Siapa yang tak kenal kota Jakarta?, Ibu Kota Negara Indonesia tercinta ini. Kota metropolitan ini sepertinya begitu menarik di benak-benak warga daerah di luar Jakarta, sampai-sampai penghuninya terus bertambah, dimana warga pendatang menjadi mayoritas daripada warga asli yang lahir dan besar di kota ini. Beberapa gubernur yang pernah menduduki kursi DKI 1 pun selalu berpesan setiap mau menjelang lebaran.
Inti dari isi pesan itu adalah jangan datang ke Jakarta kalau tidak punya modal atau keterampilan apa-apa. Hal ini sangatlah wajar Beliau khawatir mereka yang hanya membawa badan datang kesini bisa mendatagkan masalah-masalah sosial yang sudah semakin mengakar di Jakarta ini. Kepadatan kota semakin menjadi ketika kaum pendatang yang kemudian menetap di sini ditambah dengan warga yang berdomisili di Jabodetabek namun berkantor atau bekerja di Jakarta. Latar belakang itulah yang mungkin menuntut tersedianya sarana transportasi yang memadai di kota ini.
Jika kita lihat saat ini banyak sekali transportasi massa yang disediakan pemerintah maupun swasta, akan tetapi rasanya belum bisa mengurai kemacetan di Jakarta. Entah apa yang salah dengan kota ini, namun yang dapat kita lihat adalah ketidakmampuan sarana transportasi tersebut untuk menampung warga ibukota yang bermobilitas tinggi. Sebenarnya masyarakat sudah mau untuk menggunakan transportasi publik, ini dapat kita lihat dari berjubelnya Trans Jakarta dan KRL terutama pada jam-jam kerja. Begitu pula ketika akhir pekan.
Tak jarang para penumpang ini rela menunggu puluhan menit di halte Trans Jakarta atau di stasiun KRL karena telah terlanjur mengantri. Lamanya waktu tunggu ini jelas mengindikasikan bahwa Busway dan KRL yang tersedia tidak dapat mengimbangi banyaknya warga yang ingin menggunakan sarana trasportasi tersebut. Mengapa Trans Jakarta dan KRL?, ya karena 2 moda transportasi ini terbilang murah dan cukup nyaman jika mengabaikan waktu tunggu yang lama dan perjuangan ketika berdesak-desakan di dalam angkutan ini jika penumpang sedang membludak di jam-jam sibuk. Bagaimana dengan moda transportasi yang lain seperti taksi, bajaj, atau bis umum seperti metromini dan kopaja?
Jujur saya sendiri jarang menggunakannya jika tidak terpaksa, kalau taksi jelas mahal apabila naik sendirian, jadi jika tidak mengejar waktu saya tidak akan naik taksi. Jika menggunakan bajaj menurut saya mahal juga, sopir bajaj suka mematok harga sesukanya sendiri menurut saya, bahkan seharga ongkos naik taksi. Jadi daripada naik bajaj mendingan naik taksi sekalian menurut saya.
Berikutnya adalah bus umum atau angkot, saya juga jarang menggunakan angkutan ini karena sering berhenti (ngetem), kurang nyaman karena banyak armada yang sudah tidak layak jalan, jika terjebak kemacetan akan susah bergerak karena ukurannya yang cukup besar dari kendaraan lain, sopir banyak yang ugal-ugalan, banyak pengamen dan pedagang asongan serta karena alasan keamanan terutama bagi wanita.
Melihat kenyataan ini wajar saja jika banyak masyarakat yang kembali beralih ke sepeda motor atau mobil pribadinya, karena dengan kendaraan pribadi setidaknya mereka dapat mengeliminasi beberapa risiko yang dapat terjadi ketika mereka naik angkutan umum.
Begitu seriusnya masalah transportasi di Jakarta ini, maka pemerintah rela merogoh anggaran dalam-dalam untuk membangun proyek infrastruktur transportasi. Saat ini di Jakarta sedang dibangun 2 proyek besar yaitu Mass Rapid Transit yang rencananya akan membentang dari Kampung Bandan sampai ke Lebak Bulus dan Fly Over Busway yang rencananya membentang dari Tendean-Blok M-Ciledug. Sedangkan wacana proyek monorel mangkrak begitu saja karena dinilai tidak layak untuk dilanjutkan, tiang-tiang berupa besi yang dicor beton di daerah Kuningan-Senayan menjadi saksi bisu kegagalan proyek ini.
Kembali lagi ke MRT dan Flyover yang sedang dibangun saat ini, dapat kita lihat bahwa proyek ini adalah proyek yang komplek sekali. Sampai-sampai sering memakan badan jalan dan menimbulkan sumber kemacetan baru di titik-titik pembangunannya. Begitu pula pemindahan utilitas seperti kabel telepon dan kabel listrik bawah tanah yang dipindah karena terkena imbas proyek ini. Banyak lubang-lubang yang sedang digali dan ditutup dengan seng yang memakan badan jalan. Di tengah semua masalah transportasi dan kemacetan di Jakarta ini kemudian muncul ide baru yang sejalan dengan pesatnya perkembangan teknologi saat ini.
Ide baru tersebut adalah ojek yang berbasis aplikasi di smartphone atau sering disebut ojek online. Setahu saya ada 2 perusahaan yang bergerak di bidang ini, yaitu Gojek dan Grab Bike. Ojek online ini seakan menjawab keputusasaan masyarakat Ibu Kota dengan transportasi yang ada saat ini. Jika ojek konvensional sering kali mematok tarif yang mahal, maka ojek online ini mematok besaran tarif yang jelas ditambah dengan promo-promo tertentu yang membuat pelanggannya semakin tertarik.
Begitu besarnya animo masyarakat terhadap ojek online ini sehingga berita mengenai ojek online seringkali menghiasi headline media. Mulai dari para tukang ojek konvensional yang merasa kalah saing dan tidak suka dengan adanya ojek online ini sampai pendapatan yang menggiurkan ketika seseorang memutuskan untuk bergabung dengan perusahaan ojek online.
Menurut saya wajar jika para tukang ojek konvensional yang tidak mau bergabung merasa resah, karena jika kita lihat di jalanan saat ini didominiasi oleh ojek-ojek online yang sedang mengantarkan pelanggannya dengan memakai atribut khas perusahaan ojek online. Biasanya tukang ojek konvensional yang enggan bergabung ini adalah tukang ojek yang tidak mau berurusan dengan teknologi. Mereka merasa “ribet” jika harus belajar menggunakan smartphone dalam mencari pelanggan. Padahal jika dipikir-pikir dengan teknologi tersebut waktu mereka untuk mangkal bisa digunakan untuk kegiatan lain semisal mengurus keluarga, karena mereka hanya berangkat mengantarkan pelanggan jika ada order.
Selain itu penghasilan mereka juga akan terbantu karena kabarnya penghasilan tukang ojek online ini cukup besar, bahkan ada beberapa pekerja kantoran atau mahasiswa yang rela menjadikan ojek online sebagai pekerjaan sampingan, yang lebih ekstrim lagi ada beberapa dari mereka yang memilih resign dari tempat kerja sebelumnya untuk beralih profesi menjadi tukang ojek online ini.
Sungguh menggiurkan bukan?. Beberapa hari lalu 2 perusahaan ojek online ini menggelar rekrutmen besar-besaran di 2 tempat terpisah dan bisa diperkirakan, antrian orang yang ingin mendaftar mencapai ribuan. Mungkin mereka yang rela mengantri itu dikarenakan biaya hidup yang semakin mahal di Ibu Kota ini. Menurut saya sah-sah saja orang bekerja untuk mencari penghidupan, asalkan pekerjaan itu halal dan yang penting mereka bekerja untuk mencari penghidupan yang layak dan bukan mengejar gaya hidup.
Untuk sementara ini ojek online mungkin sudah cukup untuk menjawab kebutuhan transportasi di Jakarta, akan tetapi dalam jangka panjang diharapkan proyek-proyek infrastruktur transportasi yang dibangun pemerintah dan regulasi terkait transportasi segera diperbaiki lagi sehingga dapat tersedia sarana transportasi yang lebih baik lagi dari sekarang yaitu sarana transportasi yang layak, aman, dan nyaman bagi masyarakat Ibu Kota yang dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan tentunya akan berimbas pada berkurangnya kemacetan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H