Sikap hidup manusia itu sang-at sederhana, yakni beriman, berilmu, dan beramal. Begitulah manusia seharusnya bersikap dalam hidupnya menurut Nurcholis Madjid atau sering disebut dengan nama Cak Nur. Cak Nur adalah seorang tokoh intelektual muslim Indonesia. Penasaran dengan beliau?Â
Jika mau mengenal lebih dalam, silahkan boleh baca-baca saja hasil karya-karyanya. Atau mungkin kawan-kawan bisa menelusuri biografi beliau dengan membaca buku, artikel, atau menontonnya dari cuplikan-cuplikan Vidio yang membahas Cak Nur dan pemikirannya.
Disini saya tidak akan membahas mengenai siapa itu Caknur dan tektek bengeknya. Sebab, saya saat ini hanya ingin berbagi pengalaman mengenai kegelisahan-kegelisahan saya terkait menjalani hidup. Apalagi saya pun belum banyak tahu tentang Cak Nur. Jadi tidak mau so tau bahas beliau. Yups, yuk kita lanjut!.Â
Saya ini manusia yang sedang menjalani hidup. Saya sama seperti kawan-kawan sering merasakan gelisah, cemas, takut, sedih dan begitupun merasakan senang, gembira, dan bahagia yang silih bergantian.
Hidup dalam perjalanannya pasti menemukan dua sisi yang sudah seharusnya hadir. Sebagaimana kita ketahui Tuhan kita menciptakan makhluk dan lain-lainnya dengan berpasang-pasangan. Dari pasangan-pasangan itu ada yang saling mendukung, memberi, bahkan saling bertolak belakang. Oleh karenanya, hal ini mesti disadari dan diterima dengan penuh rasa syukur dan ikhlas.
Pada kenyataanya, sebagai manusia tidak akan pernah terlepas dari berbagai persoalan hidup. Persolan hidup itu tidak bisa dihindari, atau ditinggal dengan melarikan diri, apalagi sampai bermain- main seperti halnya petak umpet dengannya. Hehe. Biasanya, yang saya rasakan munculnya persoalan hidup itu disebabkan karena terjadinya ketimpangan antara kebutuhan atau keinginan dengan kemampuan diri. Begitu bukan kawan? Entahlah, tapi begitulah yang saya rasakan.
Hidup itu dinamis. Hidup itu berputar. Begitulah persis kata-kata bijak yang sering terucapkan dan tertuliskan, entah siapa yang mengucapkan dan menuliskannya pertama kali. Namun, kata-kata itu memang ada benarnya juga bukan? Sejak mulai dari kandungan, kemudian lahir, selanjutnya ada dalam pengasuhan dan bimbingan orang dewasa, dan selanjutnya mengharuskan dalam menjalani segala sesuatu kehidupan itu dengan mandiri, serta sampai pada akhirnya harus kembali pada-Nya.
Dalam setiap fase kehidupan itu, setiap fasenya pasti merasakan berbagai kejadian. Konten terkait kejadiannya pasti beragam. Rasanya pun bermacam-macam; ada yang merasakannya asam, pahit, manis, asin, nano-nano, dan sebagainya. Rintangan hidup yang berhadapan pun pasti beragam terkadang ada krikil, duri, sesekali menemukan jurang terjal, atau mungkin menemukan jalan lurus, terus angin badai, hujan lebat, atau mungkin hujan lembut yang merindukan. Semua itu, terkait besar kecilnya tidak bisa dikalkulasikan secara paten. Karena masing-masing individu yang merasakan.
Naah, jika sudah menyadari dan memahami betul bahwa persoalan hidup pasti akan selalu hadir dalam diri. Yang pertama harus dilakukan adalah jangan menghindar. Tetapi harus dihadapi dengan penuh penerimaan yang ikhlas dan berupaya untuk menyelesaikannya dengan penuh semangat. Sejatinya ketika  dihadapkan persoalan hidup itu layaknya proses peng-upgrade¬an diri untuk terus tumbuh dan berkembang.
Kemudian, yang kedua harus dilakukan ialah mampu menyikapinya dengan sederhana. Sehingga persoalan itu segera selesai. Jika persoalan itu rumit, kita sederhanakan sampai persoalan itu menjadi mudah diselesaikan.Â
Sebagai salah satu contohnya begini, aku dihadapkan kebutuhan akan transportasi untuk pergi dan pulang ke sekolah yang jaraknya lumayan jauh. Transportasi yang berada di rumah tersebut hanya ada satu sepeda motor dan satu sepeda. Sepeda motor digunakan ayah untuk berangkat ke kantor bersama kedua adikku yang masih SD dan TK. Persoalannya yang muncul adalah teman-temanku pulang pergi menggunakan sepeda motor masing-masing, disitulah aku merasa gengsi.Â
Dari persoalan hidup di atas, tujuan intinya yaitu aku harus pergi dan pulang sekolah menggunakan transportasi sebab jarak yang lumayan jauh. Sebenarnya kalau aku menyikapinya dengan sederhana, itu bukanlah persoalan yang rumit. Oleh karenanya, di rumah masih ada sepeda. Kenapa aku tidak menggunakan sepeda saja? Kan, pada intinya aku butuh tranportasi untuk pergi dan pulang ke sekolah. Sepeda kan alat transportasi juga, mengapa harus gengsi? Sederhanakan sajalah.
Terakhir, mari yakini bahwa dalam setiap persoalan hidup setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. al-Insyirah ayat lima, dan dipertegas lagi dalam ayat selanjutnya. So, ayo berdamai dengan diri sendiri dan kita sederhanakan saja.
Persis pepatah lama mengatakan Ikannya dapat kita dapatkan, air kolamnya tetap jernih. Hematnya begitulah cara menyelesaikan berbagai persoalan hidup. Sampai pada akhirnya kita mampu menyelesaikannya dengan baik. Intinya, setiap persoalan yang hadir mesti di sederhana-sederhanakan saja. Terkait hasil akhir itu bukan persoalan. Â Karena, Â setiap orang punya jumlah penderitaan dan kebahagiaan yang sudah ditentukan.Â
Jika semua penderitaan dikeluarkan saat ini, yang tersisa mungkin hanyalah kebahagiaan. Bahagia itu tanggung jawab setiap individu, bukan tanggung jawab orang lain. Mari kita perbanyak bersyukur dan mengikhlaskan, sederhana-sederhanakan sajalah!
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H