Mohon tunggu...
Yoga Prabowo Pongdatu
Yoga Prabowo Pongdatu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjajaran

Tolong tuliskan kritik dan saran terhadap tulisan saya!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rent Seeking Sebagai Media Politik Elektoral dalam Meraih Kekuasaan

1 Januari 2025   02:07 Diperbarui: 1 Januari 2025   02:12 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oligarchy political cartoon: In 1889

Pendahuluan

Dalam lanskap politik Indonesia, dinamika kekuasaan seringkali dipengaruhi oleh praktik-praktik yang tidak sepenuhnya sejalan dengan prinsip demokrasi. Salah satu fenomena yang mencolok adalah rent seeking, yaitu upaya individu atau kelompok untuk memperoleh keuntungan ekonomi melalui manipulasi kebijakan publik tanpa memberikan kontribusi produktif. Dalam konteks politik elektoral, rent seeking menjadi alat strategis yang digunakan oleh aktor politik untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Fenomena ini bukan hanya menimbulkan persoalan etis, tetapi juga berdampak negatif terhadap tata kelola pemerintahan dan pembangunan ekonomi.

Rent Seeking menjadi budaya korupsi baru di beberapa negara, termasuk Indonesia. Yang dimaksud dengan "Rent Seeking" adalah perilaku pejabat publik dan politisi yang hanya memikirkan kepentingan pribadi. Mereka melakukan ini dengan mencari celah dalam kebijakan publik atau mengatur anggaran untuk proyek-proyek pemerintah untuk memperkaya diri sendiri atau menguntungkan kelompok tertentu dengan tujuan mendapatkan kekuasaan ekonomi dan politik. Menurut Grindle, dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik tahun 1970-an yang disebut sebagai "benign and walfare maximising state", para pembuat kebijakan dan penyelenggara pemerintah lainnya merupakan bagian dari reen seeker (Grindle, 1989). Pemerintah reformasi melakukan banyak perubahan institusional karena kondisi ekonomi dan politik Orde Baru. Desentralisasi dan penerapan demokrasi merupakan perubahan besar selama periode reformasi (Robison and Hadiz, 2004). Tujuan demokratisasi adalah untuk membuat sistem politik lebih terbuka dan demokratis. Artinya, setiap kelompok politik memiliki kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan. untuk memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. 

Pada kasus nyata di Indonesia, pola hubungan bisnis dan politik yang meningkat selama reformasi dianggap sebagai tindakan yang dilakukan untuk membagi sumber daya negara, dengan aktor ekonomi (bisnis) dan politik (pemerintah). Praktek Rent Seeking, atau perburuan rente, menjadi hal yang paling menonjol dalam hubungan bisnis dan politik ini, menghasilkan sistem demokratis yang pada akhirnya menghasilkan keuntungan. Selain itu, pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak tergantung pada peran yang dimainkan oleh pemerintah dalam mengatur perekonomian untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan negara (Negara Kesejahteraan). Dalam hal pembangunan ekonomi yang tidak terpengaruh oleh peran pemerintah, Indonesia di era reformasi ditandai dengan cita-cita untuk memperbaiki kondisi ekonomi selama pemerintahan Orde Baru. 

Dengan mengacu pada pendapat para teoritisi ekonomi dan politik, seseorang dapat membuat kesimpulan dasar bahwa para birokrat, politisi, dan bahkan orang-orang yang terlibat dalam aktivitas masyarakat tertentu adalah kumpulan pemburu rente, juga dikenal sebagai grup pemburu rente. Motivasi mereka lebih berfokus pada mengumpulkan kepentingan ekonomi dan politik jangka pendek daripada mewujudkan kekayaan bangsa (Grindle, 1989: 6). Dengan asumsi bahwa Indonesia adalah negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, adalah wajar bahwa perilaku rent seeking tampak jelas di setiap aspek kehidupan kita, terutama ketika kita berurusan dengan pemerintahan dan aparaturnya, serta dengan proses sosial ekonomi politik di sekitarnya.

Pembahasan

Rent seeking pertama kali diperkenalkan oleh Gordon Tullock pada tahun 1967 dan kemudian dikembangkan oleh Anne Krueger pada tahun 1974. Konsep ini mengacu pada aktivitas yang dilakukan untuk memperoleh "rents"---keuntungan ekonomi yang tidak dihasilkan melalui aktivitas produktif---melainkan melalui pengaruh terhadap kebijakan publik. Dalam konteks politik, rent seeking mencakup praktik seperti lobi, korupsi, hingga penyuapan, di mana aktor-aktor tertentu memanfaatkan kekuasaan politik untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Konsep rent seeking dianggap sebagai perilaku negatif dalam literatur ekonomi politik. Ada asumsi bahwa setiap kelompok kepentingan berusaha menghasilkan keuntungan finansial sebesar mungkin dengan usaha sekecil mungkin. Pada titik inilah tujuan tersebut akan dicapai dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada, seperti lobi. Di sinilah masalahnya. Jika lobi berdampak pada kebijakan, efeknya dapat sangat beragam. 

Selain itu, para pengusaha bermodal domestik dan asing bekerja sama dengan pejabat dan birokrat yang memiliki akses ke perizinan, birokrasi, fasilitas lokal, dan perlindungan dari pengusaha lain. Kebijakan yang berpihak pada pengusaha, sumber daya murah, dan akses mudah ke informasi adalah semua keuntungan bagi pengusaha. sementara para pejabat mendapatkan keuntungan dari suap dan memiliki kesempatan untuk melakukan kolusi dan korupsi (Thamren Ananda, 2010). Mushtaq Khan dan Jomo (2000) menjelaskan bagaimana rent seeking terjadi di Asia, yang berdampak besar dan merusak pertumbuhan ekonomi, dan bagaimana negara berkembang menjadi ladang yang sangat besar bagi pelaku rent seeking.

Teori rent seeking menjelaskan bahwa sumber daya yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan produktivitas ekonomi malah dialokasikan untuk kegiatan yang merugikan masyarakat luas. Dalam politik elektoral, rent seeking sering menjadi alat bagi kandidat atau partai politik untuk memperoleh dukungan melalui cara-cara yang tidak sepenuhnya demokratis. 

Bureaucrats are also individual self-seekers. Generally their self interest is to maximise their own economics welfare, but it can also be that of enhancing their power of benefiting their own village or ethnic group or such some goal (Grindle, 1989: 19) 

Pendapat Grindle diatas menegaskan bahwa perspektif ekonomi dan politik telah membantu memahami, menganalisis, dan menjelaskan perilaku pejabat negara, baik pusat maupun daerah, dalam proses pengambilan kebijaksanaan publik dan tahapan implementasinya. Perspektif ini berguna untuk memahami berbagai masalah dasar pembangunan, termasuk prevalensi tindak pidana korupsi yang membelenggu sebagian besar negara-negara, terutama negara-negara yang sedang membangun, seperti Indonesia.  

2. Rent Seeking dalam Praktik Politik Elektoral di Indonesia

Rent seeking dalam konteks politik elektoral Indonesia mencerminkan bagaimana elite politik memanfaatkan sumber daya publik untuk mempertahankan atau memperluas kekuasaan. Praktik ini sering terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk penggunaan dana publik, kolusi dengan pengusaha besar, serta politik uang. Dalam banyak kasus, rent seeking dilakukan secara sistemik dengan memanfaatkan kelemahan dalam regulasi dan pengawasan pemilu. Meliputi:

  • Penggunaan Dana Publik untuk Kepentingan Kampanye Pejabat petahana sering kali memanfaatkan anggaran negara atau daerah untuk program-program populis, seperti bantuan langsung tunai atau pembangunan infrastruktur yang dipercepat menjelang pemilu. Contoh nyata adalah percepatan pembangunan jalan dan distribusi bantuan sosial pada masa kampanye Pilpres 2019, yang oleh beberapa pihak dianggap sebagai bentuk politik transaksional.

  • Praktik Money Politics Praktik ini melibatkan pemberian uang atau barang kepada pemilih sebagai imbalan langsung atas dukungan politik. Fenomena ini marak terjadi pada Pilkada 2020, di mana banyak kandidat memberikan insentif material kepada pemilih di daerah-daerah terpencil dengan alasan mendekatkan diri kepada masyarakat. Kita mungkin sudah akrab dengan istilah "broker politik". Istilah ini mengacu pada situasi di mana partai politik atau elite politik memperoleh keuntungan finansial dengan memberikan dukungan politik kepada seorang tokoh dalam pilkada atau pemilu atau dengan mendukung birokrat tertentu untuk menduduki jabatan puncak birokrasi. Termasuk diantaranya mempengaruhi keputusan politik dalam bentuk pasal-pasal kebijakan politik yang dirancang untuk menguntungkan kelompok tertentu. Ini adalah prosedur yang dilakukan oleh broker politik yang dikenal sebagai permintaan rental.  Pejabat publik yang melakukan rent seeking juga akan muncul sebagai hasil dari proses politik yang sarat dengan pencarian uang tersebut. Sebab, ketika seseorang menjadi pejabat publik, mereka pasti akan menggunakan posisi mereka untuk keuntungan dan kepentingan pribadi mereka sendiri. Jabatannya itu digunakan untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya, selain menutup biaya politik. 

  • Kolusi dengan Oligarki Ekonomi Kandidat sering mendapatkan dukungan finansial dari pengusaha besar yang berharap memperoleh akses ke proyek-proyek pemerintah atau monopoli ekonomi. Misalnya, keterlibatan taipan dalam mendanai kampanye calon gubernur di Jakarta pada 2017 menunjukkan bagaimana rent seeking dapat terjalin erat antara politik dan ekonomi.

3. Studi Kasus: Rent Seeking dalam Pilkada 2024

Pilkada 2024 memberikan gambaran terkini tentang bagaimana rent seeking digunakan sebagai media politik elektoral. Di Batam, misalnya, beberapa kandidat diduga memanfaatkan hubungan dekat dengan pengusaha lokal untuk mendanai kampanye mereka. Selain itu, program populis seperti subsidi pendidikan dan kesehatan diumumkan secara besar-besaran meskipun tidak memiliki anggaran yang jelas. Hal ini menunjukkan bahwa rent seeking masih menjadi strategi yang efektif untuk menarik simpati pemilih. Fenomena lain terlihat di Jawa Tengah, di mana beberapa calon bupati menggunakan anggaran daerah untuk proyek-proyek infrastruktur yang diluncurkan mendekati masa kampanye. Meskipun proyek-proyek ini membawa manfaat langsung bagi masyarakat, motif politis di balik peluncurannya menimbulkan pertanyaan mengenai integritas proses demokrasi.

Fenomena politik uang juga tetap marak, terutama di daerah dengan tingkat partisipasi pemilih yang rendah. Di beberapa wilayah, kandidat menyasar komunitas-komunitas kecil dengan memberikan bantuan langsung, seperti subsidi bahan pokok atau uang tunai, dengan imbalan suara. Praktik ini menciptakan ketergantungan yang berkelanjutan antara kandidat dan pemilih, merusak esensi demokrasi yang seharusnya didasarkan pada kebijakan dan visi.

4. Dampak Rent Seeking terhadap Demokrasi dan Pembangunan Ekonomi

Rent seeking memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas demokrasi dan pembangunan ekonomi. Beberapa dampak tersebut meliputi:

  • Merusak Kualitas Demokrasi Praktik rent seeking menciptakan ketimpangan dalam kompetisi politik, di mana aktor yang memiliki akses ke sumber daya lebih besar cenderung mendominasi. Hal ini mengurangi peluang bagi kandidat-kandidat yang lebih kompeten namun tidak memiliki dukungan finansial yang memadai.

  • Inefisiensi Ekonomi Kebijakan yang lahir dari praktik rent seeking sering kali tidak didasarkan pada kebutuhan masyarakat luas, melainkan pada kepentingan kelompok tertentu. Akibatnya, alokasi sumber daya menjadi tidak efisien dan merugikan pembangunan jangka panjang.

  • Memperparah Ketimpangan Sosial Rent seeking memperburuk kesenjangan sosial karena sumber daya ekonomi lebih terkonsentrasi pada kelompok elit yang memiliki akses ke kebijakan. Hal ini menghambat upaya menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil.

Penutup

Rent seeking sebagai media politik elektoral merupakan tantangan besar bagi demokrasi dan pembangunan di Indonesia. Praktik ini tidak hanya merusak integritas proses politik, tetapi juga menghambat pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi institusional yang mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara serta pelaksanaan pemilu.

Selain itu, penguatan pendidikan politik bagi masyarakat menjadi kunci untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya demokrasi yang bersih dan berkeadilan. Masyarakat yang kritis terhadap praktik rent seeking dapat menjadi penggerak perubahan menuju sistem politik yang lebih transparan dan bertanggung jawab. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan Indonesia dapat membangun demokrasi yang lebih kokoh dan berkontribusi pada kesejahteraan seluruh rakyat.

Referensi

Krueger, A. O. (1974). The Political Economy of the Rent-Seeking Society. The American Economic Review, 64(3), 291-303.

Tullock, G. (1967). The Welfare Costs of Tariffs, Monopolies, and Theft. Economic Inquiry, 5(3), 224-232.

Aspinall, E., & Sukmajati, M. (2016). Electoral Dynamics in Indonesia: Money Politics, Patronage, and Clientelism at the Grassroots. NUS Press.

Sobari, W. (2018). Emerging Local Politics in Indonesia: Patronage-Driven Democracy in the Post-Soeharto Era. Springer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun