenian Reog Ponorogo di manca negara dan lintas benua.
Pada bagian awal tadi disebutkan bahwa Reog Ponorogo merupakan sebuah seni drama tari. Nah, sebagai  sebuah seni drama tari, kesenian ini sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga) unsur atau jenis seni yang dapat ditangkap oleh pancaindera secara jelas, yakni seni tari berupa gerak tari, seni rupa berupa properti yang digunakan (misalnya topeng barongan, topeng ganongan, dan topeng klana), dan seni musik berupa musik atau gendhing/tabuhan ansambel gamelan reog.Â
Perpaduan antara unsur-unsur tersebut, yakni unsur tari, unsur rupa, dan unsur musik membentuk karakteristik khas Reog Ponorogo. Antara tarian dan tabuhan gamelan reog terdapat kaitan yang erat, tidak dapat dipisahkan. Karakteristik dari properti dan perlengkapan tarian Reog Ponorogo turut membentuk kekhasan dari kesenian rakyat ini.
Antara Kesederhanaan dan Kompleksitas Musikal Reog Ponorogo
Karakteristik musik atau tabuhan Reog Ponorogo yang khas telah menjadi 'pasangan' yang serasi dari tari-tarian Reog Ponorogo. Bunyi instrumen gong yang terus-menerus, bunyi permainan instrumen kethuk-kenong yang bertalu-lalu, lantunan tiupan instrumen slompret yang sering melengking dengan nuansa bunyi tersendiri, dan bunyi permainan kendhang reog yang membuat dinamika musik reog.Â
Sajian musik dari instrumen-instrumen musik pokok dalam Reog Ponorogo itu juga dihiasi lagi dengan jalinan bunyi seperangkat instrumen angklung (biasanya berjumlah genap), ditambah lagi teriakan-teriakan para senggak reog yang meneriakkan suara-suara vokal tertentu secara singkron dengan irama musik gamelannya. Â
Semuanya itu mengiringi kebatan-kebatan dhadhak merak (gerakan-gerakan dhadhak-merak), polah-tingkah ganongan, joget (gerak tari) para jathil, tarian gagah para warok, dan/atau kiprah Klana Sewandana.Â
Di lain pihak, tidak sedikit kalangan masyarakat, terutama masyarakat karawitan di luar seni reog, yang menganggap bahwa musik, tabuhan, atau gendhing reog itu sangat 'monoton', hanya terdiri dari satu macam pola atau bentuk.Â
Pandangan ini tampak jelas ketika para seniman, terutama musisi yang bukan merupakan musisi gamelan Reog Ponorogo, Â dalam merepresentasikan musik/tabuhan reog (reogan) dengan menggunakan ansambel yang bukan ansambel (gamelan) reog.Â
Pada berbagai pentas pertunjukan gamelan atau karawitan yang tidak menyertakan gamelan reog, hampir dapat dipastikan para pengrawit (musisi karawitan) akan menyajikan bentuk dan pola permainan musik reog, yang pola permainan kethuk-kenong dan gongnya hanya satu pola yang disajikan terus-menerus (dengan ritme yang bisa saja berbeda).
Dengan kendhangan (bunyi permainan kendhang) yang sigrak (dinamis), sajian tersebut telah mencitrakan keinginan para musisi, bahwa mereka merasa telah menyajikan musik 'reogan'. Fakta yang telah membudaya ini menunjukkan adanya asumsi bahwa musik Reog Ponorogo hanya begitulah adanya. Sejumlah aspek musikalitas pada musik Reog Ponorogo sering luput dari perhatian, misalnya: ragam bentuk dan pola permainan gending, instrumentasi, dan sebagainya.
Musik reog bahkan dianggap sebagai musik yang menjemukan, 'miskin', bahkan kuno, primitif, dan sebagainya. Santosa pernah menyebutkan bahwa musik  reogan "... pernah diberi stigma sebagai musik kuno, primitif, dan tidak beradab karena musik tersebut dianggap tidak mempunyai struktur, tidak mempunyai sejarah, dan tidak didasari atas konsep baik musikal maupun sosial".[1]Â
Menurut pengamatan penulis, memang secara historis diduga kuat bahwa pada pada mulanya musik Reog Ponorogo memiliki pola permainan musik yang amat sederhana. Namun, seiring dengan perkembangan jaman, terutama yang sangat jelas dilacak mulai dekade tahun 1980-an dan 1990-an. Lalu, mulai abad ke-21 sangat terjadi perkembangan musikalitas Reog Ponorogo yang amat signifikan.
Perkembangan Reog Ponorogo, khususnya pada aspek musik, masih sulit dilacak, apalagi menentukan periodisasinya. Hal ini dikarenakan perkembangan musik reog sebelum adanya Festival Reog Nasional (FRN) tahun 1995, berjalan sangat alamiah dengan tradisi oral yang jarang atau bahkan tidak dapat dijumpai sumber dan bukti otentik yang menerangkannya.Â
Tetapi yang jelas, setelah mengalami rentang waktu yang panjang, dapat dikatakan bahwa pada musik reog saat ini telah memiliki suatu 'konvensi' yang secara tradisi 'dibuat' sekaligus dipatuhi oleh seniman-seniman (musisi) reog. Di sinilah peneliti sering menggunakan istilah 'konvensional' untuk menyebut garap musik atau tabuhan tradisi Reog Ponorogo yang hingga kini ditaati para seniman reog, sehingga menjadi ciri khas musik Reog Ponorogo.
Setelah Reog Ponorogo mulai masuk panggung seni pertunjukan modern, musik Reog Ponorogo mulai mengalami perkembangan pesat, sejalan dengan perkembangan keseluruhan unsur pertunjukannnya sendiri.Â
Perkembangan ini ditandai dengan mulai diadakannya festival-festival Reog Ponorogo. Pada tahun 1980-an diadakan festival reog untuk pertama kalinya di Ponorogo. Hal ini membawa pengaruh yang cukup berarti bagi perkembangan seni pertunjukan Reog Ponorogo beserta semua aspek-aspeknya. Perkembangan reog terjadi secara 'lebih besar' lagi sejak adanya festival reog dengan tajuk: Festival Reog Nasional (FRN) di Ponorogo.Â
Festival yang menjadi agenda rutin Ponorogo ini pertama kali diselenggarakan pada tahun 1995. FRN ini turut membawa dampak yang sangat besar bagi perjalanan kehidupan seni reog di berbagai aspek, termasuk dalam aspek pertunjukannya (di dalamnya termasuk sisi musiknya).
Berdasarkan sejumlah data dan sumber, sampai tahun 1990-an belum dijumpai kreasi dan variasi garapan dan komposisi musik yang terlalu beragam pada reog kemasan festival. Saat itu, keseluruhan dari garapan musiknya berbentuk garap  'tradisi' atau garap 'konvensional'. Baru setelah FRN berjalan beberapa kali, terutama pada akhir dekade tahun 2000-an, musik Reog Ponorogo telah banyak dimasuki atau disisipi unsur-unsur dari musik lain, seperti musik dangdut, reggae, hip-hop, dan sebagainya. Pembaca yang budiman bisa crosscheck di youtube.Â
Meskipun kreasi dan variasi garap musik Reog Ponorogo sebegitu rupa, tetapi musik atau gendhing Reog Ponorogo garap 'tradisi-konvensional' tetap mempunyai kedudukan tersendiri dalam suatu komposisi musik Reog Ponorogo, baik pertunjukan format/kemasan festival maupun obyogan.Â
Pertunjukan Reog Ponorogo kemasan festival adalah format pertunjukan lengkap, baik karakter dan unsur tariannya maupun alur cerita (drama) yang dibawakan, yang lazim dipertunjukkan pada festival-festival reog, terutama FRN. Adapun pertunjukan Reog Ponorogo format obyogan merupakan bentuk pertunjukan Reog Ponorogo secara konvensional, lebih sederhana, apa adanya, tidak forma dan tidak harus lengkap, serta penuh improvisasi dalam penampilan dan sajiannya, baik dalam hal tarian mapun musiknya.
Akhirnya, penulis katakan bahwa dewasa ini, yakni paling tidak sejak beberapa dekade yang lalu, di balik tabuhan musik yang awalnya sangat sederhana, Reog Ponorogo memiliki beberapa ragam bentuk gendhing dan irama serta pada perkembangannya banyak kreasi dan variasi garap musiknya. Permasalahan musikal di dalamnya pun cukup kompleks.Â
Mulai dari masalah instrumentasi, pola-pola garap permainan instrumen seperti kendhangan dan slompretan, unsur senggakan Reog Ponorogo yang tidak 'asal-asalan', interaksi-interaksi musikal, dan masalah musikal lainnya.Â
Musikalitas Reog Ponorogo, bahkan garap konvensional sekalipun, sesungguhnya sangat kompleks . Joko Purwanto, dosen karawitan di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, dalam sebuah Simposiun Karawitanologi ISI Surakarta tanggal 18 Desember 2007, Â pernah mengatakan: "...reog itu... ada kompleksitas yang jelas di sana juga sebenarnya.... Saya kira itu tidak sesederhana yang kita bayangkan..."[2]
Instrumen Musik pada Ansambel Gamelan Reog Ponorogo
Banyak kesenian tradisional maupun kesenian rakyat Nusantara yang menggunakan perangkat alat musik atau ansambel yang disebut gamelan. Salah satu pengertian gamelan adalah definisi yang dikemukakan oleh Rahayu Supanggah adalah: seperangkat ricikan yang sebagian besar terdiri dari alat musik pukul atau perkusi, yang dibuat dari bahan utama logam (perunggu, kuningan, besi, atau bahan yang lain), dilengkapi dengan ricikan-ricikan dengan bahan kayu dan/atau kulit maupun campuran dari dua atau ketiga bahan tersebut.[3] Meskipun definisi ini identik dengan gamelan Jawa (gamelan ageng atau gamelan gedhe), namun pengertian "...alat musik pukul atau perkusi..." cukup memberi penjelasan tentang definisi 'gamelan' secara umum. Kata 'gamelan' berasal dari kata dasar: 'gamel' (bahasa Jawa),kata kerja: nggamel, yang artinya 'memukul', 'menabuh'. Istilah gamel,nggamel, atau gamelan memiliki makna yang dekat dengan istilah tabuh, nabuh, atau tabuhan. Nah, dari sini lah musik gamelan sering pula disebut sebagai tabuhan. Tabuhan gamelan reog berarti sajian musik dari ansambel gamelan reog.
 Gamelan Reog Ponorogo terdiri atas beberapa instrumen musik. Sumarsam menyebut gamelan reog sebagai "... ansambel kecil, seperti ansambel untuk mengiringi wayang beber, wayang klithik, reyog (suatu dramatari rakyat)..."[4] Instrumen atau alat musik pada ansambel gamelan Reog Ponorogo adalah:
- kendhang (yakni kendhang khusus untuk Reog Ponorogo, kendhang reog)Â
- terompet reog yang disebut: slompret (salompret/selompret)
- pencon 2 buah yang sering disebut: kethuk-kenong (khusus gamelan reog) atau ada yang menyebut sebagai bonang (bonang reog).
- gong, atau dahulu ada yang menyebut: kempul (karena ukurannya sedikit lebih kecil dari gong)
- ketipung (kendhang kecil) atau ada yang menyebut singkat: tipung
- angklung goyang yang berjumlah 2 atau pada perkembangannya bisa ada 4 atau bahkan 6.
Banyak sekali uraian-uraian, tulisan-tulisan (baik di atas kertas maupun di media lainnya), juga teks syair beberapa repertoar tembang atau lelagon (Jawa) ada yang menerangkan tentang gamelan Reog Ponorogo sampai menyebut satu-satu persatu nama instrumennya. Seperti pada teks lagu Reyog Ponorogo-nya Ki Nartosabdo, yang hampir secara lengkap mengidentifikasi instrumentasi gamelan Reog Ponorogo, berikut nuansa tabuhan yang ditimbulkannya. Di sana Nartosabdo menyebut instrumen kethuk-kenong dengan sebutan 2 buah bonang yang berlaraskan slendro, dan seterusnya. Berikut teks lengkap syairnya:
"Slomprt nyomprt, kmpul ngungkung || kndhang riyl, ktipung imbal || bonang loro tur slndro, salomprt plog || jaran kpang nyongklang, mrak ngigl || macan mangap mgap-mgap || bujang ganong galyah kiprah || wus cocok kagunan ryog, prasj gaw gmbir ||" (Teks syair 'Pnrg', llagon ciptaan Ki Nartosabdo)[5]
Terjemahannya kurang lebih:
"Slompret/terompet berbunyi pret-pret, kempul berdengung melengking || kendhang berbunyi riuh, kendhang kecil menimpali disela-sela irama || bonang yang berjumlah 2 buah dan berlaraskan slendro, sedangkan terompetnya berlaraskan pelog || Kuda kepang berjalan menyentak-nyentak, dhadhak meraknya terlihat bergerak-gerak menari || topeng macannya terlihat seperti terengah-engah || sementara itu bujang ganong menari kiprah || semua itu telah sesuai (serasi/selaras) dalam kesenian reog, sederhana tetapi membuat gembira hati ||"
Nah, jika dilihat dari jumlah instrumennya, memang ansambel musik gamelan Reog Ponorogo memang ansambel sederhana, yakni hanya terdiri dari 6 buah instrumen. Namun dengan kesederhanaan instrumentasinya, musikalitas Reog Ponorogo saat ini pada kenyataannya tidak dapat disebut sederhana. Dan akan terus berkembang.
Catatan dan Referensi:
[1] Santosa, "Etnomusikologi dalam Pembentukan Peradaban Manusia", Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap pada Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta, dibacakan di hadapan Rapat Senat Terbuka Institut Seni Indonesia Surakarta pada hari Sabtu, 14 Maret 2009, hlm. 3.
[2] Waridi (Ed.), Hasil Simposium Karawitanologi, (Institut Seni Indonesia Surakarta, 2007), hlm. 98.
[3] Rahayu Supanggah, Bothekan Karawitan I, (Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2002), hlm.13.
[4] Sumarsam, Gamelan, Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 25. Pada notasi hlm. 360 pada sumber ini disebutkan: "... ansambel untuk reyog: salompret, kempul, kethuk, kendhang, dan kadang-kadang angklung."
[5] Ditranskrip dari rekaman pakeliran Ki Nartosabdo dalam lakon "Pandhawa Reca",  dan  lakon "Kridha Hasta".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H