Kemudian saya mendapat jawabannya ketika main ke tetangga rumah dan tetangga desa, mereka selalu bercerita dengan antusias tentang Ibu.Â
Saat ada lelayu, Ibu dikenal sebagai orang yang murah hati membawa sekarung beras disaat yang lain membawa beberapa kilo, menyumbang dua atau tiga kali dari sewajarnya nominal di kampung, melatih membuat jamu, melatih membuat rajut.
Ia lakukan bukan dalam kelimpahan, karena malamnya ia berderai air mata memohon agar anak-anaknya bisa mendapat uang saku dan kami mendapat beras lain.
Maka dihari meninggalnya, tak hanya keluarga yang berderai air mata, namun juga tetangga-tetangga kami yang beragama Islam, derai air mata itu berhulu pada cinta kasih Ibu pada mereka.Â
Jika kita mengajar anak-anak mereka menjadi lebih cerdas, jika kita memberikan buku pada anak-anak mereka, jika kita ikut membuat jalan menuju rumahnya, jika kita juga ikut menjaga rumahnya. Tegakah mereka memotong kepala kita?
Yohanes Bara
 (Orang Muda Katolik)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H