Foto nyatanya memang telah menjadi dokumentasi sejarah bangsa, mengabadikan proklamasi, siswa-siswa sekolah pertama hingga, momen-momen penting kelahiran bangsa, hingga peperangan.Tak hanya foto yang tak lekang waktu, menggunakan foto untuk mengabadikan sesuatu yang tak perlu abadi pun masih abadi sampai hari ini. Misalnya, memfoto anak jatuh, makan, mandi, atau memfoto semangkuk mie dan sepotong steak dari restoran, bahkan memfoto punggung berlatar pantai yang tak penting dan tak perlu abadi.
Buaian foto membuat intelektual muda menjadi bodoh di hari pertama ia menjadi sarjana, dengan bersedia bahkan berlomba foto berlatar gambar buku. Apakah itu menandakan ilmunya juga hanya "gambar"? Juga sesi-sesi foto dari pranikah sampai di panggung pernikahan yang justru mengabaikan tamu-tamu undangan dengan daftar antrian foto mereka. Apalagi kalau mengundang pejabat, lalu dicetak besar dan dipajang di ruang tengah. Apakah untuk menutupi kesakralan dan kekudusan sebuah pernikahannya?
Yohanes Bara
Founder
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H