Secara sembunyi2, kiai Munali meninggalkan pesantrennya untuk menyepi dan mempelajari ilmu tasawuf. Ia memilih sebuah lereng tak terjamah di wilayah Tengger. Ribuan buku mistik diangkutnya kesana. Bertahun-tahun, ia mempelajari gunungan kitab itu. Dilain waktu, ia menyusuri lembah, hutan, dan lereng-lereng yang terjal. Sampai waktu tak terhitung lagi, begitulah kegiatan sehari-hari yang dijalani Kiai Munali.
Disuatu senja yang semilir, kiai Munali tertidur dibawah pohon Jambe didekat gubuknya. Ia bermimpi berubah menjadi kucing. Berlari-lari di rerumputan yang hijau segar mengejar capung-capung yang beterbangan dengan ceria. Hatinya gembira, bebas, dan merasa menemukan kedamaian batiniah yang selama ini dicarinya. Ia lupa akan dirinya yang semula.
Saat sedang asyik berlarian, ia bertemu dengan lelaki renta yang tiada lain adalah dirinya sendiri. Kiai Munali teramat kaget dan seketika menyadari ihwal dirinya yang telah berubah menjadi kucing. Si dirinya yang tua itu berkata,
"Hamba yang sejati tidak membutuhkan pencarian dan pengalaman spiritual yang macam2 seperti ini, Munali. Untuk apa kau memburunya hingga menjadi seekor kucing, walau kau merasakan kedamaian dan kesunyian yang sempurna. Tapi itu hanyalah permainan semu belaka. Mimpi yang Cuma dihembuskan hawa jahat setan.
Dan kini, kau merasa telah menemukan hakikat keilahian. Semua ini tak lebih khayalan yang menyesatkan. Kembalilah ke pesantrenmu yang telah lama kau tinggalkan! Di sana, di keramaian dunia, "kedamaian ilahi" yang sesungguhnya berada. Itulah hakikat dari "yang apa adanya" bersama Allah swt. Pulanglah, Munali!!!"
Karena kedamaian yang dicari sebenarnya ada dalam keramaian sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H