Pertama, layanan perpustakaan atau referensi. Dalam pemenuhan kebutuhan informasi, generasi Z lebih banyak menyukai hal instan dan praktis, seperti internet, daripada mengunjungi perpustakaan untuk mencari dan membaca buku. Berdasarkan hal tersebut, perpustakaan harus mampu menciptakan layanan referensi yang menarik dan dibutuhkan oleh penggunanya, seperti layanan konsultasi dan literasi informasi, layanan penelusuran informasi dan partfinder, dan layanan delivery.
Layanan konsultasi dan literasi informasi. Layanan ini dapat diberikan dengan menitikberakan pada konsep research lifecycle. Pengguna akan lebih tertarik memanfaatkan layanan ini karena berhubungan dengan tugas akademik mereka. Layanan ini banyak dibutuhkan oleh generasi Z yang sangat mahir dan andal menggunakan internet dan TIK. Namun mereka memiliki keterbatasan dalam menemukan informasi secara efektif dan efisien.
Layanan penelusuran informasi dan partfinder. Layanan ini merupakan layanan bantuan pencarian informasi yang lebih akurat dan efektif. Layanan ini sesuai dengan karakteristik generasi Z yang lebih senang terhadap hal-hal yang menyenangkan daripada berburu artikel ilmiah di internet sehingga mereka membutuhkan bantuan perpustakaan dalam menyediakan sumber informasi untuk kebutuhannya.
Layanan delivery. Jenis layanan sangat menjamur pada era digital. Perpustakaan di luar negeri sudah memanfaatkan layanan delivery order untuk peminjaman buku dan dokumen. Layanan ini dapat diimplementasikan di perpustakaan sebagai bentuk jemput bola.
Kedua, layanan media online. Perpustakaan sudah seharusnya menyediakan layanan virtual melalui media online, seperti digital library, website perpustakaan, dan media sosial. Melalui penyediaan layanan online, perpustakaan dapat menjangkau pengguna tanpa harus datang ke perpustakaan. Website dan digital library harus disesuaikan dengan kebutuhan generasi Z, yakni memberikan ruang bagi pengguna untuk aktif dalam website.
Website perpustakaan juga harus menyediakan portal informasi yang memungkinkan pengguna melakukan penelusuran ke berbagai sumber informasi yang tersedia di perpustakaan dan dapat mengakses informasi tersebut. Website perpustakaan wajib terdapat menu FAQ dan help yang berfungsi memberikan bantuan secara online kepada pengguna.
Selain itu, perpustakaan saat ini wajib menggunakan media sosial dan aktif terlibat di dalamnya, serta mempunyai admin khusus dalam mengelola layanan ini. Alasannya hampir sebagian besar masyarakat memiliki akun media sosial (facebook, twitter, instagram, dsb.).
Berdasarkan hal-hal tersebut, sistem aturan perpustakaan yang terlalu ‘birokratis’ perlu diperbarui, misalnya prosedur fotokopi, prosedur menjadi anggota, prosedur membuat kartu, dan prosedur lainnya yang banyak persyaratan dan berbelit-belit. Aturan sistem perpustakaan yang sederhana akan memudahkan pemustaka dan dapat mempersuasif generasi Z untuk akses ke perpustakaan.
Ketiga, koleksi perpustakaan. Generasi Z merupakan generasi yang memiliki wawasan luas tentang dunia luar, tetapi minim wawasan tentang dunia lokalnya sendiri. Berdasarkan hal tersebut, perpustakaan sebaiknya tidak hanya berfokus pada pemenuhan koleksi buku cetak, tetapi juga harus menyediakan koleksi digital lebih banyak lagi, seperti budaya lokal, biografi tokoh nasional, dan sejarah nasional. Hal ini untuk menunjang pembelajaran di sekolah atau perkuliahan di kampus. Perpustakaan juga harus mengembangkan koleksi digital pengembangan softskill, seperti motivasi, psikologi, novel, dan olahraga. Hai ini merupakan wujud implementasi fungsi perpustakaan sebagai tempat rekreatif dan pengembangan diri.
Keempat, ruangan perpustakaan yang nyaman dan menyenangkan. Saat ini terjadi pergeseran pemanfaatan perpustakaan oleh generasi Z. Mereka datang ke perpustakaan dengan tujuan utama adalah penggunaan ruang perpustakaan untuk berdiskusi, belajar kelompok, belajar mandiri bahkan bersantai untuk bertemu dengan temannya. Untuk mengakrabkan generasi Z dengan perpustakaan, diperlukan ruangan yang nyaman dan menyenangkan supaya mereka betah dan menginspirasi dalam berkarya. Pomerantz and Marchionini (2007) menyatakan perpustakaan sebagai “library as place” merujuk kepada fungsi perpustakaan yang digunakan sebagai kegiatan pembelajaran bagi pengguna yang juga sebagai tempat inspiratif dalam menciptakan sebuah ide dan karya.
Oleh karena itu, perpustakaan sebaiknya tidak hanya tampak dengan paradigma lama yang terkesan kaku dan feodal dengan fasilitas gedung megah, perabot, rak, meja, ataupun kursi saja. Namun alangkah lebih baik jika dibuat corner-corner khusus yang mengedepankan nilai seni/artistik desain interiornya. Bentuk rak yang unik dipadu dengan furnitur serta perpaduan cat warna ruangan yang mengandung nilai seni akan membuat pemustaka (generasi Z) merasa nyaman berada di dalam corner tersebut. Karpet, sofa, meja pendek, dan lesehan busa sangat mengesankan bahwa berada di ruang perpustakaan sangat menyenangkan seperi layaknya berada di rumah.