"Ada apa gerangan Pak Kepsek memanggilku?" tanya Pras dalam hati.Â
Empat tahun menjadi guru musik honorer di sekolah ini tak membuatnya lantas banyak berkomunikasi dengan Pak Marjono, sang kepala sekolah. Mungkin karena Pras hanya sekadar guru honorer yang masa depannya belumlah jelas. Namun, Pras beruntung masih diberi kepercayaan menjadi pendamping para siswa ketika ada kegiatan ekskul atau lomba di luar sekolah.
Hal itulah yang membuat Pras langsung bergegas memenuhi panggilan Pak Mar. Kebetulan hari ini Pras tidak ada jam mengajar pagi. Jadi, ia segera menemui Pak Mar di ruang kepala.Â
"Mbak Hennie, Par Mar ada di ruangan?" Tanya Pras pada resepsionis sekolah yang letaknya tepat di samping pintu ruang kepala.Â
"Oh, iya Pak Pras. Silakan masuk, sudah ditunggu Pak Mar," jawab Mbak Hennie dengan senyumnya yang ramah.Â
Deg.Â
"Sudah ditunggu? Apa aku membuat kesalahan kepada Pak Mar? Apakah ini ada hubungannya dengan laporan kinerjaku yang kurang sempurna? Apakah ini tahun terakhirku mengajar di sekolah ini?" Hatinya menerka ada apa gerangan dipanggil kepala sekolah.Â
Namun, ia mencoba berpikir positif. Meski langkah kakinya tampak ragu. Pintu ruang kepala sekolah yang sedari tadi terbuka membuat Pras bisa melihat Pak Mar yang sedang duduk sembari menandatangani laporan-laporan kinerja milik para guru.Â
"Oh, Pak Pras. Silakan masuk dan tutup pintunya," suruh kepala sekolah. "Silakan duduk," lanjut Pak Mar.Â
Suasana yang awalnya hangat tiba-tiba menjadi dingin. Ini bukan kali pertama bagi Pras. Pertemuannya dengan Ayu dan Laras memang seperti ini rasanya.Â