"Pagi ini, kalian lepas sepatu kalian!. Bawa buku catatan dan alat tulis kalian, kita pergi ke sawah!."
 Raut kebingungan muncul dari setiap wajah murid-muridku. Tapi tersirat keceriaan dalam senyuman mereka. Pagi itu sembilan orang turun ke sawah ikut menanam padi. Canda tawa tak lepas dari mereka, tak hanya mereka, ibu-ibu buruh tanipun ikut merasakan keceriaan pagi itu. Naiknya sang surya diatas kepala tak terasa bagi anak-anakku, mereka fokus dengan apa yang mereka kerjakan.Â
Ada yang membantu menanam padi, ada yang hanya bermain lumpur, bahkan bermain sungai kecil di pinggiran sawah. Sengaja aku tak melarang mereka melakukan hal yang mereka mau, membiarkan mereka lepas dari kakunya kehidupan di dalam kelas. Mengekspresikan setiap jiwa kekanak-kanakannya yang pada dasarnya bermain adalah hal utama dalam hidup mereka.
Susah memang menyuruh mereka berhenti bermain dan diganti dengan belajar, tapi bagiku membalik analoginya akan lebih menyenangkan. Bagaimana merubah bermain itu menjadi belajar, atau belajar dari setiap kegiatan permainan mereka.Â
Dengan cara tersebut aku yakin pembelajaran akan lebih tertanam dalam memori mereka. Pembelajaran yang semula pasif di dalam kelas menjadi pembelajaran aktif di luar kelas, gaduh mungkin ketika di awal tetapi akan dapat terkendali dengan baik ketika semua bisa bekerja sama.Â
Meruntuhkan sekat pembatas antara guru dan murid yang selama ini terbentuk karena guru hanya menjadi pemimpin belajar di depan kelas. Itulah makna belajar yang aku pahami dan menjadi PR besar bagiku untuk merubah paradigma tersebut.
 Seperti pagi itu, di balik kegembiraan murid-muridku secara tidak langsung mereka belajar banyak hal bermakna yang kelak akan berguna bagi kehidupan mereka. Murid-muridku sekarang tahu dengan tangan dan mata mereka sendiri bagaimana manusia memanfaatkan sumber daya alam, bagaimana manusia bergotong royong untuk tujuan yang sama, tahu apa yang harus dan apa yang tidak harus mereka lakukan terhadap alam.Â
Dengan melakukan dan melihatnya sendiri maka kegiatan tersebut akan terpatri dalam memori mereka dengan sangat baik. Belajar tidak hanya dalam kelas, apapun yang murid-muridku lakukan hakikatnya adalah proses belajar.
 Setelah matahari tepat di atas kepala, aku mengajak murid-muridku membersihkan badan. Masih di antara pematang sawah itu aku menyuruh mereka untuk mencatat setiap benda, mencatat setiap kegiatan, mencatat setiap orang yang mereka temui dengan perannya masing-masing, mencatat hal-hal baik, mencatat hal-hal yang kurang baik.Â
Catatan itu lah yang akan menjadi penguat konsep pengetahuan mereka tentang pemanfaatan sumber daya alam, tentang berbagai pekerjaan, tentang bagaimana sebuah sistem pasar, tentang keutamaan kebaikan. Dalam perjalan kembali ke kelas, seorang muridku berkata.
 "Besok belajar apa lagi Pak?".Â