Mohon tunggu...
ignatio yoga permana
ignatio yoga permana Mohon Tunggu... Freelancer - FISIP UAJY '17

Semangat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Eksistensi Kejawen di Tengah Era Modern

30 Juli 2020   13:13 Diperbarui: 30 Juli 2020   13:12 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Raden Yulianus Gatot Raditya saat diwawancarai di kediamannya. Foto: Dokpri/ Nathasya.

Pria berusia 57 Tahun tersebut meyakini, orang-orang etnis Jawa yang percaya dengan Kejawen terutama pada Paguyuban Sumarah Purbo memiliki sebuah motivasi intrinsik sebagai faktor yang paling dominan dari penganut dalam menghayati kebatinan yaitu untuk mencari ketenangan batin dan ketentraman hidup dengan cara mengamalkan ajaran-ajaran Sumarah Purbo yang dirasa simple atau mudah dipahami dan sesuai dengan hati mereka.

"Sehingga sebetulnya orang etnis Jawa yang mempercayai Kejawen relatif dapat lebih taat pada Agamanya. Dimana dasar dari ajaran filsafat Kejawen pun memang mendorong umat manusia untuk tetap taat dengan Sang Pencipta atau Tuhannya." Imbuh Gatot.

Gatot melanjutkan keterangannya bahwa sudah sejak dahulu hingga saat ini pun, orang etnis Jawa memang dikenal memiliki sifat yang serupa yaitu legowo, atau menerima segala hal dinamika yang terjadi pada kehidupannya di Dunia. Karena kami sebagai etnis Jawa memiliki pola pikir yang tertanam bahwa segala dinamika tersebut merupakan bagian dari keEsaan Tuhan.

Raden Yulianus Gatot Raditya saat menjelaskan tujuan dari Kejawen. Foto: Dokpri/ Nathasya.               
            googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-ad-712092287234656005-411');});
Raden Yulianus Gatot Raditya saat menjelaskan tujuan dari Kejawen. Foto: Dokpri/ Nathasya. googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-ad-712092287234656005-411');});

"Sebab itulah ajaran Kejawen juga memang lekat kaitannya dengan pola pikir filsuf Jawa, yakni dikenal dengan 'Sangkan Paraning Dumadi'. Sangkan berarti asal muasal, Paraning (paran) artinya tujuan, Dumadi artinya yang menjadikan atau pencipta. Sehingga keseluruhan artinya adalah dari mana manusia berasal dan akan kemana manusia akan kembali." Jelasnya.

Selanjutnya ketika kami menanyakan perihal seperti apa Kejawen dalam prakteknya, Gatot menjawab jika pada ritual peribadatan, berdasarkan apa yang telah dialaminya pada Paguyuban Sumarah Purbo bahwa dalam praktek peribadatan menggunakan alat sebagai media yang disebut sebagai "Meditasi Sumarah".

"Meditasi Sumarah adalah jalan, alat hidup, untuk hidup dan dalam kehidupan, bukan tujuan itu sendiri. Jadi, meditasi diibaratkan suatu alat yang membantu kita menuju ke suatu tempat. Begitu kita sampai di tujuan, maka alat tersebut harus kita lepaskan." Kata Gatot.

Pria kelahiran 1962 tersebut mengatakan, praktek Sumarah tidak mengajarkan isolasi atau menghindari hal-hal duniawi. Sebaliknya, hal itu mengajarkan kita untuk menerima hidup dalam totalitasnya, membenamkan diri di dalamnya untuk baik dan buruk. Sumarah membagi meditasi menjadi dua, yakni meditasi khusus dan harian. Pertama, disebut 'khusus' untuk membedakannya dari kehidupan normal sehari-hari. Ini adalah waktu tertentu di mana kita duduk, santai dan terbuka untuk menerima energi Ilahi. Ini adalah kesempatan untuk latihan dan melepaskan ketegangan dan pikiran. Membiarkan diri kita menyadari perasaan dan melepaskan konsep-konsep yang terlalu sering merupakan kendala bagi pengembangan diri sebenarnya. Tapi meski disebut 'khusus', tetap saja tidak ada aturan baku terhadap meditasi ini. Semua diserahkan kepada masing-masing individu, berapa kali atau berapa lama dalam sehari yang Ia perlu dalam melakukan meditasi.Kedua, meditasi harian adalah upaya mempertahankan meditasi khusus, dengan cara ini manusia belajar melihat kualitas luar biasa disaat-saat biasa dan kualitas biasa disaat-saat yang luar biasa.

Raden Yulianus Gatot Raditya (57) Foto: Dokpri/ Nathasya.
Raden Yulianus Gatot Raditya (57) Foto: Dokpri/ Nathasya.

"Inilah sebabnya mengapa Sumarah menggunakan ungkapan 'rame tapa, mundur bising' dimana sebagai langkah untuk belajar praktek yang benar adalah perdamaian di tengah medan perang dan diam di tengah-tengah hiruk pikuk Dunia." lanjut Gatot.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun