Pekan kemarin, dalam hitungan hari AC Milan harus kehilangan dua legenda sekaligus sosok penting yang berperan besar dalam kebangkitan Milan beberapa tahun terakhir.
Setelah Zlatan Ibrahimovic dilepas dengan upacara perpisahan yang dihadiri ribuan Milanisti di San Siro usai pertandingan terakhir Serie A musim ini, giliran Direktur Teknik sekaligus legenda klub Paolo Maldini yang harus cabut dari San Siro.
Ketika Maldini menyerahkan jersey nomor 11 ke Ibrahimovic saat pamit pensiunnya Ibra, saya membatin, dulu kok Maldini pamitannya gak semeriah ini. Padahal di Milan tidak ada pemain yang lebih legend dari Paolo Maldini.
Ya, Paolo Maldini adalah yang paling legend diantara para legend yang pernah membela Milan. Darah Rossonerri tak perlu diragukan lagi. Ia mengikuti jejak ayahnya sebagai pemain AC Milan dan bergabung sebagai pemain di akademi Milan sejak usianya 10 tahun.
Selanjutnya, ia menjadi pemain professional yang tidak pernah pindah klub. Ia membela Milan dari tahun 1984 sampai dengan tahun 2009 dengan 647 penampilan. Semua piala pernah ia menangkan bersama AC Milab, bahkan Liga Champions pun lima kali ia raih.
Selanjutnya ia bergabung ke manajemen AC Milan sejak tahun 2018.
Kiprah Maldini sebagai Direktur Teknik tidak bisa dibilang buruk. AC Milan dengan modal terbatas mampu menghasilkan transfer pemain yang efektif. Puncaknya, scudetto musim 2021/22 berhasil diraih Milan dengan skuad tidak terlalu mewah hasil upaya Maldini merekrut pemain.
Rekrutan seperti Theo Hernandez, Sandro Tonali, Rafael Leao, Mike Maignan, Fikayo Tomori, bahkan juga kembalinya Ibra merupakan hasil kerja  Maldini dengan dibantu oleh Ricky Massara yang juga ikut dipecat.
Sebagai seorang legenda, sosok Maldini pun berperan penting dalam menambah motivasi pemain-pemain muda Milan, baik itu saat akan memutuskan bergabung Milan ataupun setelah berada di Milan.
Eh tiba-tiba, sebuah kabar mengejutkan sehari pasca farewell-nya Ibrahimovic: Maldini dipecat setelah tidak bersepakat serta berbeda visi dan target terkait masa depan AC Milan dengan sang bos Redbird Capital, Gerry Cardinale.
Maldini beda visi dengan CEO? Juga berda target? Ini bagaimana? Apakah Maldini ingin dana transfer yang lebih greget, tapi sang pemilik pelit? Maldini ingin Milan mentargetkan juara, CEO?
Banyak yang beranggapan Maldini tentu lebih tahu Milan dari CEO yang orang Amerika berlatar belakang bisnis itu. Sayangnya CEO punya uang dan wewenang
Banyak fans yang menyatakan pesimisme dan bersiap menyaksikan AC Milan balik lagi ke era kegelapan, jadi medioker lagi di Serie A dan cumak bisa nonton yutub liat video kejayaan Milan jaman dulu.
Walaupun perlu diingat juga bahwa kebijakan transfer Maldini memang banyak yang poistif, namun tidak musim ini.
Performa buruk Charles De Ketelaere dan Divock Origi serta Yacine Adli yang bahkan sangat jarang diberi menit bermain oleh Pioli bisa menjadi alasan kegagalan Maldini musim ini. Dan secara objektif penampilan Milan musim ini menurun dibanding capaian musim lalu walaupun berhasil membuat kejutan masuk semifinal Liga Champions.
Lalu,
Benarkah dengan tanpa Maldini (dan Ricky Massara tangan kanannya Maldini), Milan bakalan nyungsep lagi?
Bisa ya dan bisa tidak. Tergantung langkah manajemen selanjutnya seperti apa. Bagaimana mereka melakukan transfer dan bagaimana mereka menjaga motivasi pemain
Belakangan, Gerry Cardinale mengungkapkan rencana penerapan moneyball dalam strategi pengelolaan AC Milan kedepannya.
Secara gampang, moneyball kurang lebih strategi mengoptimalkan pemain dengan harga murah yang diseleksi melalui pencermatan data statistik yang ketat.
Moneyball diadaptasi dari olah raga baseball. Ada yang bilang, baseball dan sepak bola jauh berbeda. Data statistik di baseball dan di sepakbola sangat berbeda pendekatannya.
Brentford dan Brighton adalah tim sepakbola yang dianggap sukses menggunakan metode ala moneyball ini. Ya walau kita tahu, sesukses-suksesnya Brentford mereka masih lah tim medioker di Liga Inggris.
Sementara Brighton, musim ini mereka sangat oke penampilannya di Liga Inggris. Tapi barusan mereka menjual salah satu bintangnya, Alexis Mac Alister, bintang lain mungkin menyusul. Bisa jadi, moneyball lalu jadi cara untuk mencetak pemain murah jadi pemain mahal. Kalau begini ya siap-siap tanpa prestasi lagi...
Liverpool juga sempat menerapkan stratetegi transfer ala-ala moneyball dengan membeli banyak pemain murah yang kurang terkenal. Strategi yang kurang berhasil, ujung-ujungnya mereka juga beli pemain mahal macam Darwin Nunez.
Jadi, tunggu saja moneyball macam apa yang akan dipakai oleh manajemen Milan pasca Maldini..
Satu lagi yang dijanjikan oleh manajemen Milan adalah pelatih Stafano Pioli yang sekarang punya kebebasan memilih pemain.
Yacine Adli dan Charles de Ketelaere yang flop musim lalu mungkin memang bukan pemain yang diinginkan Pioli sehingga wajar keduanya sulit beradaptasi dengan strategi maupun cara bermain Pioli. Adli malah nyaris tak pernah dapat kesempatan main.
Memberi ruang lebih besar buat Pioli menemukan pemain yang diinginkannya mungkin bisa berdampak positif bagi Milan.
Apapun itu, revolusi sudah terjadi di manajemen Milan. Bisakah rencana Carnidale berdampak positf atau Milan yang akan kembali ke era kemediokeran?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI