Mohon tunggu...
Yoga Pratama
Yoga Pratama Mohon Tunggu... -

Katakan Hitam Adalah Hitam KATAKAN PUTIH ADALAH PUTIH

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Revolusi Mental atau Meental: Ketika Sosial Media Menjadi Pendoktrin Paling Gila

3 Agustus 2017   13:05 Diperbarui: 3 Agustus 2017   13:08 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lama sekali, catatan ini tidak saya posting. Sungguh, seharusnya dengan segera. Oke baiklah, saya mulai.

Lokasi di Hotel Horison, Bandar Lampung. 26 Juli 2017. Beberapa blogger dan para penggiat sosial media yang ada di Provinsi Lampung dikumpulkan dalam satu ruangan yang digagas Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dan Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Kita semua sudah sama-sama menghafal. Bagaimana selogan revolusi mental di negeri ini. Apakah sudah berjalan dengan baik? Kita akui belum, dan masih dalam butuh waktu yang sangat lama. Untuk itu, semua stake holder itu hadir mengupayakan revolusi mental anak bangsa di negeri ini membaik.

Tapi apa daya. Singkat cerita, kekaguman saya tentang seloga revolusi mental harus diusik. Dalam forum sosialisasi GNRM Melalui Medsos Bersama Pelajar dan Netizen yang saya ikuti ini, mendadak membuat jiwa masa lalu saya kambuh. Sebuah curhatan yang tak pantas disampaikan dikhalayak umum. Ketika dinas mengadu kepada kementrian bahwa anggarannya terbatas dan tidak memiliki banyak anggaran untuk berbuat. Inilah pelajaran revolusi mental yang berubal menjadi revolusi meental. Meental karena anggaran tidak banyak, jadi tidak maksimal dalam presentase pembagian, mana yang prioritas untuk dikerjakan dan dilaksanakan dengan baik dan mana yang bisa jadi bacakan. Negeri saya dengar curhatan semacam itu. Saya kira revolusi mental sudah baik dikalangan dinas-dinas untuk tidak mengeluh ihwal anggaran.

Terlepas dari itu, revolusi mental gagasan Presiden Jokowi memang sedang dalam tahap uji kesabaran untuk tetap teguh bisaa berdiri tegar. Untuk itu SKPD sebaiknya tidak mengeluh. Hadapi seberapapun besaran anggara. Karena masih banyak cara selain curhat anggaran minim untuk tegakan revolusi mental yang digerus luasnya sosial media. Kalau curhat saja, mana bisa membangun di negeri ini. Tapi kalau yang dipikir keuntungan, lain hal.

Saya pun bertanya, dan ungkapkan kesedihan saya saat itu di forum. Berharap, kepala dinas yang sambutan belum pulang, tapi naas, ia pergi lebih dahulu sebelum saya bertanya.

Dalam pertanyaan selain evaluasi curhatan yang menjadikan revolusi mental menjadi meental karena anggaran sehingga tidak maksimal dalam pelaksanaan kegiatan itu adalah hal yang kelasik.

Lalu, saya juga bertanya tentang geliat gilannya sosial media menjadi arena pertarungan politik yang paling keji. Revolusi mental saat ini dihadapkan beberapa kemungkinan, membela yang benar atau membela yang bayar. Sosial media berisi opini yang menyesatkan tanpa fakta dan data yang akurat.

Lantas seperti apa? Di mulai dari diri sendiri. Ya, itu jawaban paling aman yang sering disampaikan dikhalayak umum. Terlebih untuk tidak mudah terprovokasi akan ketidakjelasan kabar berita.

Tapi pejabat di negeri ini saja masih memperlihatkan ketidakbaikan dalam menjalankan revolusi mental. Contoh kecil, kasus Ahok, bagaimana bisa seorang anak kecil menyerukan kalimat bunuh ahok di malam takbir. "Sesat logika saya mendadak tak bisa berpikir."

Sosial media menjadi paling ampuh. Terlepas kebenaran atau tidak, pada akhirnya Ahok tumbang dari DKI Jakarta. Ahok telah tumbang, tapi paparan kebencian yang menjadi musuh revolusi mental masih gentayangan. Seperti hantu yang beredar di sosial media. Kini giliran, Pilpres jadi sasaran.

Eh, di Lampung ikut-ikutan. Sosial media menjadi media paling empuk saling rebut ambisi untuk maju Pilkada Lampung (Pemilihan Gubernur). Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Bukan curhat anggaran tidak dimiliki. Bukan juga mendiamkan kepala daerah saling mengujar kebencian. Bukan saling bertikai. Tapi cobalah sehatkan para pendukungnya. Sosial media di arahkan ke hal yang lebih positif. Lakukan pertemuan dan kampanye sederhana. Gerakan seluruh stake holder yang terkait. Agar Lampung tidak seperti Jakarta yang syarat kebencian dan permusuhan karena Pilkada.

Kominfo bisa bergerak. Meski dengan anggaran yang terbatas. Asal konsisten, terus dibimbing para penggiat sosial di Lampung untuk menjadi buzzer yang baik. Sehingga buzzer-buzzer keji akan tereliminasi sendirinya.

Apakah sosial media masih dijadikan tempat yang paling mudah untuk berseteru, saling tebar fitnah, dan sesatkan pikiran dengan opini terbalik yang tidak bisa dimengerti. Selamatkan Revolusi Mental melalui sosial media harus terus digalakan.

Karena apa? Sosial media teramat dekat saat ini dengan masyarakat. Deklarasi santun tidak hanya untuk para calon kepala daerah, tapi juga para penjilat-penjilatnya. Seharusnya, kominfo dan jajaran lainnya bisa lakukan ini, menggerakan penggiat sosial untuk aksi sehat dalam bersosial media. Termasuk komitmen para calonkada yang hendak mengikuti kontelasi pilkada.

Semoga, ada kelanjutan, selain netizen dan netizen berkumpul, ada juga Kominfo mengajak netizen berkumpul, untuk berpikir bagaimana nasib Lampung kedepan? Apakah akan menjadi daerah yang keras karena persinggungan di sosial media? Sangat menarik untuk ditunggu.

Hastag #ayoberubah dan #netizenlampung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun