Aku berada pada posisi ini bukan karena caraku sendiri, inilah cara Tuhan. Cara Tuhan menyadarkan aku betapa banyak waktu yang sudah terbuang sia-sia, banyak doa dari orang-orang terkasihku yang telah aku kesampingkan demi kesempurnaan angan-angan, banyak kasih sayang yang telah aku singkirkan menjauh dari nurani.Â
Bak pepatah Jawa ketiban sampur[2] aku menjadi seorang Aparatur Sipil Negara disumpah di bawah Al-Quran dan Bendera Merah Putih untuk menjadi Abdi Negara.Â
Mungkin salah satu doa Bapak di setiap akhir sholatnya terkabul. Aku menjadi generasi ke-3 dari silsilah keluarga yang menjadi seorang guru. Menjadi guru mungkin bukan cita-citaku, bukan menjadi misi utamaku setelah lulus kuliah. Kuliah yang dulunya hanya bermodalkan nyawa karena sedikit terpaksa.
 Kini setelah luruhnya idealismeku, aku rasa menjadi seorang guru adalah sebuah panggilan jiwa. Bermodalkan keteguhan hati aku siap menjadi seorang guru, walaupun semua harus aku mulai dari 0. Ruang kelas 4 lah yang menjadi saksi seorang lulusan PGSD, lulus 6 tahun yang lalu untuk pertama kalinya kembali menginjakkan kaki di depan kelas.
Empat anak laki-laki, empat anak perempuan menatap penuh percaya kepadaku dari bangkunya. Sempat timbul keraguan dalam hati, mampukah aku dengan segala ketidak sempurnaan ini untuk menjadi seorang guru. Lalu terlintas dalam pikiran sebuah kalimat hasil obrolan di teras rumah bersama Bapakku suatu sore.
 "Yang paling hebat bagi seorang guru adalah mendidik, dan rekreasi yang paling indah adalah mengajar."
 Kutipan KH. Maimoen Zubair yang disampaikan Bapak sore itu seketika memicu besarnya niat pengabdian, inilah perjalanan berikutnya yang harus aku lalui, jangan pernah merasa takut ketika sudah memilih sebuah keputusan. Mungkin ini pekerjaan terakhir yang Tuhan anugerahkan kepadaku, pekerjaan yang telah sekian lama ditunda oleh Tuhan. Inilah waktu yang tepat, show must go on.
 Pagi itu setelah kulewati hari-hari penuh pengalaman mengajar, aku merasa ada yang mengganjal dalam hati. Ada kepingan yang hilang dalam kelasku. Ini bukan caraku, ini bukan gayaku.Â
Aku bukan seorang orator ulung bak Ir. Soekarno yang mampu menyihir pendengarnya ketika berpidato, tentu akan sulit bagiku menjelaskan materi kepada muridku dengan lantang dan berapi-api di depan kelas, aku bukan pula seorang kutu buku bak Mohammad Hatta yang rajin membuka setiap lembaran buku, jadi bagaimana mungkin seorang yang bukan kutu buku menyuruh anak-anaknya untuk menjadi kutu buku.Â
Aku harus mencari cara lain untuk merubah paradigma pengajaranku, mencari cara pengajaran sesuai dengan gayaku. Ketika berangkat sekolah pagi itu, kulalui sebuah hamparan sawah yang siap ditanami.Â
Dalam perjalanan aku berpikir, mungkin menyenangkan ketika aku mengajak muridku turun ke sawah. Sesampainya di sekolah, lonceng pertanda masuk kelas berbunyi. Tanpa basa-basi pagi itu aku mengajak muridku mencoba hal baru dalam kegiatan pembelajaran mereka.