Aku enggak tau bagaimana perasaan Retta yang sesungguhnya ketika mendapati dirinya kemungkinan besar mengidap kanker ovarium. Didepan kami dia menunjukkan reaksi seperti menerima semua ini dengan jiwa besar, tidak nampak kecemasan, kesedihan, takut ataupun marah, tapi aku tau persis apa yang dirasakannya pasti sama persis dengan apa yang kakak-kakaknya rasakan, bahkan mungkin lebih.Â
Terus terang, aku dan adikku yang lain tidak siap mendengar penjelasan yang disampaikan oleh dokter yang menangani Retta, sedih dan takut kehilangan begitu menghantui kami, apalagi beberapa bulan sebelumnya kakak kami baru saja meninggal dunia, masih terasa ada bagian yang hilang yang menyisakan rasa sakit yang tidak dapat dijelaskan.
"udah pasti kanker ya Dokter?" begitu pertanyaan yang secara to the point diajukan pada dokter yang menangani kasusnya.
Dokter Nasdaldy menjelaskan bahwa "untuk memastikan apakah benjolan yang ada di perut bagian bawah itu adalah kanker atau bukan, harus melalui pemeriksaan jaringan (patologi anatomi) terlebih dulu, namun dari hasil pemeriksaan yang ada, kemungkinan besar benjolan tersebut adalah kanker", begitu penjelasan yang diberikan oleh dokter dengan sangat hati-hati.
Hasil pemeriksaan yang dimaksud adalah hasil pemeriksaan penanda tumor Ca 125, HE4 dan ROMA (Risk of Ovarian Malignancy Algorithm). Hasil Pemeriksaan Penanda Tumor Retta menunjukkan bahwa Nilai Ca 125: 77,7 U/ml, nilai tersebut lebih tinggi dari nilai rujukan yang < 35;  Nilai HE4 lebih tinggi dari angka rujukannya  (Retta 161,7, rujukannya < 70) dan ROMA: 59,3%.
Retta memang menginginkan jawaban yang tidak  ditutup-tutupi, dia butuh  informasi yang jujur dan sebenar-benarnya.Â
Di ruang konsultasi, dokter menjelaskan secara detail tentang rencana operasi yang akan dilakukan termasuk kemungkinan perlunya pengangkatan rahim dan lain-lain tergantung dari apa yang ditemukan pada saat operasi.Â
Adikku menghendaki agar operasi secepatnya dilakukan, oleh karena itu setelah konsultasi kami langsung mengurus administrasi ke RS Hermina Jatinegara dimana operasi akan dilakukan. Dokter meminta Retta untuk masuk sehari sebelum jadwal operasi guna melakukan pemeriksaan-pemeriksaan untuk persiapan operasi.
Aku berusaha mengetahui bagaimana perasaan dan kesiapannya, Retta menjawab : "Insya Allah Etta siap menjalani semua yang direkomendasikan dokter, dan siap dengan hasil yang terberat yang harus Etta terima" jawabnya ringan dan pada waktu itu aku menguatkannya dengan ucapan yang entah pas atau enggak: "OK, kita hadapi ini sama-sama ya" kataku, sambil tentu saja berupaya untuk  jangan sampai justru aku yang menangis didepannya.
Pada hari yang telah dijadwalkan, Retta masuk ke ruang persiapan operasi. Hanya aku dan Disa yang mengantarnya ke ruang tersebut, adik-adikku yang lain memilih menunggu di kamar karena khawatir tidak mampu membendung air mata dan menyembunyikan cemas dan rasa sedih padahal pada hari-hari sebelumnya kami sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk yang harus kami terima.
"kita harus kuat, gak boleh keliatan sedih di depan Retta" begitu kesepakatan yang kami buat. Retta sendiri justru lebih tegar dan menyampaikan padaku bahwa dia menjadi merasa sedih karena melihat siblingnya sedih. Rupanya meskipun kami bersikap seperti biasa-biasa aja, dia bisa menangkap perasaan kami yang sebenarnya.
Di ruang persiapan operasi, dokter anestesi menjelaskan tindakan pembiusan yang akan dilakukan, dokter tersebut menjelaskan bahwa kemungkinan operasi akan berlangsung lama, kira-kira bisa mencapai 6 jam dan setelah operasi mungkin diperlukan observasi di ruang ICU. Mendengar penjelasan tersebut Retta terdiam dan kemudian menangis. Aku baru sekali ini melihatnya menangis sejak dia melakukan berbagai pemeriksaan untuk menentukan diagnosis sampai dengan kesiapannya menjalani operasi hari ini.
