"Selamat Hari Guru Ibu Tin."
Saya bersyukur terlahir dari rahim seorang malaikat tak bersayap. Ibu Tin, itulah nama guru pertama saya di dunia. Beliau yang melahirkan dan menyekolahkan saya dengan logika, estetika, dan etika.
Sejatinya beliau saat ini sudah menjadi kepala sekolah. Dengan jabatan Guru Madya dan pengalamannya sebagai wakil kepala selama lebih dari dua puluh tahun, Ibu Tin sudah bisa naik menjadi kepala. Namun, beliau lebih memilih fokus kepada keluarga dan menjadi guru biasa.
Meski terlahir sebagai anak eksakta, saya diberi kebebasan untuk memilih jalan hidup sendiri. Kecintaan pada sastra sejak usia dini, membuat saya kini menjadi guru sastra dan hobi menulis. Beliau tidak marah apalagi kecewa. Yang penting anaknya bahagia.
Masuk ke dunia sastra, khususnya pendidikan sastra Indonesia, tidak membuat saya melupakan pelajaran matematika dari Ibu Tin. Bahkan, saya punya ragam julukan untuk beliau. Berikut panggilan sayang kepada sang ibu, sekolah pertama saya.
1. Guru Aritmatika
Ibu Tin yang pertama kali mengajarkan saya tentang penjumlahan, pengurangan, perkalian, hingga pembagian. Apalah artinya keindahan sebuah puisi bila saya tak bisa memahami ilmu aritmatika. Bersyukur saya bisa mengimplementasikan aritmatika dalam kehidupan sehari-hari.
2. Guru Logika
Salah satu cabang filsafat pertama yang saya pelajari di dunia. Ibu dengan sabar mengajarkan tentang logika khususnya dalam matematika. Bahkan, hingga detik ini saya masih belajar hakikat sebuah logika matematika.
3. Guru Aljabar
Saya belajar kritis dari sebuah aljabar yang diajarkan Ibu Tin. Ketika harus mencari sebuah variabel yang tidak diketahui, maka ibu mengajarkan untuk menggunakan pemecahan masalah dengan penalaran yang dianalogikan sebagai angka. x - 63 = 28 adalah contoh sederhana dari aljabar kehidupan.
4. Guru Geometri Dimensi Dua
Dalam geometri, saya menemukan sebuah seni dalam menulis novel "Kisah Gaib Sang Guru". Tulisan itu lahir dari sebuah garis yang membentuk sebuah segmen segitiga yang tak terputus. Ibu Tin terus menyemangati untuk konsisten membuat tiga titik sudut dan mengukurnya dengan logika. "Meski, tetap saja tulisan horor kurang disukai oleh pembaca mainstream."
5. Guru Geometri Koordinat
Belajar geometri, berarti bersinggungan dengan Descartes. Kata Ibu Tin "Cogito, Ergo sum/aku berpikir maka aku ada " merupakan hasil pemikiran dari Descartes, penemu koordinat Kartesius dalam bidang geometri koordinat/analisis. Dalam pengembangannya, saya sedang mencari di mana letak koordinat kesuksesan tulisanku berlabuh.
6. Guru Trigonometri
Masih ingat ketika ibu menjelaskan tentang sinus, cosinus, tangen, secan, cosecan, dan cotangen. Dalam kehidupan sehari-hari, saya sering mengukur usaha sendiri dengan konsep segitiga. Apakah usaha tersebut telah bermanfaat untuk diri sendiri, kosmos, dan berlandaskan Tuhan?
7. Guru Geometri Dimesi Tiga
"Coba ukur bangun ruang tersebut," ucap Ibu Tin. Dengan geometri dimensi tiga, saya belajar tentang gagasan abstrak yang ada di benak atau pikiran orang. Setiap ruang (panjang, lebar, dan tinggi) harus diisi agar tidak kosong. Termasuk ruang di hati kita.
8. Guru Matriks
Ibu Tin menyampaikan bahwa matriks mempelajari tentang teknik penyusunan bilangan, simbol atau unsur numerik lainnya. Sebenarnya, dalam dunia sastra, ada juga istilah matriks. Matriks digambarkan berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat, atau kalimat sederhana dalam sebuah karya sastra.
9. Guru Vektor dan Transformasi Geometri
Kata beliau, vektor adalah besaran yang memiliki besar dan arah. Kalau transformasi geometri berhubungan dengan perubahan kedudukan dari titik awal ke posisi baru. Ada empat yang saya Ibu Tin sampaikan, yaitu translasi, refleksi, rotasi, dan dilatasi.
10 Guru Peluang dan Statistika
Inilah julukan terakhir untuk sang ibu. Kalau statistika sampai sekarang tidak bisa terpisahkan dari pekerjaan saya sebagai guru. Sementara itu, peluang digunakan untuk senang-senang saja, seperti bermain melakukan transfer pemain dalam gim Football Manager.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah puisi untuk Ibu Tin tercinta.
"Ibu"
Malaikat tak bersayap itu bernama Ibu Tin yang mencintai sebuah angka. Baginya, anak adalah titipan Tuhan yang  perlu disekolahkan dalam secercah asa. Ketika hujan membasahi kertas berisi geometri, ia menghiburku dengan logika.
Malaikat berwajah manusia itu bernama Ibu Tin yang menguasai aritmatika dan statistika. Ia percaya bahwa matematika adalah bahasa paling universal di dunia. Mungkin saja bisa menjadi jembatan perdamaian antar bangsa-bangsa.
Malaikat tak sempurna itu bernama Ibu Tin yang gupuh ketika anaknya berduka. Aku takkan bisa membalas jutaan jasanya. Hanya doa selalu teriring dalam setiap napas yang tercipta.
Ibu, kaulah segalanya.
Penulis: Yoga Prasetya, putra sulungnya.
Malang, 27 November 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI