Setiap penyelenggaraan Piala Dunia, timnas Brasil pasti selalu jadi unggulan untuk menjadi juara. Dan memang Brasil adalah negara yang tercatat menjuarai Piala Dunia terbanyak, lima kali.
Talenta Brasil memang tidak pernah habis, dari generasi ke generasi selalu muncul talenta-talenta sepakbola yang kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia, pun juga ke Liga Indonesia.
Meski begitu, terakhir Brasil juara adalah tahun 2002 atau dua puluh tahun lalu, artinya empat gelaran Piala Dunia mereka tidak berhasil menjadi juara.
Pertama kali Brasil juara adalah tahun 1958 lalu 1962, gagal di 1966 lalu juara lagi di 1970. Ini adalah eranya Pele.
Setelah itu Brasil baru juara lagi pada tahun 1994, setelah 24 tahun atau gelaran keenam setelah terakhir kali juara. Ini adalah era Romario-Bebeto.
Lalu kalah di final 1998 dan juara lagi tahun 2002, era Ronaldo, Rivaldo dan Ronaldinho.
Piala Dunia Qatar 2022 kali ini adalah gelaran kelima setelah terakhir kali mereka menjadi juara. Sepertinya sudah waktunya mereka menang. Tapi, Piala Dunia setelah Brasil juara selalu dikuasai oleh tim dari Eropa.
Dari empat final berikutnya, tiga diantaranya adalah final sesama tim Eropa. Italia vs Perancis di 2006, Spayol vs Belanda di 2010 dan Perancis vs Kroasia di 2018. Hanya Argentina yang mampu lolos ke final di 2014 saat Piala Dunia digelar di Brasil. Itupun mereka kalah dari Jerman.
Secara umum tim-im Eropa lebih mengandalkan sistem permainan ketimbang skill individu. Dan sepakbola modern saat ini adalah sepakbola yang menerapkan sistem dan pola bermain kolektif dengan strategi yang jelas. Skill diperlukan tapi tetap sebagai penunjang sistem permainan kolektif.
Skuad Brasil kali ini adalah skuad yang luar biasa, diisi pemain-pemain papan atas yang bermain di kompetisi terbaik dunia. Kiper kelas satu, bek tengah kelas satu dan penyerang kelas satu semua berkumpul di Brasil. Sisi yang tidak terlalu istimewa mungkin ada di posisi full back dan gelandang.
Di posisi penjaga gawang, ada dua kiper utama tim penguasa Premier League dan kompetisi Eropa. Alisson Becker dari Liverpool dan Ederson Moraes dari Manchester City.
Di belakang, bek tengah ada Thiago Silva yang walaupun sudah berumur tapi perfomanya masih yahud dan selalu dipercaya sebagai starter di Chelsea. Mendampinginya ada bek tengah PSG, Marquinhos. Pelapisnya pun cukup mewah, Eder Militao dari Real Madrid dan Gleison Bremer dari Juventus.
Di posisi full back diisi oleh Danilo, Alex Telles dan Alex Sandro, nama-nama familiar tapi tidak terlalu mentereng. Nama yang paling mentereng di fullback mungkin Dani Alves, tapi ya sudah terlalu tua.
Di tengah yang kurang adalah pendamping yang sepadan untuk Casemiro. Pilihannya adalah Fred, Fabinho dan Bruno Guimares yang merupakan tiga pemain Premier League yang levelnya biasa. Gelandang bertahan MU, Fred bahkan selalu jadi sasaran rutin bully-an netizen karena sering melakukan blunder ajaib.
Di posisi penyerang tak perlu diragukan lagi, mulai dari Neymar, Vinicius, Antony, Richarlison, Gabriel Martinelli. Bahkan seorang Roberto Firmino pun tidak mendapatkan tempat.
Secara individu tak ada persoalan. Tapi sepakbola adalah permainan kolektif sebeals pemain di lapangan. Berjayanya tim-tim Eropa di dua dekade terakhir menjadi bukti sistem bermain lebih diperlukan dari sekedar skill.
Selanjutnya, bukan hanya skill dan sistem, perlu juga fisik prima dan mental yang memadai.
Kendala lain bagi tim Brasil adalah hampir semua pemainnya bermain di liga top Eropa, yang kompetisinya sedang panas-panasnya dan baru dihentikan untuk jeda seminggu sebelum kick off Piala Dunia. Dan mereka bermain tidak hanya di liga lokal tapi juga kompetisi Eropa dengan tensi yang sangat tinggi.
Piala Dunia yang sudah-sudah biasanya dimulai beberapa minggu setelah liga selesai. Secara psikologis satu tugas selesai (kompetisi klub) lalu mempersiapkan ke tugas selanjutnya (tugas negara di Piala Dunia).
Lha ini, kompetisi masin panas-panasnya, masih belum selesai ditinggal dulu untuk membela negara, waktunya seminggu pula. Kondisi yang kurang maksimal bagi tim ataupun pemain.
Dari sisi tim: belum maksimal ngumpul bersama. Di klub mereka masing-masing berlatih dengan tim yg berbeda, cara yang berbeda dan sistem yang berbeda pula.
Di Brazil, ada Richarlison dari Spurs, ada Gabriel Martinelli dari Arsenal, ada Antony dari MU. Ada juga pemain Barcelona ada Real Madrid yang selalu bersaing ketat. Bukan hanya beda sistem bermain kadang mereka bersaing. Dan kompetisi masih berjalan.
Dari sisi pemain sendiri, switch focus di saat liga masih berjalan dengan tensinya tinggi lalu tiba-tiba harus fokus di suasana berbeda dengan tanpa jeda waktu adalah hal yang sungguh merepotkan.
Saya saja kalau sedang dalam posisi wenak trus tiba tiba diminta ganti posisi, tetep ada rasa gak nyaman dan perlu waktu untuk kita beradaptasi dan kembali bisa merasa nyaman.
Switch konsentrasi di kompetisi teratas ke Piala Dunia dengan sangat cepat jelas tidak nyaman dan melelahkan.
Lelah secara fisik jelas, apalagi mereka yang main di Liga Inggris, selepas Piala Dunia mereka sudah ditunggu jadwal Boxing Day. Plus juga lelah psikologis karena harus berbagi konsentrasi dengan cepat.
Tapi, urusan lelah secara fisik dan mental bukan hanya persoalan Brasil saja, tapi semua tim. Kondisi ini di sisi lain adalah peluang untuk tim-tim non unggulan untuk bisa membuat kejutan. Jadi selain berhati-hati dengan tim kuat Eropa, Brasil juga harus berhati-hati menghadapi tim non unggulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H