Tapi ya dibalik perselisihan dan polarisasi itu kan ada dua ideologi besar, religius dan nasionalis. Mungkin dua capres tadi memang merepresentasikan pilihan dua kutub ideologi ini. Tapi sejujurnya, representasi dari sebuah ideologi itu sebenarnya bisa siapa saja.
"Lha ini nanti kalau bener kejadian (capres/cawapres pemersatu bangsa), saat menentukan siapa jadi wakil dan siapa yang jadi presiden saja pasti ribut kok..." Kang Yitno berkomentar lagi.
"Lha misal gak usah pakai pemilu, langsung saja mereka dijadikan presiden dan wapres. Lha itu nanti juga pendukungnya masih bisa gelut kok.." Kang Yit menambahkan.
"Haha.., iya Kang. Nanti bisa ada istilah Presiden lawan Real Presiden... Tapi ya kalau mau dicoba gak papa to Kang, siapa tahu berhasil?"
"Woo lha.., milih capres kok coba-coba, ges.." Kang Yit menirukan tagline sebuah iklan minyak angin.
"Ya.., memang mungkin gak ada salahnya dicoba. Tapi ya proyek mempersatukan bamgsa ini ya tidak hanya dengan menyatukan capres potensial. Setelah capres bersatu ya harus secara masif diupayakan moderasi dua kutub ideologi tadi. Lha Pancasila itu kan ya wujud moderasi itu, ada nilai nasionalisme, sosialisme dan relijiusitas didalamnya dipersatukan dengan semangat musyawarah mufakat. Bisa lho Kang?"
"Omonganmu apik. Tapi cumak teori tok.." Kang Yit menyruput kopinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H