"Etta takut Ma...., doain ya supaya operasinya lancar dan ....." dia terdiam sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya.
"Maafin Etta lahir bathin ya Ma, sampaikan juga permintaan maaf Etta pada kakak-kakak yang lain. I love you All". Aku gagal menahan air mataku supaya jangan sampai keluar, dan aku menangis juga akhirnya sambil memeluknya. Aku enggak tau kata-kata apa yang harus aku ucapkan, enggak tau harus berkata apa, jadi aku cuma bisa mencium keningnya dan mengajaknya sama-sama  berdoa.
"Etta yang ikhlas ya, kita doa sama-sama ..." kataku dengan suara yang gak jelas karena tertutup isak tangis yang tak  lagi mampu ditahan.
Setelah berdoa, perawat membawa Retta ke ruang operasi. Dokter sebenarnya mengizinkan aku untuk ikut ke ruang operasi, tapi aku gak mampu, aku lebih memilih untuk menunggu saja di ruang tunggu, menunggu bersama beberapa keluarga pasien yang juga sedang cemas, berharap dan berdoa di ruang itu.
Satu jam berlalu, perawat memanggilku dan menyampaikan bahwa dr Nasdaldy meminta aku untuk masuk ke OK. Kakiku gemetar, Â jantung berdebar, detaknya seperti berlarian. Perasaan cemas, takut dan sedih bercampur baur menjadi satu, doa membungkus semua perasaan itu. Baju OK yang disodorkan perawat cuma aku pegang saja sampai perawat mengingatkan "ganti bajunya dulu ya dokter", baru aku memakainya.Â
Dengan perasaan tak karuan aku masuk juga ke OK, dokter kemudian menjelaskan apa yang ditemukan dan sesuai dengan apa yang telah dijelaskan sebelumnya dokter Nas berkata: "Kita angkat semua ya dr Yoen". Aku hanya bisa mengangguk. Semuanya jadi pasti sekarang, Retta kena Kanker Ovarium.
Oya untuk diketahui, sebelum operasi Retta telah menandatangani persetujuan tindakan kedokteran yang akan diambil termasuk persetujuan untuk mengangkat rahim dll, aku sebagai walinya juga telah menandatangani persetujuan itu. Setelah kedua orang tuaku tiada dan setelah kakak sulungku juga meninggal beberapa waktu yang lalu, maka akulah yang menjadi walinya karena Retta belum menikah.Â
Alhamdulillah operasi berjalan lancar dan selesai lebih cepat dari rencana semula meskipun menurut dokter ada sedikit penyulit yaitu adanya perlengketan-perlengketan, mengingat massa tumor yang cukup besar, ukurannya 12x7x6 cm.
Selama operasi dan setelah operasi kondisi Retta stabil sehingga pengawasan di ICU tidak diperlukan. Setelah observasi di ruang pemulihan dan kondisinya memungkinkan untuk pindah ruangan, Retta bisa lagsung kembali ke ruang perawatan biasa. Ini tentu saja membesarkan hati kami kakak-kakaknya, kami bisa menemani dan berada didekatnya untuk melewati masa pasca operasi.
Hal pertama yang ditanyakan setelah Retta siuman adalah " Rahim Etta diangkat juga ya Ma, semuanya diangkat ya?" Aku mengangguk mengiyakan.
"tadi dibilangin gak supaya sekalian diangkat lemak-lemaknya, biar perut Etta kecilan?" Retta masih mampu bercanda di situasi yang berat ini.
"yaah...Uti lupa, Tet" kataku belagak serius.
Dalam kondisi yang seperti itu aku sangat mensyukuri pemberian Allah pada keluarga kami, karena ditengah cobaan seberat apapun celetukan canda masih bisa dilontarkan oleh siapapun anggota keluarga Casym. Dua adikku, Eries dan Abdel, secara bersamaan pernah berkolaborasi membuat buku tentang keluarga kami, Keluarga Berencanda.
