Para pencari sesuatu yang sejati selalu mencintai sepi. Mereka mendambakan kedamaian dalam keheningan. Menolak segala bentuk kegaduhan, keramaian, dan kemegahan hiruk-pikuk kehidupan. Dunia dipandang sebagai permainan yang penuh kepalsuan. Kefanaan yang penuh nafsu dan harus dihinakan.
Maka sejarah mencatat para pencerah yang memulai dari keheningan. Seperti Musa yang pergi ke gunung Sinai, atau Muhammad yang mendapat wahyu di gua hira. Juga kaum sufi dan pertapa shramana yang terus berkelana. Mencari Ia yang utama.
Tapi, apakah pencerahan hanya bisa diperoleh dalam keheningan? Dalam magnum opus Kuntowijoyo Dilarang Mencintai Bunga-Bunga diceritakan pertentangan batin seorang anak. Ia berkawan dengan seorang kakek tua yang mencintai kedamaian. Lewat bunga.
...Hidup harus penuh dengan bunga-bunga. Bunga tumbuh, tidak peduli hiruk-pikuk dunia. Ia mekar. Memberikan kesegaran, keremajaan, keindahan. Hidup adalah bunga-bunga. Aku dan kau salah satu bunga...
...Bunga-bunga di atas air ini melambangkan ketenteraman, ketenangan dan keteguhan jiwa. Di luar matahari membakar. Hilir mudik kendaraan. Orang berjalan kesana kemari memburu waktu. Pabrik-pabrik berdentang. Mesin berputar. Di pasar orang bertengkar tentang harga. Tukang copet memainkan tangannya. Pemimpin meneriakkan semboyan kosong. Anak-anak bertengkar berebut layang-layang.
Apakah artinya semua itu, Cucu? Mereka menipu diri sendiri. Hidup ditemukan dalam ketenangan. Bukan dalam hiruk pikuk dunia. Tataplah bunga-bunga diatas air itu. Hawa dingin menyejuk hatimu. Engkau menemukan dirimu. Engkau akan tahu, siapakah dirimu. Katakanlah, apakah yang lebih baik dari ketenangan jiwa dan keteguhan batin, Cucu?"...
Tapi sang Ayah bersikap sebaliknya. Baginya kebahagiaan ada dalam kerja-kerja dunia. Peduli setan dengan bunga-kedamaian-keindahan. Ia memecahkan vas bunga sang anak. Membuang bunga yang dikantongi buyung ke tempat sampah, melarangnya menemui si kakek, dan menyuruh anaknya bekerja di bengkel. Suatu ketika, sang anak bertanya,
"Ayah, kenapa tidak mencari hidup sempurna?"
"Ya, Aku mencari itu, Buyung."
"Di mana dicari yah?" kejar Buyung.
"Dalam kerja." Jawab Ayah.
"Ya. Tetapi dimana?"
"Di bengkel, tentu. Engkau mesti bekerja. Sungai perlu jembatan. Tanur untuk melunakkan besi perlu didirikan. Terowongan mesti digali. Dam dibangun. Gedung ditegakkan. Sungai dialirkan.Tanah tandus disuburkan. Mesti, mesti, Buyung. Lihat tanganmu. Untuk apa tangan ini?"
Tangan Ayah yang kasar dan penuh oli menggenggam tangan Buyung. Tangan yang sebelumnya wangi dan penuh bunga kini harus kotor terkena noda. Tangan Ayah yang penuh kegelisahan. Sangat berbeda dengan tangan kakek yang lembut dan penuh kedamaian.
"Kerja" kata si Buyung.
Si Buyung tersadar, kehidupan tidak selamanya dikotomis. Tidak semuanya terpisah tegas antara baik-buruk, hitam-putih, gelap-terang. Terkadang semuanya menyatu menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Tak ada jiwa tanpa adanya tubuh. Tak ada kenikmatan kemenangan jika tak pernah merasakan peluh kekalahan. Tak ada kepuasan kesuksesan tanpa adanya tangga-tangga kegagalan.
Pencerahan tidak didapat dengan lari dari kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang diberi amanat oleh Tuhan untuk mengolah dunia dan isinya. Mereka yang tercerahkan adalah mereka yang menemukan kenyataan bahwa anugerah Tuhan ada dalam kerja-kerja sederhana di alam dunia. Mereka yang menjalankan profesi sebagai pengabdian ibadah untuk Tuhan. Melakukan tugasnya dengan jujur, professional, dan penuh integritas.
Usaha lari dari kenyataan dunia hanya menghasilkan keterasingan dan perasaan terkalahkan. Seperti cerita tentang Kiai Munali dalam dalam Geger Kiai: Catatan Mistis Sang Kembara karya Fahrudin Nasrulloh (Pustaka Pesantren: 2009).
Menjadi Kucing
Secara sembunyi2, kiai Munali meninggalkan pesantrennya untuk menyepi dan mempelajari ilmu tasawuf. Ia memilih sebuah lereng tak terjamah di wilayah Tengger. Ribuan buku mistik diangkutnya kesana. Bertahun-tahun, ia mempelajari gunungan kitab itu. Dilain waktu, ia menyusuri lembah, hutan, dan lereng-lereng yang terjal. Sampai waktu tak terhitung lagi, begitulah kegiatan sehari-hari yang dijalani Kiai Munali.
Disuatu senja yang semilir, kiai Munali tertidur dibawah pohon Jambe didekat gubuknya. Ia bermimpi berubah menjadi kucing. Berlari-lari di rerumputan yang hijau segar mengejar capung-capung yang beterbangan dengan ceria. Hatinya gembira, bebas, dan merasa menemukan kedamaian batiniah yang selama ini dicarinya. Ia lupa akan dirinya yang semula.
Saat sedang asyik berlarian, ia bertemu dengan lelaki renta yang tiada lain adalah dirinya sendiri. Kiai Munali teramat kaget dan seketika menyadari ihwal dirinya yang telah berubah menjadi kucing. Si dirinya yang tua itu berkata,
"Hamba yang sejati tidak membutuhkan pencarian dan pengalaman spiritual yang macam2 seperti ini, Munali. Untuk apa kau memburunya hingga menjadi seekor kucing, walau kau merasakan kedamaian dan kesunyian yang sempurna. Tapi itu hanyalah permainan semu belaka. Mimpi yang Cuma dihembuskan hawa jahat setan.
Dan kini, kau merasa telah menemukan hakikat keilahian. Semua ini tak lebih khayalan yang menyesatkan. Kembalilah ke pesantrenmu yang telah lama kau tinggalkan! Di sana, di keramaian dunia, "kedamaian ilahi" yang sesungguhnya berada. Itulah hakikat dari "yang apa adanya" bersama Allah swt. Pulanglah, Munali!!!"
Karena kedamaian yang dicari sebenarnya ada dalam keramaian sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H