"Dilema di Hati Rani"
Rani duduk di bangku taman desa, memandangi bunga-bunga yang bermekaran di bawah sinar matahari pagi. Tangannya memegang buku catatan yang penuh dengan coretan tentang penelitian perpustakaan desa, tapi pikirannya melayang jauh. Hatinya terasa berat sejak percakapan terakhirnya dengan Fajar.
Ketika Fajar menolak perasaannya dengan tegas namun penuh hormat, Rani merasa malu sekaligus terluka. Ia tak bisa membenci Fajar---pria itu adalah orang yang jujur dan tulus. Namun, rasa kecewa karena cintanya tak terbalas begitu sulit diabaikan.
Di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia salah. Ia sadar bahwa kehadirannya telah mengganggu hubungan Fajar dan Laila, pasangan yang cintanya begitu kuat. Namun, rasa kagumnya pada Fajar tumbuh begitu alami. Bagi Rani, Fajar adalah sosok yang ideal: cerdas, rendah hati, dan memiliki dedikasi yang luar biasa.
Sejak saat itu, Rani memutuskan untuk menjauh dari perpustakaan dan desa itu. Ia tak ingin menjadi bayangan yang terus menghantui kebahagiaan pasangan itu. Namun, di dalam hatinya, rasa hampa mulai menghantui. Ia bertanya-tanya, apakah ia akan pernah menemukan cinta seperti yang dimiliki Laila dan Fajar?
Rani kembali ke kota asalnya, membawa rasa sakit yang ia simpan sendiri. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan, menulis artikel, dan menjelajahi dunia melalui reportase jurnalistiknya. Namun, di tengah keramaian kota, ia sering merasa sepi.
Suatu hari, dalam tugasnya meliput sebuah acara seni di kota kecil, Rani bertemu dengan seorang pria bernama Radit, seorang pelukis muda yang memiliki kepribadian ceria dan penuh semangat. Radit berbeda dari Fajar dalam segala hal. Ia spontan, sedikit berantakan, dan penuh dengan ide-ide liar. Tapi justru itu yang membuat Rani mulai tertarik padanya.
Radit memperhatikan kesedihan yang tersembunyi di balik senyum Rani. "Kamu pernah mencintai seseorang yang tidak bisa kamu miliki, ya?" tanyanya suatu malam saat mereka berbincang di sebuah galeri kecil.
Rani terkejut dengan kejujuran Radit, tapi ia mengangguk pelan. "Aku pernah berharap terlalu banyak. Dan sekarang, aku merasa kosong."
Radit tersenyum tipis. "Kehilangan cinta memang menyakitkan, tapi itu bukan akhir dari segalanya. Kadang, cinta yang tidak kita dapatkan hanya mengajarkan kita bahwa ada hal lain yang lebih indah menunggu di depan."
Kata-kata Radit perlahan membuka hati Rani. Ia mulai belajar bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai keinginan, tapi itu bukan berarti kebahagiaan tidak bisa ditemukan.
Hubungannya dengan Radit berkembang perlahan. Radit tidak mencoba menggantikan Fajar di hati Rani, tapi ia memberinya ruang untuk sembuh. Bersama Radit, Rani menemukan kembali sisi dirinya yang hilang: kebahagiaan sederhana, tawa tanpa beban, dan harapan untuk masa depan.
Meski cinta pertama Rani berakhir dengan luka, ia sadar bahwa itu adalah bagian dari perjalanan hidup. Kini, bersama Radit, ia merasa menemukan cinta yang berbeda---tidak sempurna, tapi nyata. Cinta yang tidak hanya tentang mengagumi seseorang, tapi juga tentang saling melengkapi dan tumbuh bersama.
Dan ketika Rani kembali ke desa untuk menyelesaikan artikel terakhirnya tentang perpustakaan "Rembulan," ia melihat Laila dan Fajar dari kejauhan. Mereka tampak bahagia, bekerja berdampingan seperti dua jiwa yang saling melengkapi.
Alih-alih rasa sakit, yang kini Rani rasakan adalah ketenangan. Ia tersenyum, tahu bahwa cinta sejati tidak selalu berarti memiliki. Kadang, cinta berarti melepaskan, menerima, dan melanjutkan hidup dengan hati yang lebih kuat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI