Sejak itu saya menjadi warga Huntap Dongkelsari, berada di tengah-tengah umat Islam. Hingga kini saya merasa bersalah, karena tak selalu bisa mengikuti gotong royong, tak selalu bisa ikut ronda malam.Â
Mudah saja bagi saya untuk tidak mau kerepotan dengan urusan kewargaan seperti itu, saya kontrak rumah di perumahan yang individualis atau apartemen, sesuatu yang lazim dilakukan banyak orang untuk menghindari "gesekan" pada perbedaan.
Saya tetap tinggal di Huntap Dongkelsari dan mungkin saya beruntung berada di tengah umat Islam yang toleran, maka saya membalas jasa atas cinta mereka pada saya dengan keterlibatan. Saya membuat konsep pertama kirab budaya tahunan di desa sebagai peringatan erupsi merapi 2010, membuat kelas menulis, dan tahun depan membuat buku sejarah desa.
Keterlibatan bukan semata-mata mengamankan diri, tetapi sebagai manusia yang tinggal bersama, kita musti ambil bagian dalam perkara-perkara di sekitar. Munculnya persaudaraan sejati sebagai tetangga hanyalah sedikit dampak dari apa yang dibuat, namun intinya adalah membantu menjawab keresahan bersama dalam masyarakat.
Pura-pura Srawung
Efek positif dari kejadian-kejadian semacam ini adalah mendorong kelompok-kelompok toleran untuk berkolaborasi lintas kepercayaan, Gusdurian dengan Orang Muda Katolik (OMK) misalnya.Â
Namun hingga saat ini saya belum tertarik pada kolaborasi semacam itu. Apalagi bagi OMK, srawung dengan Gusdurian dianggap cukup, merasa sudah melakukan tindakan nasionalisme dan keberagaman. Padahal, jika sungguh tujuannya adalah menjalin relasi, maka relasi yang perlu dibangun justru dengan kelompok yang "keras", bukan pada Gusdurian yang sudah hangat seperti saudara sekandung.
Ke sana-ke mari bersama pemuda lintas agama tapi tak pernah ikut gotong royong di kampung, aktif diskusi sana-sini tapi tak pernah ikut rapat RT/RW, membuat kegiatan besar-besar tapi tak merelakan diri sedikit berbagi ilmu dan keterampilan bagi anak-anak di kampungnya. Bagi saya, itu hanya pura-pura srawung saja, untuk kebutuhan medsosnya agar terlihat toleran dan keren.
Persoalan pemotongan nisan salib bagi saya tak perlu jadi polemik, apalagi debat pada tataran keimanan, menganggap itu melecehkan Kristus, menghambat perjalanan almarhum, dan frasa sejenis lainnya.Â
Bahkan, jika ada yang minta salib makam Ibu saya dipotong saya akan jawab, "Jangan dipotong, dilepas saja sekalian nggak masalah, yang penting kita tetap bertetangga dan bersaudara."
Namun persoalan ini bagi saya menjadi sebuah pemantik, sejauh mana umat Katolik menjadi pribadi yang diperhitungkan? Sejauh mana perannya dalam menjawab masalah lingkungan? Sejauh mana keterlibatannya?