*****
Ketika kita mengetahui bahwa orang yang kita sayangi menderita kanker, sangat wajar kalau kita bereaksi secara emosional. Berbagai macam perasaan bisa kita alami sekaligus, cemas, takut, sedih, dan merasa kasihan. Â Rasanya ingin melakukan apa saja yang dapat membantu meringankan beban yang ditanggung pasien, tetapi kita tidak tahu bagaimana melakukannya, takut salah dan serba salah. Mau menghibur, tapi kita sendiri gak yakin apakah itu yang diinginkannya. Membesarkan hatinya? bagaimana caranya? Â Namun demikian kita harus melakukannya, meski kita tidak tahu harus mulai darimana untuk membantu orang yang kita cintai.Â
Beberapa hal yang kami lakukan kepada Retta dibawah ini mungkin bisa menjadi masukan bagi teman-teman yang memiliki teman, kerabat, saudara atau keluarga yang menderita kanker
- Jangan biarkan dia yang kita sayangi (saudara kita yang menderita kanker) merasa bahwa dirinya sendirian dalam menghadapi ini. Jika kita tidak tinggal serumah dengannya, upayakan untuk sesering mungkin mengunjunginya, berkomunikasinya melalui telepon atau saling mengirim pesan singkat. Luangkan waktu untuk bersamanya, terkadang dia hanya memerlukan kehadiran kita sebagai ungkapan bahwa kita care, meskipun ketika bersama tidak banyak yang dapat diperbincangkan, keheningan yang dilalui bersaman-sama kadang-kadang justru meringankannya. Adikku sendiri mengatakan hal ini "Etta senang dan gak merasa sakit kalau ada kakak-kakak, walaupun kalau sibling dateng, Etta malah lebih sering di kamar aja, tidur-tiduran"
- Berikan dia waktu yang cukup untuknya memulai pembahasan tentang penyakit yang dideritanya, karena ternyata tidak semua penderita kanker mau dan mampu membicarakan penyakitnya. Ketika dia telah siap untuk membahas penyakit yang dideritanya, jangan halangi orang yang kita sayangi ini untuk mengekspresikan perasaannya, biarkan ia menangis karena tangisannya tidak berarti dia lemah.
- Mulailah mencari informasi tentang penyakit kanker yang dideritanya , kalau perlu kita ikut sesi edukasi dan informasi yang diberikan untuk keluarga penderita kanker dari mereka yang kompeten, karena begitu banyak tulisan yang bisa dibrowsing yang tidak selalu tepat dan bahkan ada yang tidak berdasar. Orang-orang cenderung memberikan masukan yang gak jelas sumbernya, maksudnya tentu karena ingin membantu, tetapi terkadang justru malah menyesatkan.
- Coba juga berinteraksi dan menjalin komunikasi dengan keluarga dan pasien kanker lain yang kita temui saat sama-sama menemani kontrol ke dokter onkologi di rumah sakit, bisa jadi pengalaman mereka dapat menginspirasi dan memotivasi saudara kita yang menderita kanker dan kita sendiri. Aku sendiri meminta adikku untuk menuliskan pengalamannya supaya bisa bermanfaat buat orang lain, tapi Retta justru minta aku yang menulisnya berdasarkan cerita yang akan dia sampaikan, alasannya: "mama kan yang biasa nulis, Etta cuma bisa cerita, jadi mama aja yang nulis, ya!?"
- Tidak ada salahnya untuk menghubungi teman-teman dekatnya dan meminta bantuan mereka untuk ikut menguatkannya. Ini kami lakukan karena Retta sendiri begitu terbuka menceritakan penyakitnya kepada teman-temannya. (sebelum melakukan ini pastikan bahwa pasien tidak keberatan penyakitnya diketahui oleh orang lain)
- Diskusikan hal-hal apa yang memberatkan pikirannya, misalnya  biaya perawatan dan pengobatan. Kita tahu bahwa biaya pengobatan kanker tidaklah kecil, tapi dengan dengan menjadi peserta BPJS , hal tersebut tidak lagi menjadi masalah besar dan dapat mengurangi kekhawatirannya.
- Jangan terlalu overprotective dengan alasan kita merasa harus memperhatikannya dan menjaganya, tapi jangan juga menganggap enteng kanker. Diskusikan semua rencana pengobatan yang akan dia jalani. Setelah tau bahwa pengobatan selanjutnya adalah kemoterapi, kami kakak-kakaknya mencatat jadwal pemberian kemoterapi dan mengupayakan tidak merencanakan kegiatan apapun pada tanggal tersebut, kecuali mendesak dan tidak dapat ditinggalkan.
- Yang terpenting  kita harus mampu meyakinkan saudara kita penderita kanker, bahwa dia masih dapat beraktivitas, masih banyak kegiatan yang bisa dilakukannya.
- Dan yang paling penting adalah teruslah berdoa. Mintalah kesembuhan pada Dia sang Maha penyembuh, karena tidak ada yang tidak mungkin baginya.Â
Mari menjadi keluarga  yang bisa menciptakan lingkungan yang dapat membantu penyembuhannya, fisik maupun psikis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H