HANCA[1]
Â
Berseragam warna jerami padi yang mengering lengkap dengan papan nama dan lencana KORPRI di dada kiri.
Tepat di depan kaca itu, aku memandang diriku berdiri tegap tidak terlalu gagah memang karena posturku yang tinggi kurus ini. Bisa dibilang ini adalah seragam ter-rapiku setelah lulus dari bangku perkuliahan.Â
Mundur 6 tahun yang lalu, tak pernah serapi ini seragam kerjaku lengkap dengan sepatu pantofel mengkilapnya.Â
Enam tahun yang lalu seragam andalanku hanya kaos oblong, yang mendekati rapi hanya batik itupun dengan sepatu sneaker yang alasnya sudah mulai aus terkikis oleh kerasnya jalanan, entah telah melangkah berapa puluh juta kali menemani perjalanan kehidupanku. Dari wujudnya sudah mampu menjadi bukti betapa kerasnya kisahku. Pekerja kantoran sampai blusukan pasar pernah aku rasakan.
Berjumpa dengan juragan-juragan yang uangnya tak habis tujuh turunan, hingga para pedagang warungan yang keuntungannya hanya cukup untuk makan atau bahkan menemani cerita kaum-kaum marjinal dengan beribu keluh kesah kehidupan yang menjadi renunganku tentang arti bersyukur setiap harinya sampai saat ini.
Ya, aku pernah menjadi seorang marketing, menjadi orang yang menawarkan produk ke setiap warung, pernah menjadi pendamping sosial untuk keluarga-keluarga yang kurang beruntung walaupun mungkin aku sendiri juga butuh pendampingan konseling karena seorang dengan ijazah PGSDnya tetapi bekerja di luar nalar ijazahnya. Aku rasa itulah 6 tahun yang penuh kisah yang patut aku tempatkan dalam folder tersendiri di otakku.
 Kembali ke rapinya seragam pagi ini. Seragam ini yang akan mengubah pandanganku dari seorang yang idealis menjadi seorang yang rasionalis. Perubahan itu tak terlepas dari peran orang-orang yang ada di sekitarku. Bukan otak dan hatiku yang terlalu mudah merubah prinsip, tetapi aku sudah melihat begitu banyak perspektif dalam kehidupan. Enam tahun cukup bagiku menggali siapakah aku yang sebenarnya.Â
Sudah saatnya aku mengikuti rasionalitasku dan mengalahkan ego idelaisme yang selama ini menggerogoti pemikiranku. Ini adalah kesempatan pertama dan mungkin kesempatan terakhirku yang tidak mungkin bisa aku ulangi kelak. Menjadi seorang ASN melalui jalan keberuntungan (menurutku), karena diluar sana tidak sedikit orang yang mendambakan posisiku saat ini.Â
Bahkan mereka rela melakukan berbagai cara untuk bisa sampai pada posisiku saat ini. Dan bagi beberapa orang mungkin menganggap aku juga menghalalkan berbagai cara demi posisi ini, karena mereka tahu betapa idealismenya aku tentang masa depanku yang tak pernah memikirkan tentang seragam berwarna khaki ini.