Sebuah prolog KGSGÂ
Asap putih muncul dari gerbang tak kasatmata di pojok ruang kepala sekolah. Pras dan Pak Marjono kaget melihat asap yang mengepul lalu menjadi sosok mantan seorang guru. Pak Arif, guru yang wafat di tahun 2017.
Pras menelan ludah. Ia tak menyangka akan bertemu kembali dengan orang yang berjasa membawanya ke sekolah ini sebagai guru honorer. Ada rasa bersalah karena saat pemakaman Pak Arif, Pras tak bisa hadir lantaran sedang mendampingi muridnya lomba di Tangerang.Â
Perkenalan antara Pras dan Pak Arif diawali sejak masa kuliah. Pras menjadi anak kos di rumah Pak Arif. Hingga lulus kuliah, ia tidak pernah pindah. Saat ada lowongan guru musik di sekolah, maka Pak Arif langsung merekomendasikan Pras.Â
***
Pak Arif menatap wajah Pras dengan tatapan dingin. Ia tak terlalu peduli dengan Pak Mar dan makhluk-makhluk lain di ruang kepala sekolah. Sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikan Pak Arif kepada Pras.
Mendekat, Pras mencoba mendekati arwah Pak Arif. Bulu kuduknya berdiri dengan keringat basah di tangannya. Semakin ia mendekat, semakin dingin tubuhnya. Napasnya taklagi beraturan.
"Pras, kuatkan mentalmu!"
Sontak suara geram Pak Arif mengagetkan Pras. Beliau semasa hidup memang terkenal disiplin dan tegas. Itulah yang membuatnya tak terlalu disukai para guru dan murid yang malas.
"Ma...Maafkan saya Pak," Pras mencoba berdiri tegap tapi kakinya bergetar tak seimbang.
"Aku datang untuk menyemangatimu. Kau yang sekarang bukan seperti dulu. Tuhan memilihmu untuk suatu tujuan," ucap Pak Arif yang kini mulai menatap Pak Mar, sang kepala sekolah yang sejak kecil sudah bisa melihat makhluk tak kasatmata.
Tak hanya Pak Mar, setidaknya ada tiga makhluk lain yang ia tatap. Ayu, seorang peri dari lukisan di dinding UKS. Laras, kuntilanak merah yang bersembunyi di balik pintu kamar mandi ruang kepala sekolah. Terakhir, jin lelaki berpakaian Madura dengan celurit di tangannya tak luput dari pandangan Pak Arif.
"Banyak di antara manusia yang takut pada jin. Padahal sebenarnya manusia lebih menakutkan sifatnya dibandingkan jin. Ada juga yang melupakan hal gaib, sehingga ia bertindak semaunya. Tak lagi menghormati adat dan merusak alam, bahkan mengingkari keberadaan Tuhan," lanjutnya.
Pak Arif memang tak berubah. Meski Pras dan Pak Mar tahu bahwa yang hadir saat ini hanya qorin atau jin bawaan semasa hidup Pak Arif. Namun, auranya sama bahkan lebih kuat karakternya.
Tok tok tok
Seseorang mengetuk pintu dari luar ruang kepala sekolah. Sepertinya, Mbak Hennie, petugas resepsionis sekolah yang mengetuk pintu. Pak Mar langsung menuju pintu dan meninggalkan Pras di ruang tersebut.
"Pras, ingat selalu pesanku!" Pak Arif diam dengan wajah tanpa senyum.
"Takutlah hanya kepada Tuhan. Bukan kepada manusia, jin, setan, dan sejenisnya. Minta tolonglah hanya pada-Nya. Bukan kepada makhluk termasuk sosok yang kau anggap sakti. Kau akan menjadi penghubung di antara dua dunia. Sebagian manusia dan jin akan berusaha membunuhmu, sebagian lagi akan melindungimu, dan sebagian lagi tidak akan peduli kepadamu."
Asap itu kemudian perlahan menghilang masuk kembali menuju gerbang. Pras terlihat meneteskan air mata. Rindunya pada Pak Arif belumlah selesai. Apakah ia bisa mengemban amanah yang begitu berat ini? Siapakah yang akan menjadi musuhnya dan sosok apa yang akan melindunginya? Bagaimana cara menghadapi orang yang apatis terhadap dirinya?
Pertanyaan itu masih terus berputar dalam otaknya. Sementara itu, Ayu menatap tajam pada Laras yang mulai menampakkan sebagian wajah berdarahnya di kamar mandi. Sang jin Sakera entah kemana, ia tak terlihat lagi.
Penulis: Yoga Prasetya, guru dan pujangga.
Novel ini berawal dari 2 artikel non-fiksi yang ditulis Yoga untuk kompasiana, berjudul:Â
1. Catatan Seorang Guru tentang Makhluk Tak Kasatmata
2. 10 Makhluk Tak Kasatmata di Lingkungan SekolahÂ
Kemudian, berlanjut dengan 5 artikel fiksi Yoga yang berjudul:
3. Lukisan Perempuan di UKS Sekolah
4. Lukisan Perempuan di UKS Sekolah 2 (puisi)
5. Pras dan Ayu: Lukisan Perempuan di UKS Sekolah 3Â
6. Kencan Kuntilanak MerahÂ
7. Peristiwa Gaib di Ruang Kepala Sekolah
Terakhir, berupa artikel di rubrik film yang berjudul:
8. Mimpi Membuat Film Horor EdukatifÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H