Terbit di Solo Pos edisi 16 Juni 2019
Orang zaman sekarang berkomunikasi tak lagi hanya dengan audio atau teks, tetapi sudah menggunakan visual atau paduan teks, audio, dan visual. Salah satunya orang nomor satu di Indonesia, "Setiap sore video call dengan cucu," ujar Jokowi. Untuk kebutuhan itu sebuah gawai memerlukan kamera ber-pixel besar untuk penangkapan visual yang bagus, memori penyimpanan yang bongsor, ram besar untuk kerja multitasking dari perekaman sampai pengiriman. Salah satu media sosial visual, Instagram, menampilkan lebih dari 500 juta unggahan  Instagram story (gambar atau video vertikal berdurasi 10 detik) dalam sehari. Jumlah itu belum termasuk foto atau video 60 detik yang diunggah di beranda pengguna Instagram.
Padahal, mulanya fotografi bercerita kamera yang sangat terbatas dan mahal. Â Fotografer adalah sebutan hanya untuk yang profesional memfoto diabadikan dalam gambar 2 dime nsi. Sekarang semua itu berkebalikan, kamera sudah tertanam di gawai dengan kualitas pixel cukup baik meski tetap tidak cukup untuk kebutuhan industri visual. Fotografer bukan lagi profesi eksklusif saat siapa saja bisa mengambil gambar dan belajar tekniknya dari Youtube ditambah beberapa aplikasi android untuk memoles foto menjadi seperti miliki profesional. Objek foto juga bukan lagi kalangan dan peristiwa terbatas, tetapi semua orang dengan segala benda dan kejadian di sekitarnya yang kemudian diunggah tanpa kurasi -- menjadi sampah visual di jagat mata.
Nicephore Niepce, penemu kamera pertama pada tahun 1826 (Bentara Budaya Yogyakarta, Potret, 2008) mungkin tak menyangka penemuannya bisa menjadi sebuah produk yang saat ini menempel di setiap dinding pasar modern, sudut-sudut jalanan, bahkan di tangan orang-orang kota, setiap saat sepanjang waktu. Foto tidak lagi menjadi karya seni seperti di era awalnya yang diabadikan dari kamera buatan tangan yang rumit dan terus dalam uji coba. Bahkan, keterbatasan teknologi mengharuskan perusahaan kereta api Alton Railroad di Chicago, Amerika, memboyong kamera Mammont seberat 635 kg untuk mengabadikan keretanya tahun 1900. Hari ini, kamera termutakir produksi Canon, eos R dan eos RP, bobot body only-nya tidak lebih dari 500 gram.
Seorang fotografer era pertama hingga tahun 1975 bisa disebut sebagai seorang seniman, sebab ia harus menyiapkan kamar ruangan segelap mungkin, enlarger set atau perangkat pembakaran foto dengan cahaya, termometer, penjepit baju, timer, serta bahan-bahan seperti es batu, air bersih, chamical, developer, fixer, bahan-bahan kimia lain serta kertas foto. Proses kerja di kamar gelap, mencampur bahan-bahan kimia, mengeringkannya dengan menggantung satu per satu, hingga sebuah gambar hitam-putih muncul pada selembar kertas, bisa dibayangkan bagai seorang seniman ukir yang mengubah bongkahan menjadi sebuah bentuk bernilai.
Kamera canggih pada gawai ternyata hanya untuk peristiwa receh dan pengisi konten media sosial pemiliknya saja. Kerana pada momen penting seperti pernikahan dan wisuda, kebanyakan orang masih menggunakan jasa fotografi dengan biaya dari ratusan ribu, jutaan, sampai puluhan juta per peristiwa. Biaya yang dibayarkan tergantung outdoor atau indoor, kota atau alam, properti, kostum, jumlah orang, jumlah foto, hingga konsep yang diinginkan. Mulai dari konsep berjajar langsung jepret atau bergaya cinematic ala pesohor idola. Semua ada biayanya.
Hari wisuda menjadi rezeki bagi pemilik studio foto beken di kota-kota. Setelah makan bersama keluarga, wisudawan bisa menuju studio yang menggunakan kamera terbaru dan peralatan canggih. Meski sedikit berdesakan dengan rombongan wisudawan lainnya, studio foto biasanya ber-ac dan menyediakan soft drink. Namun untuk semua itu, seorang wisudawan mesti membayar jutaan rupiah.
Momen sekali seumur hidup lainnya adalah sebuah pernikahan, untuk momen ini calon pengantin kebanyakan memperhatikan dokumentasi pernikahannya kelak agar terabadikan dengan sangat baik dan penuh kenangan. Bahkan, sesi potret sebelum menikah juga menjadi tren. Atas pertimbangan pernikahan adalah suatu yang sakral dan hanya sekali, calon pengantin akan memilih studio foto yang dapat memberikan hasil dokumentasi bergaya kekinian, dengan konsekuensi biaya tinggi yang mereka tanggung.
Bicara foto, kita bisa belajar dari media yang menggunakan foto sebagai kekuatan utamanya yakni National Geographic. "Bagi fotografer, kamera adalah alat eksplorasi, paspor menuju dunia terpencil, dan instrumen perubahan. Karya mereka menjadi bukti bahwa fotografi bermakna bagi kehidupan" tulis di National Geographic Indonesia edisi Oktober 2013.
Intelektual Jadi Bodoh
Majalah yang terbit tahun 1888 ini mulanya berupa publikasi ilmiah setebal 98 halaman, tanpa foto dan sampul coklat polos -- menjemukan. Lalu 16 tahun kemudian, tahun 1904, percetakan berkata pada editor, Gilbert H. Grosvenor bahwa mereka memiliki 11 halaman kosong. Grosvenor meraih paket kiriman Imperial Russian Geographical Society dan memilih 11 foto yang mengabadikan perempuan Lhasa di Tibet, wilayah yang saat dianggap salah satu tempat paling eksotis di dunia. Dengan yakin ia menunggu penerbitan majalahnya akan berujung pemecatan. Pada Januari 1905 majalah itu terbit, reaksi publik justru sebaliknya. Banyak orang menemui Grosvenor dan menyelamatinya. Itulah mula foto menjadi kekuatan utama National Geographic hingga terbit selama lebih seratus tahun.
Di Indonesia kita punya seorang proklamator perlente yang sangat sadar keabadian sebuah foto, Soekarno. Foto-fotonya sangat ikonik dan berwibawa. Menggambarkan ketegasan dan kegagahan seoarang pemimpin bangsa. Hal yang sama diteruskan oleh penerusnya, Soeharto. Ia ingin membuat brand Indonesia swasembada pangan dengan foto-fotonya yang khas: menjunjung padi, bercaping, dan bersebelahan dengan Ibu Negara di tengah sawah sambil mengarahkan senyum ke juru foto. Saking kuatnya foto-foto Soekarno dan Soeharto, Komisi Penyelenggaraan Pemilu menerbitkan larangan penggunaan foto mereka untuk kepentingan kampanye 2019.
Foto nyatanya memang telah menjadi dokumentasi sejarah bangsa, mengabadikan proklamasi, siswa-siswa sekolah pertama hingga, momen-momen penting kelahiran bangsa, hingga peperangan.Tak hanya foto yang tak lekang waktu, menggunakan foto untuk mengabadikan sesuatu yang tak perlu abadi pun masih abadi sampai hari ini. Misalnya, memfoto anak jatuh, makan, mandi, atau memfoto semangkuk mie dan sepotong steak dari restoran, bahkan memfoto punggung berlatar pantai yang tak penting dan tak perlu abadi.
Buaian foto membuat intelektual muda menjadi bodoh di hari pertama ia menjadi sarjana, dengan bersedia bahkan berlomba foto berlatar gambar buku. Apakah itu menandakan ilmunya juga hanya "gambar"? Juga sesi-sesi foto dari pranikah sampai di panggung pernikahan yang justru mengabaikan tamu-tamu undangan dengan daftar antrian foto mereka. Apalagi kalau mengundang pejabat, lalu dicetak besar dan dipajang di ruang tengah. Apakah untuk menutupi kesakralan dan kekudusan sebuah pernikahannya?
Yohanes Bara
Founder
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H